Mongabay.co.id

Berikut Usulan Penetapan Hutan Adat di Mentawai

Aliran sungai dari air terjun Singunung yang berlokasi di hutan dusun Sirilanggai, Siberut Utara, Mentawai. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengusulkan hutan adat bagi beberapa komunitas di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Usulan hutan adat Mentawai sekitar 19.000 hektar itu terdiri dari delapan peta wilayah adat di delapan komunitas (suku), empat peta usulan AMAN dan empat YCMM.

Rifai Lubis, Direktur YCMM mengatakan, data usulan penetapan hutan adat Mentawai sudah masuk dalam berita acara rakornas percepatan hutan adat. Peta-peta ini, katanya,  berada di Komunitas Uma Goiso’Oinan, Uma Rokot, Uma Saureinu, Uma Usut Ngaik Matobe, Uma Suku Samongilailai, Uma Suku Saerejen, Uma Suku Satanduk dan Uma Suku Saponduruk.

“Empat peta berada di Sipora, yang memetakan AMAN Mentawai, empat lain dipetakan YCMM di Siberut,” kata Rifai.

Dari usulan hutan adat di Pulau Siberut itu, katanya, seluas 789 hektar, dalam Taman Nasional Siberut (TNS), 1.163 hektar hutan produksi konversi (HPK) dan 17.267,92 hektar hutan produksi.

Kemudian, 3.557 hektar di hutan produksi kini konsesi HPH PT. Salaki Summa Sejahtera dan 98 hektar dimohonkan PT. Biomas Andalan Energi untuk HTI. Lalu 13.538,92 hektar bekas konsesi PT. Hutani Bhara Union Lestari.

 

Untuk usulan hutan adat di hutan produksi maupun HPK, kata Rifai, dia berharap KLHK dapat memfasilitasi penyelesaian konfliknya. “Meski ada konsesi izin harusnya tidak menjadi penghalang penetapan hutan adat. Karena izin perusahaan adalah izin pemanfaatan yang bisa didapatkan perusahaan dari masyarakat adat pemiliknya,” katanya.

Untuk usulan hutan adat pada lokasi HTI PT. BAE, hingga kini belum ada tanggapan spesifik dari KLHK. Dalam rakornas pada Januari lalu di Jakarta itu belum membahas hal-hal kasuistik, baru sebatas mengkonsolidasikan data-data potensi percepatan penetapan hutan adat.

Dia berharap,  proses penetapan hutan adat cepat, apalagi Mentawai sudah memiliki Perda No. 11 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan masyarakat Hukum Adat ((PPUMHA).

“Perda adalah produk bersama antara eksekutif dan legislatif. Kedua belah pihak, yaitu,  harus serius menjalankan perda ini. Keseriusan mereka bisa diuji oleh masyarakat dengan memasukkan usulan penetapan wilayah adat,” katanya.

Sementara AMAN Mentawai telah memiliki 11 peta wilayah adat sudah diserahkan kepada PB AMAN Jakarta.

“Pengusulan lewat BRWA itu sebenarnya kerjasama PB AMAN dengan BRWA. Semua peta dari daerah maupun wilayah AMAN dikumpulkan PB AMAN, kemudian registrasi di BRWA.”

Pada 2014, ada tiga pemetaan partisipatif komunitas di wilayah adat Komunitas Saureinu’, Goiso’Oinan dan Rokot. “Semua data kami berikan kepada PB AMAN. AMAN meregistrasi jadi masuk web BRWA,” katanya.

Sebenarnya, 11 peta sudah dibuat dan diberikan ke PB AMAN. Rapot Pardomuan, Ketua AMAN Kepulauan Mentawai mengatakan, pengajuan penetapan hutan adat empat komunitas yang sudah dipetakan akan diserahkan ke KLHK setelah ada SK penetapan masyarakat hukum adat dan wilayah adat dari Bupati Mentawai.

“Data elektronik sudah masuk ke Subdit Penanganan Konflik dan Tenurial KLHK, namun komunitas masih terganjal SK penetapan oleh bupati,” katanya.

 

Dusun Ukra yang tertata rapi di Desa Malancan, Siberut Utara. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Tahun ini,  AMAN Mentawai akan memetakan wilayah adat Suku Sarogdok di Desa Madobak, Siberut Selatan. “Pemetaan ini atas permintaan Suku Sarogdok, bukan terprogram.”

Untuk mempercepat penetapan hutan adat di Mentawai, katanya, perlu ada peraturan bupati soal kriteria dan persyaratan penetapan uma.

Selanjutnya, bupati perlu sesegera mungkin membentuk panitia penetapan pengakuan uma sesuai Pasal 1 dan Pasal 5 “Panitia bisa meneliti dan memverifikasi permohonan masyarakat,” katanya.

Panitia, katanya, bisa segera membuat format yang berhubungan dengan pengajuan dan penetapan uma. Jadi, katanya, akan memudahkan masyarakat adat dalam mengajukan permohonan penetapan uma– sebagai kesatuan masyarakat adat di Mentawai.

“Kita optimis dengan penetapan hutan adat Mentawai. Yang diperlukan segera SK bupati tentang penetapan uma sebagai kesatuan masyarakat adat beserta hak-haknya.”

Dia bilang,  permohonan sudah  masuk kepada bupati tahun lalu. “Kalau perbup dan panitia segera dibentuk bupati, maka pengajuan ke Menteri LHK bisa segera. Kita bersama komunitas akan mengantar berkas ke KLHK,” katanya.

Kurnia Warman, Dosen Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Andalas mengatakan, secara empiris, seluruh hutan dalam wilayah nagari di Sumbar, sudah hutan adat (ulayat), baik oleh hukum adat maupun Perda Nagari.

Perda Nagari, katanya, menegaskan hutan di wilayah nagari merupakan ulayat dan jadi kekayaan nagari. “Sebetulnya, secara lokal di Sumbar status hutan-hutan di nagari itu sudah hutan adat menurut versi perda nagari,” katanya.

Kondisi ini,  berbeda di Mentawai yang masih gunakan sistem desa bukan nagari. “Mentawai itu khas. Saya pikir urgen karena belum terpayungi Perda Nagari. Sistem pemerintahan desa di Mentawai, tak bisa serta merta jadikan hutan adat aset desa, beda dengan di Sumbar daratan.”

Melalui penetapan hutan adat, katanya, akan ada jaminan bagi masyarakat adat mengelola hutan, meskipun selama ini mereka sudah melakukannya.

“Kalau dianggap remedi untuk mereka, melaui hutan adat itu jadi punya akses, jawabannya, iya. Bagi mereka,  ditetapkan atau tidak jadi hutan adat mereka tinggal dan hidup di situ,” katanya.

Yudas Sabaggalet, Bupati Mentawai, mengatakan,  saat ini Pemerintah Mentawai sedang pembentukan panitia guna membahas dasar hukum dan peraturan bupati (perbup) tentang kriteria dan persyaratan penetapan uma. Ia mengacu Perda No. 11/2017 Pasal 5 dan Pasal 12.

“Anggaran baru selesai kemarin, langkah pertama harus kita siapkan dulu dasar hukumnya, kita bentuk panitia lalu bentuk perbup,” katanya saat dihubungi Mongabay.

Tahun ini, katanya,  akan dilakukan kajian tentang perda pengakuan masyarakat adat itu. Perda yang ada, katanya,  hanya membahas hal-hal umum belum spesifik seperti menyangkut soal ekonomi, dan hak kepemilikan tanah.

“Misal, bagaimana status kepemilikan tanah bagi orang Mentawai campuran. Di perda itu tidak diatur, maka diatur lewat perbup. Dikaji dulu haknya. Perlu dikeluarkan perda lagi atau perbup untuk menguatkan perda yang ada.”

Foto utama: Aliran sungai dari air terjun Singunung yang berlokasi di hutan dusun Sirilanggai, Siberut Utara, Mentawai. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Pengolahan sagu secara sederhana di Desa Malancan, Siberut Utara. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version