Mongabay.co.id

Amdal PLTA Tampur Dipaksakan, Relokasi Masyarakat dan Mitigasi Konflik Satwa Diabaikan

Mahot berpatroli dengan gajah sumatera di Taman Nasional Gunung Leuser. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah

Pemerintah Aceh bersama Perusahaan Modal Asing (PMA) PT. Kamirzu berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur I yang mencakup tiga kabupaten: Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Namun, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) mega proyek tersebut dipertanyakan karena penyusunannya yang terkesan dipaksakan.

Hariadi Kartodihardjo, Profesor Kebijakan Hutan Institut Pertanian Bogor   (IPB) pada diskusi “Melihat Dinamika Kebijakan Sumber Daya Alam Terhadap PLTA Tampur” di Banda Aceh, 19 Februari 2018 menyebutkan, secara administrasi amdal PLTA Tampur terlihat baik. Akan tetapi, substansinya masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis.

“Beberapa hal yang muncul dalam diskusi adalah tidak adanya mitigasi konflik satwa serta kemana masyarakat akan direlokasi akibat daerahnya masuk lokasi pembangunan,” terang penulis buku   Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam ini.

Dalam dokumen amdal dituliskan, terkait konflik satwa liar hanya akan dilakukan penggiringan. Sementara BKSDA Aceh menilai, hal tersebut terlalu teknis dan masih membutuhkan diskusi lebih lanjut. Termasuk survei mendalam di lokasi.

Masyarakat yang hadir dalam diskusi juga mengaku, ketika mereka akan direlokasi, mereka tidak tahu akan ditempatkan dimana dan bagaimana prosesnya. Di tempat baru nanti mereka mendapatkan apa, tidak ada kejelasan dalam perencanaan pembangunan PLTA Tampur.

“Perubahan bentang alam untuk habitat satwa di lokasi pembangunan juga belum pasti. Saya kira, informasi amdal ini belum cukup sebagai rujukan pengambilan keputusan,” ujar Hariadi.

Baca: GeRAM: KLHK Jangan Keluarkan Izin Pinjam Kawasan Hutan untuk PLTA Tampur

 

Desa Lesten, Kecamatan Pining, Gayo Lues, tempat pembangunan PLTA Tampur direncanakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Terkait proyek energi dan sumber daya alam, sambung Hariadi, Aceh merupakan daerah yang menjadi salah satu andalan. Tapi, yang harus dilihat, keseimbangan antara ekonomi, lingkungan, serta sosial yang dibangkitkan dari sumber daya alam, dan biasanya yang sangat diabaikan itu persoalan sosial. “Biasanya dalam proyek seperti ini yang dilihat hanya potensinya, lalu mengundang investor. Sementara, bagaimana pembangunan itu dilakukan, kapasitas perhatiannya rendah sekali.”

Dalam diskusi yang dihadiri pegiat lingkungan dan perwakilan pemerintah ini, Hariadi juga mengungkap temuan tentang korupsi di bidang perizinan. Korupsi bisa dimulai dari pengurusan perizinan, penyiapan kawasan, evaluasi, pengawasan, dan pengendalian.

Saat proses perizinan, pelanggaran yang biasa ditemukan seperti manipulasi peta, pemerasan, tawaran tambahan atau pengurangan luas izin sebagai alat negosiasi, biaya pengesahan dokumen amdal dan Izin Lingkungan, atau adanya konsultan yang sudah ditunjuk pejabat tertentu.

Sementara itu, oknum konsultan penyusun amdal berpotensi melakukan pelanggaran dengan meminjam sertifikat kompetensi penyusun untuk membuat amdal, yang bisa jadi tidak sesuai fakta, dan melibatkan masyarakat dalam konsultasi publik yang berpotensi diatur.

“Pelaksana kegiatan atau usaha juga berpeluang melakukan kecurangan seperti tidak memberikan informasi rencana kegiatan secara transparan kepada publik, dan pelaksana kegiatan atau proyek lebih mementingkan dokumen lingkungan hidup sebagai persyaratan administrasi,” jelasnya.

Baca juga: Pembangunan PLTA Tampur, Apakah Kelestarian Hutan Leuser Diperhatikan?

 

Hutan lebat di Zona Inti Taman Nasional Gunung Leuser yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan habitat satwa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Community Organizer Yayasan SHEEP Indonesia, Husaini menilai, amdal PLTA Tampur 1 disusun asal jadi. Tanpa melihat dampak dari pembangunan proyek tersebut, baik untuk lingkungan hidup, satwa, maupun masyarakat. “Kami sama sekali tidak menemukan analisa-analisa dampak dari proyek secara lengkap. Dokumennya dibuat asal, isi analisinya juga normatif semua.”

Contohnya, untuk mengatasi konflik satwa akan dilakukan penggiringan. Tapi, tidak disebutkan bagaimana dan kemana penggiringan dilakukan. Lalu saat proyek dilaksanakan, disebutkan aliran air sungai akan ditutup. Itu saja tidak dijelaskan, saat air ditutup, sumber air untuk masyarakat termasuk untuk areal pertanian dari mana. Padahal, dokumen amdal disusun, salah satunya untuk menganalisa dampak negatif yang terjadi.

“Dalam dokumen juga tidak terlihat kajian bencana alam seperti banjir bandang atau gempa. Padahal semua orang tahu, Aceh merupakan daerah rawan gempa,” ungkap Husaini.

TM Zulfikar, Juru Bicara Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) yang juga Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Aceh menyebutkan, pembangunan PLTA Tampur 1 harus dibatalkan. Bukan hanya mengancam masyarakat, tapi juga daerah yang akan digenangi PLTA tersebut merupakan habitat satwa dilindungi terancam punah.

“Semua satwa kunci di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ada di lokasi pembangunan PLTA Tampur, khususnya orangutan, gajah, dan harimau sumatera,” ujarnya sembari menambahkan, tim YEL baru selesai melakukan survei satwa di wilayah itu.

Zulfikar meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak mengeluarkan izin pinjam kawasan hutan untuk PLTA Tampur 1, karena dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat cukup besar.

“Untuk memenuhi kebutuhan listrik di Aceh, banyak pembangkit listrik yang sudah dan sedang dibangun. PLTA Peusangan tengah digarap, listrik panas bumi di Sabang lagi dibangun, sementara listrik panas bumi Gunung Seulawah Agam dalam perencanaan. Selesaikan itu semua, jangan ganggu hutan Leuser,” pintanya.

 

Patroli gajah di Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. Foto: Junadi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tidak sesuai prosedur

Dinas Pengairan Aceh mengaku bingung dengan proyek PLTA Tampur 1 dikarenakan perusahaan tidak melakukan kegiatan seperti yang ditentukan. Bahkan, hingga saat ini, Komisi Keamanan Bendungan (KKB) belum ada di Aceh, hanya di Jakarta. Padahal, bendungan yang akan dibangun melebihi 170 meter.

“Saya sudah ke lokasi pembangunan, saat ini pengeboran untuk bendungan sudah dilakukan di 14 titik dengan kedalaman lebih 100 meter. Yang jadi masalah, pengeboran tidak mengikuti ketentuan, padahal lokasinya sudah ditetapkan,” terang perwakilan Rekomtek Dinas Pengairan Aceh, Fadlul.

Fadlul menyebutkan, dirinya juga telah meminta kelengkapan dokumen ke perusahaan seperti data hidrologi, ketersediaan air, serta dokumen pendukung lain. Sampai saat ini, data-data tersebut belum diberikan.

“Ini pidana, jika syarat-syarat tak dipenuhi. Kalau izin diberikan tanpa persyaratan terpenuhi, berarti melanggar hukum namanya,” ungkapnya.

 

Ranger memperlihatkan kerangka gajah yang mati akibat jerat yang dipasang pemburu di Kawasan Ekosistem Leuser, tepatnya di Kota Subulussalam, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dam Kehutanan Wiratno, pada 21 Februari 2018 menjelaskan, hingga saat ini dirinya belum mengetahui pengurusan izin pinjam kawasan hutan oleh PT. Kamirzu untuk pembangunan PLTA Tampur 1.

“Hutan lindung tidak bisa diubah. Kalau izin pinjam kawasan untuk PLTA, saya belum mendengar itu,” jelasnya.

Wiratno saat menjadi pembicara dalam seminar pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser dalam upaya menekan laju kerusakan menegaskan, setiap pembangunan, termasuk PLTA harus membuat kajian dampak terhadap masyarakat sekitar dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

“Amdal itu bukan hanya dibuat, tapi juga harus dikomunikasikan kepada masyarakat yang terdampak kegiatan tersebut.”

Menurut Wiratno, masyarakat di sekitar lokasi pembangunan harus yang paling tahu. Meskipun amdal sudah ada, tapi mengkomunikasikan dampaknya kepada masyarakat sangat penting. Bukan persoalan dokumen dan tandatangan saja.

“Dalam amdal, harus dimasukkan dampaknya dari aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Hal ini sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version