Mongabay.co.id

Inpres Percepatan Pendaftaran Tanah Terbit, Seperti Apa?

Warga memperlihatkan tanahnya yang berkonflik dengan PTPN XIV. Konflik antara warga Takalar, Sulsel dengan pihak PTPN XIV telah berlangsung sejak 2007 silam ketika HGU pabrik gula ini berakhir. Sejumlah lahan warga yang telah ditanami dibongkar paksa menggunakan alat berat. Dengan ada inpres percepatan pendaftaran tanah, bagaimana dampak terhadap para petani ini? Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

 

Pada pertengahan Februari 2018, Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Inpres Nomor 2/2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Inpres ini keluar guna mempercepat seluruh bidang tanah di Indonesia, terdaftar seperti mandat Pasal 19UU  Pokok Agraria 1960. Percepatan pendaftaran tanah ini dicanangkan sampai 2025.

Dari laman Setkab.go.id,  Kamis (1/3/2018), menyebutkan, inpres ini ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Juga Menteri Dalam Negeri, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Keuangan, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kapolri, Jaksa Agung. Ia juga ditujukan kepada Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Kepala Badan Informasi Geospasial, para gubernur dan bupati/walikota.

“Kepada para pejabat itu, presiden menginstruksikan agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.”

Tujuan pendaftaran tanah secara sistematis ini sebagai gerakan nasional agar terwujud pendaftaran tanah lengkap guna mendukung proyek strategis nasional.

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyambut inpres ini dengan waspada.

“Pandaftaran tanah ini memang kewajiban pemerintah yang lalai dikerjakan sejak terbit UU Pokok Agraria 1960. Sampai hari ini pemerintah hanya punya sistem administrasi pertanahan untuk tanah-tanah pribadi atau perseorangan diatur dalam PP Nomor 24/1997. Pemerintah belum mempunyai sistem administrasi untuk hak ulayat atau wilayah adat,” katanya.

Dia khawatir, kalau inpres ini di wilayah-wilayah adat, akan mengancam kepemilikan kolektif-komunal adat dan berubah jadi kepemilikan individual. Ancaman konflik internal di masyarakat adat, katanya, juga sangat besar.

“Individualisasi kepemilikan kolektif-komunal ini, di samping mengundang konflik, juga liberalisasi pasar tanah. Fungsi sosial ekologis tanah akan terancam oleh marak jual beli tanah pribadi-pribadi yang merasa memiliki tanah itu karena sudah punya sertifikat atau terdaftar atas nama pribadinya,” katanya.

 

Konflik lahan masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya?
Foto: Dokumen AMAN Kaltim

 

Selain itu, katanya, tanah-tanah pertanian akan berpindah tangan ke orang-orang kaya bukan petani. Tanah-tanah yang masih berhutan dengan status kepemilikan individual bisa cepat jadi lahan-lahan kritis karena tak ada lagi kontrol sosial (hukum adat) yang berlaku efektif.

“Kita tahu, saat ini masih banyak ulayat berhutan bagus justru di luar kawasan hutan. Inpres ini bisa jadi ancaman serius terhadap hutan-hutan alam di area penggunaan lain,” katanya.

Di tengah administrasi pengakuan dan perlindungan hukum atas hak ulayat atau wilayah adat masih lemah, katanya, dengan inpres ini, pemerintah sedang liberalisasi pasar tanah di seluruh Indonesia. “Ini mengancam harmoni sosial di tengah masyarakat adat.”

Inpres ini, kata Abdon, bisa memperlebar ketimpangan struktur agraria karena orang-orang kaya lebih mudah membeli tanah. Kondisi ini jadi ancaman serius terhadap fungsi sosial ekologis hutan karena kontrol sosial dari kepemilikan kolektif-komunal hilang bersama sertifikasi tanah individual.

“Ini kewaspadaan saya dengan inpres ini. Dari berita Seskab, saya tak menemukan ada agenda presiden membedakan antara pendaftaran tanah biasa dengan tanah di wilayah adat atau yang ada hak ulayat.”

Dwi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan, pendaftaran tanah secara nasional dan sistematis sangat perlu mengingat banyak masalah pertanahan, terutama konflik agraria dan tumpang tindih klaim. Kondisi ini terjadi karena ketiadaan informasi dan data akurat dan faktual tentang penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah di Indonesia.

“Keputusan inpres tentang PTSL patut diapresiasi.”

Meskipun begitu, katanya, PTSL akan jadi bagian dari masalah apabila pendaftaran hanya bersifat administratif. Seharusnya, ia bisa jadi mekanisme pemeriksaan pertanahan nasional untuk melihat ketimpangan struktur agraria di berbagai wilayah Indonesia.

Pemerintah, katanya,  harus memeriksa tumpang tindih penguasaan dan penggunaan tanah faktual di lapangan. Dengan begitu, PTSL akan berkontribusi besar terhadap masalah administrasi pertanahan yang masih lemah. Sekaligus, katanya, jadi basis perubahan yang hendak dijalankan pemerintah dalam kerangka reforma agraria.

“Jadi PTSL tidak hanya diarahkan mencatat tanah-tanah yang sudah diberikan sertifikat. Melainkan koreksi apabila terdapat konflik pertanahan. Apabila di satu wilayah terdapat tanah garapan petani gurem yang kecil-kecil, maupun ada monopoli tanah skala besar oleh pemilik konsesi, termasuk yang melanggar, seperti HGU habis, tanah terlantar dan lain-lain,” katanya.

Inpres ini, katanya, bisa saja jadi solusi mempercepat penyelesaian konflik agraria. Asal, PTSL memberikan situasi riil lapangan, dengan memeriksa, registrasi dan menganalisa.

“Jemput bola. Melihat situasi agraria di wilayah. Mendaftar wilayah-wilayah konflik agraria yang bersifat struktural, yang selama ini diabaikan dalam sistem pendaftaran tanah.”

PTSL, katanya,  harus memeriksa tanah yang bersertifikat. Namun adil memeriksa juga yang belum bersertifikat, tetapi faktual lapangan sudah jadi garapan masyarakat, kampung, desa, wilayah adat, dan area-area konflik.

“Dari situlah basis pengakuan hak, pengakuan pemerintah terhadap penguasaan dan penggarapan rakyat. Jadi PTSL betul-betul menjadi instrumen baru Kementerian ATR/BPN untuk mengidentifikasi tanah obyek reforma agraria,” katanya.

Dahniar Andriani, Direktur Eksekutif HuMa mempertanyakan berbagai hal terkait inpres ini, seperti apakah inpres jadi peluang hukum tepat dalam menajwab sejumlah konflik oleh peraturan perundang-undangan.

Kemudian, katanya, apakah standardisasi inpres ini terkait tanah layak kelompok siap sertifikat sebagaimana pengikutsertaan dalam mandate Menteri ATR/BPN.

Meskipun inpres ini tak menjawab hak komunal warga di dalam kawasan hutan. Walaupun itu muncul dalam penugasan presiden kepada Menteri LHK dalam inpres ini dengan rujukan Perpres 88 tahun 2017 tentang penyelesaian sengketa tanah di kawasan hutan.

Berdasarkan kajian Perpres 88/2017, dia melihat spirit domein verklaring yang telah dihapus sejalan dengan kehadiran UU Pokok Agraria. Secara samar terlihat, pensertifikatan ini lebih kepada penyediaan tanah untuk infrastruktur. Sebagaimana penyiapan lahan untuk transmigrasi dalam penugasan Menteri Desa pada inpres itu.

“Bagian mana dari inpres yang memberikan perintah mempercepat penyelesaian konflik agraria? Penugasan kepada kepolisian? Yang menyebutkan untuk menyelesaikan soal administrasi sebelum memproses pengaduan? Bagaimana dengan konflik perkebunan?” katanya, seraya bilang,  mungkin aturan ini dapat jadi solusi khusus kepemilikan individual.”

 

Inpres Percepatan Pendaftaran Tanah

Foto utama: Warga memperlihatkan tanahnya yang berkonflik dengan PTPN XIV. Konflik antara warga Takalar, Sulsel dengan pihak PTPN XIV telah berlangsung sejak 2007 silam ketika HGU pabrik gula ini berakhir. Dengan ada inpres percepatan pendaftaran tanah, bagaimana dampak terhadap para petani ini?
Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version