Mongabay.co.id

Berizin 1.500 Hektar Buka Kebun Sawit 3.500 Hektar, Hakim Putus Bebas Perusahaan Ini

Tandan buah sawit dipanen. Foto: James

 

Kisah sedih bagi alam negeri datang dari Riau pada pertengahan Februari 2018. Perusahaan sawit yang membuka kebun dua kali lipat lebih dari izin yang diberikan pemerintah, dan sebagian di kawasan hutan malah diputus bebas oleh pengadilan….

Tim penasihat hukum bersama terdakwa PT Peputra Supra Jaya (PSJ), diwakili Sudiono, selaku direktur,  foto bersama di ruang sidang cakra. Beberapa pengurus koperasi silih berganti juga ikut berfoto. Mereka merayakan putusan majelis hakim PN Pelalawan, Riau,  yang membebaskan PSJ dari tuntutan jaksa, Kamis (15/2/18).

Juffri Mochtar Tayib, penasihat hukum terdakwa, meneriakkan takbir sebelum meninggalkan ruang sidang.

“Perjuangan kita selama enam bulan bolak-balik dari Jakarta tidak sia-sia,” katanya.

PSJ didakwa, melanggar Pasal 105 jo Pasal 47 ayat (1) jo Pasal 113 ayat (1) huruf a, UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan.

Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut PSJ denda Rp10 miliar, karena budidaya perkebunan melebihi luas izin. Dari 3.500 hektar luas tanaman, PSJ hanya mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) 1.500 hektar.

IUP PSJ dikeluarkan Bupati Pelalawan, berdasarkan SK No: KPTS.525.3/DISBUN/2011/113 tertanggal 27 Januari 2011.

Majelis hakim berpendapat, meski IUP tak sesuai luas lahan, perusahaan masih punya waktu hingga 2019 untuk menyesuaikan izin. Pendapat ini merujuk Pasal 114 ayat 2 UU Perkebunan.

UU itu berbunyi, “perusahaan perkebunan yang telah melakukan usaha perkebunan dan telah memiliki izin usaha perkebunan namun tak sesuai dengan ketentuan UU ini, diberi waktu lima tahun untuk menyesuaikan sejak aturan ini berlaku.”

PSJ pun dinyatakan bebas dari segala tuntutan serta dakwaan.

“Terimakasih ya, sudah memantau perkara ini. Itulah pertimbangan kami,” kata I Dewa Gede Budhy Dharma Asmara, Ketua Majelis Hakim.

PSJ berdiri 1995 oleh seorang veteran yang meninggal dunia Maret tahun lalu, bernama Sinmardi Taman.

Harian Metro Riau, satu hari setelah kematian Sinmardi, menulis, dia punya nama lahir Pek Sing Tjong atau Alek. Lahir di Tanjung Belit Bengkalis, pada 1928.

Selain pernah jadi pejuang 45 dan anggota TNI sampai 1949, dia suka berdagang dan bisnis. Sering bolak-balik ke Singapura.

Bisnis Sinmardi merambat pada bidang perkayuan mulai 1967.

Dia mendirikan perusahaan di Pasir Pengaraian,  Rokan Hulu, Kampar hingga Rokan Hlir. Pada 1993 mulai mengembangkan bisnis budidaya sawit.

Pada 27 Februari 1996, PSJ adalah perusahaan penanaman modal dalam negeri. Lima bulan kemudian jadi perusahaan penanaman modal asing dengan menyertakan saham Heeton Investment Pte Ltd dari Singapura.

Sudiono, Direktur PSJ, mengatakan, saham 50% Indonesia, 50% Singapura.

Pte Ltd kependekan dari Private Limited, satu kode perusahaan di Singapura. Dalam sistem perseroan di negara ini, perusahaan dengan kode itu memang dibatasi dalam kepemilikan saham. Tidak boleh melebihi 50%.

Berdasarkan penjelasan pada situs resmi perusahaan ini, Heeton Investment bergerak dalam pengembangan dan investasi properti di Singapura. Ia dipelopori Toh Khai Cheng, selaku pendiri dan direktur perusahaan sejak 1976. Perusahaan terdaftar di Bursa Efek Singapura sejak 8 September 2003. Saat ini, Heeton dipimpin Toh Giap Eng, selaku executive deputy chairman.

Heeton banyak menjalin kemitraan untuk pengembangan properti baik di Singapura maupun Kuala Lumpur. Kini, Heeton mengembangkan usaha perhotelan hingga ke Pattaya Thailand.

Satu tahun setelah mendirikan PSJ, perusahaan ini menerima pemberian lahan oleh ninik mamak dari empat desa di Kecamatan Langgam, Pelalawan. Mereka dari Segati, Gondai, Langkan dan Penarikan seluas sekitar 9.000 hektar.

Penyerahan ini melalui Koperasi Sawit Raya (KSR) yang didirikan ninik mamak dan masyarakat setempat.

Lewat KSR, ninik mamak minta PSJ supaya lahan ditanami sawit. Kerjasama ini biasa disebut kredit koperasi primer anggota (KKPA). Mereka lebih senang menyebutnya, kerjasama bapak angkat dan anak angkat.

PSJ kemudian meminjam modal pada Bank Universal—bank yang pernah ada di Indonesia hingga 2002. Ia membiayai segala kegiatan budidaya tanaman sawit, mulai pembersihan lahan, pembibitan, pemupukan hingga panen.

Kerjasama ini mewajibkan anggota KSR menyisihkan sebagian hasil panen untuk membayar pinjaman modal tadi.

Lewat kerjasama inilah, PSJ diberi lahan 3.500 hektar dari 9.000 hektar yang diserahkan ninik mamak. Pengolahan lahan ini dikenal dengan istilah lahan inti dan plasma.

“Lahan inti dikelola PT PSJ langsung. Plasma oleh anggota koperasi tapi dibantu PSJ,” kata Sudiono.

Pada 2010, anggota KSR pecah kongsi dan bikin koperasi masing-masing.  Koperasi-koperasi itu adalah Sri Gumala Sakti, Gondai Poros Indah, Gondai Bersatu, Makmur Mandiri, Rukun Makmur, Penarikan Maju Bersama, Mandiri dan Koperasi Belimbing Jaya.

“Alasan anggota bikin koperasi sendiri untuk menyelesaikan utang piutang pada perusahaan,” ucap Alwizar, mantan Ketua Koperasi Sri Gumala Sakti.

Kerjasama masing-masing koperasi dan PSJ tetap mengikuti kesepakatan pertama kali pada 18 Januari 1996, diubah pada 27 November 1996 dan terakhir pada 2002. Saat itu, masih KSR.

Kesepakatan ini seputar pola bagi hasil dan kewajiban anggota koperasi menjual hasil panen pada PSJ. Di situ, termasuk menyisihkan sebagian hasil panen untuk bayar utang.

“Setelah panen, koperasi dapat bagian 50%, sisanya PSJ,” kata Ridwan Nainggolan, Ketua Koperasi Makmur Mandiri.

 

Sudiono (tengah) berfoto ria bersama tim pengacara merayakan putusan bebas majelis hakim. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Plasma terlilit utang

Lain hal dengan Koperasi Sri Gumala Sakti, besaran bagi hasil mereka berubah-ubah. Kata Maradu Nasib M Silaban, awal mula dia jadi ketua pada 2013, bagi hasil 63% untuk petani, 37% perusahaan.

“Sekarang 85% petani dan 15% perusahaan.”

Maradu bukan masyarakat setempat. Dia jadi ketua koperasi setelah beli lahan pada salah satu anggota koperasi Rp82 juta.

Kini, tak semua aggota koperasi penduduk setempat. Sebagian anggota telah menjual dengan orang luar. Sopian, Mantan Ketua Koperasi Gondai Poros Indah, bilang, lahan itu dijual karena anggota koperasi terus terlilit utang pada perusahaan.

Persoalan ini buat Sugimin, Bendahara Koperasi Rukun Makmur, bereaksi. Dia beberapa kali menyurati PSJ minta transparansi utang anggota koperasi, tetapi tak ditanggapi. Diapun menolak menjual hasil panen pada PSJ.

Sugimin menggugat PSJ ke PN Pelalawan. Gugatan mereka ditolak, sekarang sedang upaya kasasi.

“Kami sudah lunasi semua utang dengan meminjam uang dari pihak luar. Kami sekarang bebas menjual hasil panen ke PT Mitra Unggul Pusaka.”

Sugimin mulanya juga bukan penduduk setempat. Dia menetap di Desa Langkan setelah beli lahan dengan seorang anggota Koperasi Sawit Raya, pada 2008.

Sudiono membela perusahaannya. Menurut dia, anggota koperasi masih berutang karena terus dibiayai perusahaan dalam mengelola kebun. Tak hanya itu, dia juga menghadirkan saksi lain untuk membantah keterangan saksi JPU.

Kamisrun, Abdul Maryono dan Sucipto, menerima hasil dari program KKPA. Mereka mengaku merasa terbantu berkat kehadiran PSJ.

“Sebelum ada perusahaan bahkan pekerjaan kami tidak menetap,” katanya.

Begitu juga dengan Saharuddin dan M Setiawan, anggota Koperasi Tiga Bersama yang sebelumnya anggota Koperasi Gondai Bersatu dan Rukun Makmur.

“Setelah ada PSJ, kami punya pengasilan tetap. Sebelumnya, pekerjaan dan pendapatan kami tidak menentu,” kata Setiawan.

Ribu-ribut PSJ tak hanya dengan koperasi yang protes terhadap utang piutang yang tak kunjung lunas.

Pada 2016, Muller Tampubolon, Direktur PT Nusa Wana Raya (NWR), melaporkan PSJ ke Mabes Polri atas penyerobotan lahan milik mereka. NWR menguasai bekas lahan HPH PT Siak Raya Timber (SRT).

Dalam laporan, Muller Tampubolon mengklaim, PSJ merambah 5.416 hektar dari 21.870 hektar konsesi NWR.

“Kami pernah minta pemda selesaikan masalah ini. Sampai berlarut-larut tak ada penyelesaian, kami akhirnya menempuh jalur hukum,” kata Muller.

 

Kebun di kawasan hutan

Puthut Okky Mahendra, dari Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, turun mengukur lahan, 18 April 2016.

Dia bertanggungjawab mengkaji data, menganalisa dan menyiapkan bahan rancangan perumusan kebijakan, yang berkaitan dengan kegiatan pengukuhan kawasan hutan Sumatera.

Puthut ditemani penyidik dari Bareskrim Polri, pegawai Dishutbun Pelalawan, Polsek Kecamatan Langgam, karyawan PSJ dan NWR, mengambil titik koordinat di area yang ditanami sawit PSJ.

Dari 32 titik koordinat yang diambil, berdasarkan SK.878/Menhut-II/2014, IUP PSJ  sekitar 1.281 hektar, berada pada kawasan hutan produksi tetap seluas 307 hektar. Sisanya, 974 hektar pada areal penggunaan lain (APL).

Untuk luasan di luar IUP sekitar 2.134 hektar, 88 hektar dalam kawasan hutan produksi terbatas, 1.993 hektar kawasan hutan produksi tetap dan 53 hektar APL.Itu baru lahan inti yang dikuasai PSJ.

Ada lagi lahan plasma milik delapan koperasi yang bermitra dengan PSJ juga diukur oleh Puthut, seluas 5.909 hektar.

Hasilnya, 1.367 hektar dalam kawasan hutan produksi tetap, 128 hektar hutan produksi konversi dan 4.414 hektar APL.

Puthut juga memploting hasil pengukuran lewat SK.173/Kpts-II1986/ tentang tata guna hutan kesepakatan Riau, dan lewat Perda Nomor 10/1994 tentang RTRWP Riau.

Hasilnya menunjukkan, sebagian kebun inti PSJ dan kebun plasma koperasi yang bermitra dengannya, dalam kawasan hutan. Hanya luasan berbeda berdasarkan masing-masing SK itu.

Fakta ini diungkapkan di persidangan yang juga dibenarkan oleh beberapa saksi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pelalawan.

Jafri, Kabid Pemanfaatan Hasil Hutan, mengatakan, PSJ pernah mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan pada 2006. Permohonan itu hanya disetujui 1.500 dari 3.500 hektar yang diajukan.

“Kenyataannya mereka tetap menanam sampai 3.500 hektar. Padahal itu dalam kawasan hutan dan telah diberi izin pada PT NWR.”

Heri Hadiasyah Putra, Kasi Bina Usaha, bahkan pernah menyurati PSJ pada 2015 atas penggunaan lahan yang tidak prosedural. Alhasil, PSJ termasuk salah satu perusahaan di Pelalawan yang dilaporkan ke Gubernur Riau.

“Itu setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menyurati gubernur seluruh Indonesia, untuk mendata perusahaan yang tidak punya izin sesuai aturan yang berlaku,” kata Jafri.

Sudiono kembali membantah. Sejak 1996, PSJ telah memiliki beberapa izin pendukung kegiatan mereka dan terus berupaya memenuhi beberapa izin yang belum didapatkan. Termasuk permohonan penyesuaian IUP.

“Bahkan, kami sudah lima kali menyurati KLHK mohon izin pelepasan kawasan hutan. Tapi belum ditanggapi hingga sekarang. Kami menyurati Presiden Joko Widodo dan KPK,” kata Sudiono.

Beragam izin itu juga jadi pertimbangan majelis hakim membebaskan PSJ. I Dewa Gede Budhy Dharma Asmara, menyebutkan, tak ada kesalahan pada terdakwa karena dianggap telah memiliki IUP dan berusaha memenuhi segala izin yang belum diperoleh.

JPU Himawan Aprianto Saputra, menyesalkan, putusan majelis hakim. “Putusan itu tidak memandang, IUP dan areal tanam di luar izin itu berada dalam kawasan hutan. Bagaimana IUP bisa dikeluarkan dalam kawasan hutan?” katanya setelah sidang putusan selesai.

Putra, begitu biasa dipanggil, langsung upaya kasasi. Belum satu jam pasca putusan bebas itu, dia sudah komunikasi dengan Kejaksaan Agung untuk ajukan memori kasasi.

 

Tersangka baru

Sudiono, kata Putra, sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sekarang berkas sudah P19. “Kali ini tidak hanya UU Perkebunan yang akan kita dakwakan. Ada unsur pasal lain yang akan kita kenakan,” katanya.

Juffri Mochtar Tayib menanggapi kasasi JPU dengan santai. “Silakan saja. Itu hak jaksa. Kita juga akan siapkan kontra memori kasasi.”

Soal status Sudiono yang sudah diperiksa penyidik, Juffri mengaku masih menunggu informasi lanjutan. Menurut dia, putusan majelis hakim akan berpengaruh, apakah perkara Sudiono lanjut atau berhenti pada P19.

“Saya tetap dampingi Pak Sudiono.”

 

Foto utama: (ilustrasi). Perusahaan sawit di Riau, yang menanam di lahan sawit sekitar 3.500 hektar (kebun) inti), sebagian di kawasan hutan. Jumlah itu, melebihi dua kali lipat dari izin yang diberikan sekitar 1.500 hektar. Wow! Pengadilan di Palalawan, Riau, memutus perusahaan bebas. Foto: James/ Mongabay Indonesia

 

Tampak seorang warga tengah membersihkan kebun sawit di Tesso Nilo, Riau, Minggu (12/11/17). Salah satu contoh lain tata kelola lahan dan hutan di negeri ini masih amburadul.  Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version