Mongabay.co.id

Warga dan Greenpeace Gugat Gubernur Bali terkait Izin Lingkungan. Kenapa?

Perwakilan warga Desa Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali menggugat Gubernur Bali I Made Mangku Pastika terkait izin lingkungan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang. Ketiga warga penggugat yaitu Ketut Mangku Wiana, Baidi Suparlan, dan I Putu Gede Astawa. Adapun Greenpeace Indonesia menjadi penggugat keempat. Para penggugat diwakili tim hukum YLBHI-LBH Bali.

Sidang perdana gugatan dilaksanakan pada Selasa (6/3/2018) di Gedung Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar, Bali dengan pembacaan gugatan serta putusan sela terkait tergugat intervensi dari pihak PT PLTU Celukan Bawang. Sidang dipimpin Hakim Ketua A.K. Setiyono dengan anggota Himawan Krisbiyantoro dan Anita Linda Sugiarto. Pihak penggugat diwakili Dewa Putu Adnyana dan Ni Putu Candra Dewi sedangkan dari pihak tergugat diwakili pengacara Gubernur Bali I Ketut Ngastawa.

YLBHI-LBH Bali memasukkan gugatannya ke PTUN Denpasar pada 24 Januari 2018 lalu. Setelah sekitar 1,5 bulan pemeriksaan berkas-berkas, proses sidang pun dimulai Selasa kemarin dengan pembacaan materi gugatan.

baca : Warga Datangi BLH Buleleng Soal PLTU Celukan Bawang. Ada Apa?

 

Sidang perdana gugatan warga dan Greenpeace terhadap SK Gubernur Bali di PTUN Denpasar pada 6 Maret 2018. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Dalam gugatannya, warga menyatakan bahwa Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali Nomor 660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang izin lingkungan PLTU Celukan Bawang bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Pertama, SK itu bertentangan dengan Undang-Undang No.1/2014 tentang Perubahan UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Menurut penggugat, SK Izin Lingkungan tersebut tidak didasarkan pada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

Kedua, SK Gubernur Bali juga bertentangan dengan UU No.6/1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. “Proses AMDAL tidak memenuhi kaidah. Ada pengabaian terhadap Undang-Undang Perubahan Iklim yang sudah kita ratifikasi,” kata Direktur Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak seusai sidang.

PLTU Celukan Bawang akan menggunakan bahan bakar batubara. “Artinya akan ada emisi karbon lebih besar lagi sementara kita adalah pihak yang ikut dalam Kesepakatan Paris untuk mengurangi perubahan iklim,” Leonard menambahkan.

Penggugat menambahkan SK juga bertentangan dengan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), Peraturan Pemerintah (PP) No.27/2012 tentang Izin Lingkungan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No.17/2012 tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan (AMDAL).

baca : Mengganggu Kesehatan, Limbah PLTU Celukan Bawang Bali Menuai Protes

 

Tim LBH Bali dan Greenpeace memerlihatkan surat gugatannya kepada media pada 24 Januari 2018 lalu. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan PLTU Celukan Bawang, menurut penggugat, juga tidak masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Nasional maupun Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah. RUPTL Nasional 2017-2026 secara jelas menyatakan bahwa Provinsi Bali sebagai destinasi wisata dunia juga memiliki sumber daya Energi Baru Terbarukan (EBT) yang melimpah. Kondisi ini didukung oleh masyarakat Bali yang terbuka dan mudah untuk menerima EBT serta memulai implementasi smart grid secara bertahap.

Berdasarkan data dari RUPTL Nasional 2017-2026, beban puncak sistem kelistrikan Provinsi Bali tertinggi adalah pada tahun 2016 sebesar 860 MW yaitu pada bulan Oktober 2016; sementara daya dipasok dari pasokan kabel bawah laut Jawa-Bali 400 MW dan pembangkit 150kV sebesar 998 MW. “Dari data tersebut sudah jelas bahwa jaringan listrik Jawa-Bali sudah mengalami kelebihan kapasitas dan tidak membutuhkan adanya tambahan penyediaan tenaga listrik dari pembangkit baru,” ujar Leonardo.

Penggugat juga mengatakan bahwa SK Gubernur Bali tentang izin lingkungan PT PLTU Celukan Bawang tidak valid dan mewakili warga sehingga cacat hukum dan mengandung kekeliruan. Cacatnya AMDAL tersebut antara lain karena Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (ANDAL) tidak menyajikan penjelasan rona lingkungan hidup awal secara rinci dan mendalam sesuai panduan dalam Lampiran VI Permen LH No.8/2013.

Menurut penggugat, izin lingkungan yang dikeluarkan Gubernur Bali juga bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) karena tidak melibatkan warga dalam proses penyusunan AMDAL. Menurut Mangku, warga empat desa di sekitar lokasi PLTU Celukan Bawang tidak pernah dilibatkan sama sekali dalam proses penyusunan AMDAL.

baca : Warga Keluhkan Polusi PLTU Celukan Bawang

 

Tim Kuasa Hukum Gubernur Bali memberikan pernyataan kepada media seusai sidang pada 6 Maret 2018. Foto : Mongabay Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Penggugat juga keberatan terhadap SK Izin Lingkungan Gubernur Bali karena AMDAL tidak menyebutkan dengan detail dampak-dampak yang akan dialami warga di sekitar PLTU, seperti penurunan kualitas udara, penurunan kualitas air laut, dampak kesehatan masyarakat, dampak flora dan fauna, dampak sosial-ekonomi-budaya, dan evaluasi holistik keterkaitan antar dampak.

“Saya sebagai penggugat pertama mengalami langsung dampak pembangunan PLTU Celukan Bawang. Ketika bautbara dimasukkan dome, muncul bau sangat menyengat. Kerongkongan saya sampai kering,” kata Ketut Mangku Wiana.

Untuk itu, para penggugat menggugat agar Gubernur Bali menunda pelaksanaan SK Izin Pembangunan PLTU Celukan Bawang sampai ada keputusan dari PTUN Denpasar. Warga dan Greenpeace juga menggugat agar Gubernur Bali mencabut SK Izin untuk PLTU Celukan Bawang.

Menanggapi gugatan tersebut Tim Hukum Gubernur Bali Ketut Ngastawa mengatakan bahwa gugatan itu sudah melewati batas waktu karena sudah melewati delapan bulan sejak SK ditetapkan. SK Gubernur Bali Nomor 660.3/3985/IV-A/DISPMPT sendiri ditetapkan pada 28 April 2017.

“Jadi tenggat waktu sudah terlewati karena menurut UU, seharusnya dalam kurun waktu 90 hari setelah ditetapkan baru bisa digugat ke PTUN,” kata Ngastawa.

 

Rombongan Komisi II DPRD Buleleng melakukan sidak ke lokasi PLTU saat melakukan sidak ke lokasi. Limbah pembuangan PLTU Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali pada Senin (10/08/2015). PLTU itu menuai protes warga setempat, karena limbah cair dan debu menganggu kesehatan. Foto : Alit Kertaraharja/Mongabay Indonesia

 

Mengenai gugatan tidak dilibatkannya warga, menurut Ngastawa juga itu hanya pendapat sepihak. Ketika permohonan sudah diajukan pada Juni 2015 kepada Bupati Buleleng dan Gubernur Bali, sejak itu pemerintah sudah melibatkan warga dan LSM lingkungan dalam proses sosialisasi. “Seluruh proses dan mekanisme sudah kami lalui, termasuk melibatkan LSM lingkungan,” ujarnya.

“(Tuduhan) itu non sense. Kami sudah ada catatan. Kami juga mempertanyakan, warga setempat yang mana yang tidak dilibatkan? Ada catatan dan notulen. Semua hadir,” Ngastawa menambahkan. Menurutnya, untuk mengeluarkan izin lingkungan semacam ini, Gubernur Bali tidak akan main-main. “Karena kami tahu bahwa kalau salah sedikit saja akan dipersoalkan,” lanjutnya.

Mengenai tuduhan bahwa bahan batubara PLTU Celukan Bawang akan berdampak terhadap lingkungan dan sosial, Ngastawa menyatakan bahwa hal itu sudah melalui kajian oleh tim ahli. “Itu bukan wewenang kami tetapi sudah ada kajian yang melibatkan ahli,” tegasnya.

 

Exit mobile version