Mongabay.co.id

Potret Desa Sumber Pangan di Pulau Morotai

 

Gugusan pulau-pulau kecil di bawah langit terlihat biru kala mendekati Kepulauan Morotai, Maluku Utara, menumpangi kapal ferry, pada awal 2018.

Ada Pulau Dodola, Zum-zum, dan Pulau Kolorai, tempat produksi rumput laut. Pulau-pulau kecil pun menyimpan sejarah panjang Perang Dunia ke II. Pulau Zum-zum, merupakan saksi bisu pertempuran Jepang dan sekutu Tentara Amerika yang dipimpin Jenderal MacArthur. Pulau ini dapat ditempuh dalam 15 menit dengan speedboat.

Keindahan Pulau Morotai,  mulai mencuat sejak Sail Morotai pada Juni-September 2012, diikuti lebih 100 peserta dari luar negeri. Pulau inpun dikenal dunia dengan keindahan pariwisata baharinya.

Ketika saya tiba di pusat kota pulau seluas 2.476 km persegi ini, langit mulai gelap, tanda hujan akan turun. Sekadar bermalam di Daruba, Ibukota Kabupaten Pulau Morotai, jadi pilihan tepat.

Saya mendapat informasi dari warga soal daerah sumber pangan mereka di Desa Pilowo dan Aha. Ada juga soal kelapa bido di Desa Bido, dan lain-lain.

Badan Stastistik Morotai 2016 mencatat, pada 2015, luas padi sawah 1450 hektar, panen 314 hektar dengan produksi 943 ton. Kabupaten ini juga punya empat komoditas unggulan, yakni kelapa, cengkih, pala, dan kakao.

Pada 2013, lahan kelapa 12.374 hektar, dengan produksi 11.166 ton, cengkih luas 2.124 hektar, produksi 207 ton. Lalu, luas kebun pala 2.966 hektar dengan produksi 101 ton, dan kakao 1.630 hektar dengan produksi 217 ton. Sedangkan hasil produksi perikanan pada 2014,  tercatat 179.620 ton.

Sektor perikanan, alat tangkap nelayan paling banyak dipakai, yaitu handline, ada 1.038 buah. Kapal penangkap ikan didominasi kapal motor tempel 694 kapal.

 

Sawah di Desa Aha, Morotai Selatan, Pulau Morotai. Foto: Layank/ Mongabay Indonesia

 

Keesokan hari, kami menuju Desa Aha dan Pilowo,  di selatan Pulau Morotai, dengan sepeda motor, menempuh waktu sekitar 15-20 menit dari Desa Daruba.

Di tengah perjalanan, kami melihat monumen patung Teruo Nakamura, salah satu prajurit Jepang pada Perang Dunia II di Morotai.

Pada monumen tertulis,” Nakamura adalah suku asli Taiwan yang direkrut menjadi tentara sukarela kekaisaran Jepang pada Perang Dunia II, sebagai pasukan khusus Takasago IV yang terkenal sebagai pasukan khusus perang gerilya untuk mempertahankan kepulauan Morotai dari gempuran tentara sekutu.”

Monumen ini dibangun saat Sail Morotai 2012. Ia berada di samping jalan utama Desa Dehegila.

Beberapa menit kemudian terlihat rumah panggung, persis seperti rumah adat Bugis Bone, berjejer dari arah timur ke barat, berhadapan dengan berhektar-hektar ladang sawah.

Di bawah rumah panggung berdinding papan itu kosong tanpa dinding, dengan ketinggian sekitar tiga meteran. Ia dipakai buat menaruh hasil panen, seperti gabah, atau untuk meletakkan kayu bakar, dan barang lain.

Masyarakat setempat menyebut bangunan ini dengan rumah tinggi (bola soba) dalam bahasa lama Bugis Bone, Sulawesi Selatan.

Konstruksi rumah sengaja dibuat demikian untuk mengingat kampung halaman mereka, yang mayoritas Suku Bugis Bone di Desa Aha.

 

Rumah adat Bugis Bone, disebut juga Bola Soba di Desa Aha, Morotai Selatan, Pulau Morotai. Bola Soba ini dibangun tepat menghadap sawah, Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Anwar Gani, Kepala Desa Aha, bercerita, sebelum mekar jadi satu desa otonom dari Desa Pilowo pada 2013, Desa Aha adalah hutan sagu, anak dusun dari Desa Pilowo.

Pada 1968, (alm) Sire Gani dari Bugis Bone datang ke Morotai mendiami Desa Cocomare, Morotai Selatan. Dia sering datang ke Desa Pilowo, mengunjungi kepala Desa Arsad Mahmud untuk meminta lokasi agar bisa berkebun.

Kepala desa kemudian membawa Sire Gani menuju hutan sagu, daerah berawa yang belum dimanfaatkan warga.

“Karena hutan sagu ini tak terurus, kepala desa menyerahkan ke ayah saya untuk membuka lahan kebun,” kata Anwar.

Mulai dari itu, setiap waktu luang, Sire Gani berjalan kaki sekitar delapan kilometer dari Desa Cocomare ke hutan sagu untuk membuka lahan perkebunan. “Saat itu,  bapak saya mulai membongkar hutan rawa lalu balik ke Cocomare jalan kaki delapan kilometer,” katanya.

Kali pertama buka lahan, Sire Gani tanam padi ladang bibit padi lokal, gogo. Kala panen, Sire kembali ke Makassar. Sebagian keluarga dia di Bone meminta Sire membawa mereka ke Morotai untuk berkebun.

“Kalian boleh ikut, namun saya tak menjamin apakah kalian senang atau berhati susah ketika di sana. Saya juga baru memulai bertani,” kata Anwar mengulangi ucapan sang ayah.

Akhirnya, tiga keluarga mengikuti Sire ke Morotai. Mereka dapat hutan lagi, terus berhasil, mereka pulang lagi. Begitu seterusnya. Jadi, migrasi ke sini bukan program pemerintah tetapi inisiatif sendiri.

Pada 1970-an, Aha baru dihuni empat keluarga asal Bugis Bone dengan persetujuan Kepala Desa Pilowo. Orang-orang Bugis ini berhasil membuka beberapa hektar padi ladang. Mereka memanen dengan cara sederhana, menumbuk benih padi pakai lesung.

Saat itu, belum pakai sistem irigasi. Mereka hanya memanfaatkan air hujan untuk padi ladang hingga bergeser ke padi sawah pada 1980-an dengan bibit dari Makassar. Pastinya, jika musim kemarau, mereka tak akan panen.

Kala panen, setiap keluarga wajib menyisihkan beberapa kilogram padi, disimpan agar tak kekurangan pangan saat kemarau tiba. Sepuluh tahun kemudian, barulah irigasi dibangun pemerintah setelah akses jalan terbuka.

Sebelum ada jalan, panen padi dijual ke Desa Daruba, mengunakan perahu sampan dari pantai Desa Pilowo.“Setelah padi panen, setiap orang memikul satu karung padi 30 kg, lalu jalan kaki tujuh km menuju Pantai Pilowo,” kata Anwar.

Setahun kemudian, beberapa petani Aha balik ke Makassar dan kembali bersama beberapa keluarga. Aha banyak dihuni Suku Bugis.

Melihat kondisi petani banyak belum menempuh pendidikan formal, Sire berinisiatif membangun sekolah, yang ditempatkan di bawah rumah panggung. Saat itu, dia mengajak satu orang jadi guru, mereka digaji dari hasil panen, sekadar mengajar berhitung dan mengeja huruf. Bahan belajar seperti buku Matematika dan Bahasa Indonesia Sire dapat dari kerabat di Desa Daruba,  ketika berjualan hasil panen.

Menariknya, hingga kini, masyarakat Aha tak ketergantungan dengan pupuk meskipun setok pupuk sudah tersedia di Dinas Kehutanan Morotai. Tanah mereka memiliki kualitas baik untuk padi, sayuran, kelapa, bahkan cengkih dan pala.

“Tanah di sini berbeda dengan Makassar atau Jawa, di Makassar tak ada pupuk, padi tak jadi. Di sini, kalau dipupuk, padi roboh semua karena besar.  Pupuk justeru membuat padi hancur dan menambah hama,” ucap Anwar.

Petani bertani organik, tanpa pupuk kimia. Saat ini, Desa Aha dihuni 72 keluarga, luas wilayah 4,380 hektar lebih. Anwar bilang, pada 2017, sistem irigasi mulai diperbaiki pemerintah. Dia perkirakan, dalam setahun bisa tiga-empat kali panen. Satu keluarga bisa hasilkan tiga sampai empat ton bulir padi atau gabah.

 

Almar, ketika ditemui sedang membuat kopra di bibir Pantai Pilowo, Morotai Setan Pulau Morotai, Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Rerata, satu keluarga panen padi lebih 100 karung. Satu karung 35 kilogram. “Jadi, hitungan saya, satu keluarga, sekali panen mengasilkan tiga ton atau 350 kg. Jika dikalikan 75 keluarga, berarti Desa Aha sekali panen 26.250 kg atau 26 ton lebih,’’ katanya.

Kalau dalam setahun tiga kali panen,  Desa Aha hasilkan panen 78.750 kg atau 78 ton bulir padi.

Anwar bilang, mereka masih terus berbenah karena hingga kini, mereka masih gunakan sistem tradisional, belum didukung alat-alat modern untuk kualitas dari gabah jadi beras. Dia sedikit khawatir, kalau hasil panen kalah dengan beras luar Morotai yang mendominasi pasar.

Para petani pernah mengusulkan Bupati Morotai agar hasil panen Desa Aha bisa ditangani perusahaan daerah, terutama pemasaran.

Layang Sutanto, warga Desa Daruba mengatakan, sejak dulu, mereka suka mengkonsumsi beras dari Desa Aha. “Di Daruba, kami menyebut beras baru. Jika petani Aha belum datang jualan ke sini, kami akan datang ke Aha sekadar membeli beras. Saat ini, sekilogram Rp10.000.”

Layang bilang, sejak dahulu, sebelum dimekarkan– jadi bagian Desa Pilowo–, Aha adalah sumber pengan Kepulauan Morotai. “Dua desa bisa dikatakan, dua desa ini dapur Pulau Morotai,” katanya.

 

******

Warga Pilowo membangun rumah di pesisir pantai, sekira tiga kilometer dari Desa Aha. Di sana, kala musim melaut, secara berkelompok mereka menggerakkan bagan ikan, kala musim panen kelapa, mereka ke kebun membuat kopra.

Nelayan bagan,  Almar, kala itu sedang membuat kopra di bibir Pantai Pilowo mengatakan, beberapa bulan ini tak melaut karena salah satu bagan ikan rusak. “Di sini ada empat bagan ikan, satu rusak,” kata ayah tiga anak ini. Kopra yang dia kerjakan milik majikannya, Hamid.

Upah Almar dihitung persatu karung kopra jadi Rp35.000. Dia memperperkirakan, produksi kopra sekitar 40 ton dan panen dijual ke Aha. “Harga kopra jatuh, hanya Rp6.500 perkg. Kami jual ke orang Bugis, di Aha,” katanya.

Dia bilang, panen kopra di Pilowo cukup melimpah, pada bulan ke tiga, hasil bisa 100 ton.

Supriono Ahmad, Dosen Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pasifik, Morotai,  mengatakan, riset model integrasi Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2017, di Kepulauan Morotai,  hanya ada empat bagan ikan.

Keempat bagan ada di Desa Pilowo dan Beringin yan berdekatan, sayangnya satu bagan rusak parah. “Kami sudah riset. Di Morotai, hanya empat bagan ikan. Satu rusak, tiga beroperasi di Perairan Morotai,” ucap Supriono.

 

Foto utama: Anak-anak di Desa Aha, Morotai Selatan, Pulau Morotai, membawa hasil panen menggunakan gerobak sapi. Foto: Layank/ Mongabay Indonesia

 

Seorang warga berlajan di jembatan sepanjang 50 meter yang sudah rusak pada Januari 2018. Jembatan ini menjadi akses para nelayan di Desa Pilowo. Hingga saat ini, jembatan belum diperbaiki. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version