Mongabay.co.id

Tolitoli: Daerah Rawan Bencana dan Upaya Mitigasi Ditengah Keterbatasan

Bangunan permanen dengan dominasi warna oranye khas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) itu terlihat sepi. Hanya terlihat beberapa staf dan dua mobil Damkar terpakir digarasi. Beberapa peratalan rescue lainnya berjajar dipojok kirinya.

“Sebagian besar anggota berada di lapangan dan beberapa lagi sedang perjalanan dinas,” kata Fidyah Putra, Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Tolitoli, Sulawesi Tengah (21/02).

Dia mengedarkan pandangannya, sesekali bertanya kepada para petugas lapangan.

“Sekarang harus waspada, apalagi cuaca yang tiba-tiba ekstrem macam tadi, biarpun hanya sebentar itu bisa menyebabkan banjir. Tolitoli ini 70-80 persen rawan bencana.”

Cuaca sore itu memang sedikit mengkhawatirkan. Satu jam sebelumnya kota cengkeh ini kembali diguyur hujan keras. Meski sebentar, air Sungai Tueley yang membelah kota Tolitoli terlihat keruh dan deras.

Memang sejak beberapa waktu belakangan ini, langit mendung dan angin kencang. Fokus para petugas adalah daerah Anoa, yang berbatasan langsung dengan Sungai Tueley. Juga, lokasi seperti Bumi Harapan dan seputaran pasar inpres Kota Tolitoli.

Sebelumnya, tanggal 7 Februari, tepat pukul 22.00, daerah Anoa terendam banjir. Cuaca berubah ekstrim, hujan deras dan guntur tak henti. Puluhan rumah yang ada di pinggiran sungai terdampak. Pukul 24.00, hujan mereda dan air pun perlahan surut. Para personil BPBD, team polres dan TNI masih berjaga hingga pukul 4.00 dinihari.

“Tim terbagi di beberapa titik rawan malam itu,” lanjut Fidyah.

Berdasarkan laporan yang masuk ke BPBD, tiga desa yaitu Muara Besar, Kamalu dan Bambalaga di Kecamatan Ogo Deide terkena imbas. Bahkan banjir yang menggenangi Desa Bambalaga mencapai 2 meteran. Dua rumah warga menjadi korban. Tetapi, tidak ada korban jiwa.

Kejadian itu bukanlah yang pertama, sebelumnya pada tahun 2017 terjadi bencana sebanyak dua kali, pada tahun 3 dan 13 Juli Juni 2018. Dari catatan BPBD, kerusakan akibat banjir dan tanah longsor pada periode tanggap darurat tersebut mencapai nominal ratusan milyaran rupiah.  Kerusakan terparah adalah untuk sektor infrastruktur dan perumahan.

 

 

Cuaca Ekstrim dalam Dua Tahun Terakhir

 “Dari pantauan satelit BMG Pusat, Tolitoli memang salah satu daerah yang terkena cuaca ekstrim,” jelas Idris Simon, Kepala BMKG Stasiun Lalos kepada Mongabay Indonesia (15/02).

Perubahan pola udara yang bergerak cepat membawa bibit siklon tropis, jelasnya. Ditambah topografi Tolitoli yang sebagian besar dikelilingi pegunungan dan  jarak laut yang dekat, membuat Tolitoli memiliki kemungkinan besar bergesekan dengan cuaca buruk.

Hal itu pun dipengaruhi oleh iklim lokal yang membawa dampak yang tidak diharapkan, seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung. “Meski beriklim tropis, Tolitoli memiliki curah hujan yang tinggi, juga beriklim basah,” tambah Simon.

Berdasarkan data Climate-Data.org, curah hujan pertahun di Tolitoli berada di angka 1.910 mm dengan musim kemarau yang cukup singkat. Sementara dari catatan BMKG, presipitasi diwilayah ini berada di angka 1.706,6 mm pertahun.

Bagi Fidyah, yang sedari kecil tinggal di Tolitoli, cuaca ekstrim yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini merupakan suatu anomali.

“Dari kecil saya disini, baru ini alami banjir kayak begini. Bayangkan baru dua jam so banjir satu kota. Pernah kejadian, cuaca panas tapi banjir besar, saya sampai tidak percaya.”

Dia menduga hal ini terjadi akibat perubahan perilaku manusia, dan pembukaan di wilayah hulu. Semisal pembukaan area di wilayah Janja, Kecamatan Lampasio, yang membawa banjir kiriman dari Buol, yang pegunungannya berbatasan dengan Kabupaten Tolitoli.

Saat tegakan hutan hilang digantikan perkebunan, air limpasan tinggi karena tidak ada lagi resapan. Fidyah menyebut hektaran hutan telah berubah menjadi perkebunan cengkeh, yang merupakan komoditi utama dari Tolitoli. Cengkeh pun banyak yang diolah menjadi minyak atsiri.

Stevan, petugas BKSDA Resort VII Dako, membenarkan pernyataan itu. “Itu masyarakat punya kebun sampai berhektar-hektar, tapi belum sampai menyentuh kawasan hutan lindung,” jelasnya. Hutan lindung yang dia maksud adalah kawasan konservasi, Cagar Alam Gunung Dako.

Dia menyebut perlu ada sosialisasi agar masyarakat tidak lagi memperluas pembukaan lahan. Menurutnya, perkebunan cengkeh masyarakat sudah lama ada selama puluhan tahun, dan seiring waktu bertambah sedikit demi sedikit, karena minimnya pengawasan.

“Jika terjadi bencana kan dampaknya bukan hanya kepada mereka, tetapi imbasnya kepada seluruh masyarakat Tolitoli,” ujar Stevan.

 

Mitigasi Bencana dalam Keterbatasan Anggaran

Meski sarat dengan berbagai kejadian bencana, namun hingga saat ini dana untuk mitigasi bencana di BPBD Tolitoli dirasakan masih minim.

Tahun ini BPBD Tolitoli mendapat jatah Rp 1,2 Milyar dana APBD untuk peruntukkan operasional pembiayaan kantor ditambah anggaran biaya tak terduga sebesar Rp 1,25 Milyar yang hanya boleh digunakan pada saat tanggap darurat. Dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, BPBD Tolitoli memperoleh Rp. 250 juta per tahun.

Namun dana tersebut dianggap masih kurang ideal menurut Fidyah, karena daerah Tolitoli masuk dalam area rawan bencana. Akibatnya, BPBD berupaya mencari solusi untuk memaksimalkan potensi dana yang ada, termasuk kerjasama dengan beragam pihak.

“Pembuatan bronjong di garis sepandan sungai Tueley di area jembatan polisi dan Anoa, panjangnya sekitar dua ratusan meter yang berasal dari bantuan Kementerian Sosial,” terang Fidyah.

Sungai Lais, Basi Dondo, Tambun dan Lelean Nono juga turut dilakukan perbaikan untuk mengantisipasi jika bencana terjadi. Anggaran yang dikucurkan untuk proses tersebut berasal dari dana aspirasi dewan. Besarannya berkisar di angka Rp 100-200 juta.

“Tahun ini kami ajukan anggaran ke Kementerian untuk mitigasi pra dan pasca, rehabilitasi dan rekonstruksi daerah terdampak sebesar Rp 254 Milyar,” jelas Fidyah.  Hal ini menggunakan acuan dari dampak kerusakan dan kerugian dari tahun sebelumnya.

Selain itu, menurutnya koordinasi lintas sektoral juga penting dalam memegang peranan dalam menjaga dan rehabilitasi daerah hulu, termasuk menggandeng perangkat desa sebagai ujung tombak untuk menanggapi dan mengantisipasi resiko bencana.

“Kesadaran pentingnya menjaga lingkungan dan antisipasinya akan mengurangi resiko bencana,” tutup Fidyah.

 

Foto tampak muka: Sungai Tueley yang melewati Kelurahan Panasakan, Kota Tolitoli, Sulawesi Tengah dengan latar belakang Cagar Alam Gunung Dako. Foto: Rosmini Rivai/Mongabay Indonesia

Exit mobile version