Mongabay.co.id

Derita Masyarakat Akibat Tercemarnya Sungai Citarum (Bagian 2)

Awim (68) sungguh kesal melihat limbah menggenangi sawahnya. Pikirannya berkecamuk, menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli bibit dan pupuk. Belum lagi biaya lain yang harus ia ditanggung.

“Saya lupa menutup aliran air, akibatnya sawah tercemar lagi. Pasti limbah ini dibuang malam tadi. Padahal, sebentar lagi mau panen,” terangnya, Sabtu (17/2/2017) siang.

Di tempat Awim menggarap lahan, Desa Sukamulya, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, limbah seolah jadi pemandangan lumrah. Anak Sungai Citarum yang melintasi wilayah tersebut sudah biasa dijadikan tempat pembuangan limbah pabrik. Begitu juga saluran irigasi, kondisinya tidak jauh berbeda. Tercemar dan kotor.

Dikatakan dia, limbah yang keluar kerap warna-warni, berbau menyengat, dan bertemperatur tinggi. “Hampir tiap hari limbah dibuang tanpa henti, dari lubang yang langsung menuju sungai,” ungkap Awin.

Pertanian pun makin sulit ditopang. Air telah terkontaminasi limbah cair. Alhasil, produksi padi merosot. Kini, petani hanya panen 3-4 ton gabah basah.

“Tahun 1970-an, tiap kali panen bisa mencapai 8 ton. Kondisi berubah sejak limbah dan asap batubara mencemari sawah. Padi sering hapa (kosong). Kalau dihitung untung-rugi, petani mah merugi. Hingga (sawah) di sini sebagian besar sudah beralih kepemilikan,” ujar Awin yang menggarap lahan seluas 7.000 meter persegi.

Baca: Limbah yang Tak Pernah Henti Meracuni Sungai Citarum (Bagian 1)

 

Foto udara yang menunjukkan kondisi kawasan industri Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tahun 2012, LSM Greenpeace melakukan investigasi di Kecamatan Rancaekek. Hasilnya, lahan pertanian di Desa Linggar, Jelegong, Sukamulya, dan Bojong Loa rusak parah akibat air dari Sungai Cikijing tercemar berat. Luas sebaran pencemaran lebih dari 1.000 hektar yang terbagi dalam 3 kelas kedalaman tanah pertanian, yaitu <30 sentimeter, 30-60 sentimeter, dan >60 sentimeter.

Tanaman padi menjadi tidak subur dan produktivitas pertanian menurun hingga kerugian ditaksir ratusan miliar (2009-2013). Angka tersebut belum termasuk biaya pemulihan ekosistem pasca-pencemaran.

Lebih mengkhawatirkan lagi, Penelitian Balai Penelitian Tanah, Bogor tahun 2002 mengindikasi bahwa bahan kimia berbahaya seperti Pb dan kadmium (Cd) telah ditemukan dalam tanah sawah lapisan olah. Zat lain seperti kromium (Cr) juga ditemukan dalam jerami dan beras. Perlu langkah panjang memulihkan kesuburan sawah dari pencemaran. Padahal, sebelumnya wilayah Rancaekek merupakan salah satu lumbung padi di Bandung Raya. Sejak kawasan industri tekstil dikembangkan medio 1970-an, semua berubah.

 

Petani menggarap lahan di Desa Ciwalengke, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, belum lama ini. Akibat produksi pertanian yang terus menurun, menyebabkan penjualan tidak bisa dihindari. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Lempar batu

Di Desa Ciwalengke, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, yang merupakan sentral tekstil, kondisinya tidak jauh berbeda. Cepatnya perputaran uang, di satu sisi, menjadikan Majalaya kesohor dengan sebutan Kota Dollar. Ironisnya, kemajuan industri tekstil tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas dan taraf hidup masyarakat sekitar.

Mulyati (37), misalnya, kerap mengeluh, tatkala anak bungsunya Ira (2) merengek. Sore itu, dia bersabar menenangkan buah hatinya yang menangis menahan gatal. “Sehabis bermain, pasti nangis begini. Karena keseringan digaruk kulitnya terkelupas,” katanya lirih.

Rumah Mulyati berjarak sekitar 20 meter dari sebuah pabrik tekstil. Hanya dipisahkan aliran anak Sungai Citarum. Tak lama hujan turun, seketika sungai itu berubah warna dan mengeluarkan bau menyiksa hidung.

“Hampir setiap hujan pasti pabrik membuang limbahnya,” kata Mulyati sembari menunjuk lokasi pabrik. Rumahnya memang persis di belakang pabrik.

 

Limbah cair mengalir di Desa Sukamukti, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, belum lama ini. Dari 187 pabrik di kawasan industri tersebut, sebagian besar tidak mengolah limbah sesuai aturan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Wawan (41), suami Mulyati, lantas keluar rumah. Beberapa kerikil diambilnya dari pekarangan. Dengan langkah cepat dia menuju gerbang pabrik. Tanpa aba-aba batu dilemparkan.

“Kalau tidak begini mereka tidak akan tahu,” ucap Wawan dengan nada tinggi.

 

Potret kesehatan warga yang terkena dampak limbah cair dan asap batubara di kawasan industri Majalaya, Kabupaten Bandung. Paling terasa adalah kulit gatal dan nafas sesak. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hal itu terpaksa dilakukan lantaran keluhan masyarakat tidak digumbris. Wawan mengaku lelah, berulangkali membuat laporan, tak ada hasil. Laporan itu perihal limbah dan asap batubara yang membuat masyarakat tidak nyaman hingga mengganggu kesehatan.

“Mereka (pabrik) tidak mengenal waktu membuang limbah. Malam hari pun, kadang kami sesak nafas akibat bau asap batubara,” keluhnya. Wawan yang bekerja serabutan belum mampu membawa anaknya berobat, sehingga mengandalkan obat warung. Itu pun tidak cukup.

Begitu juga dengan kondisi kesehatan anak pertama mereka, Lilis (9). Tubuhnya kecil untuk ukuran anak seusianya. Giginya belum tumbuh sempurna. “Lilis suka mengeluh sesak nafas. Dia tidak bisa capek, bisa sakit nantinya,” ungkap Mulyati.

 

Warga Kampung Bolero, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, yang mengungsi ketika banjir yang berasal dari luapan Sungai Citarum datang. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Masalah limbah

Ketua Elemen Lingkungan, LSM yang berfokus pada pencemaran Citarum, Deni Riswandi, mengatakan, pencemaran sudah menjalar ke sendi-sendi kehidupan masyarakat. Air, udara dan lahan pesawahan di Majalaya hampir sudah disesaki pabrik dan perumahan.

Dari jumlah 187 pabrik, sebagian besar membuang zat sisa produksi tanpa melalui proses instalasi pengolahan air limbah (IPAL). “Pabrik pasti memiliki IPAL sebab berkaitan dengan persyaratan izin. Cuma, IPAL dijalankan atau tidak itu yang jadi masalahnya. Penelusuran kami, sebagian besar pabrik tidak mengolah limbah sesuai aturan. Termasuk limbah batubara,” ujar Deni.

Di sisi lain, meningkatnya hunian, berpotensi menambah jumlah sampah masuk ke Sungai Citarum. Parahnya, hunian tersebut dibangun berdekatan dengan bantaran sungai yang tidak ditunjang fasilitas sampah. Sehingga, krisis air dan lingkungan kumuh acap dirasakan masyarakat.

“Sejauh ini, program pemulihan Citarum banyak dicetuskan pemerintah daerah, provinsi maupun pusat. Namun, tingkat keberhasilannya tidak diketahui. Yang terlewat, justru total kerugian persoalan puluhan tahun yang belum dihitung. Seperti kerugian akibat rusaknya daerah hulu yang menyebabkan banjir dan sedimentasi yang belum diketahui sampai sekarang,” paparnya.

 

Alat berat tampak mengeruk pinggiran Sungai Citarum di Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, menjelang malam, kesunyian tampak nyata di Kampung Bolera, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Sebuah kawasan langganan banjir luapan Sungai Citarum setinggi 1-2 meter, selama 25 tahun. Masyarakat di sini kerap mengungsi kala hujan datang.

“Saya sudah satu tahun mengungsi ditenda yang saya buat sendiri bersama keluarga. Saya khawatir rumah roboh bila pulang, karena terus tergenangi banjir. Dinding rumah sudah lapuk,” pungkas Yuni (35) ibu lima anak. (Bersambung)

 

 

Exit mobile version