Tenun ikat sumba adalah salah satu warisan indonesia kepada dunia yang tidak ternilai harganya. Usaha yang membutuhkan proses panjang dan tingkat kesulitan yang cukup tinggi, membuat tenun ikat sumba menjadi sebuah mahakarya anak bangsa yang luar biasa.
Banyak elemen yang berperan serta dalam pembuatan sebuah kain tenun ikat sumba, yang salah satunya adalah para wanita sumba, atau biasa juga disebut sebagai rambu dalam bahasa setempat. Tidak hanya hebat, tetapi mereka dengan sabar membuat, menjaga dan melestarikan budaya tenun ikat ini tanpa kenal lelah dan putus asa serta memperkenalkannya kepada dunia bagaimana indahnya warisan leluhur tana humba ini.

Dalam rangka Hari Perempuan Internasional, inilah potret wanita-wanita tangguh pejuang tenun ikat dari Sumba :

Perempuan yang akrab dipanggil Mama Dan, adalah salah satu tokoh pelestari tenun ikat dengan pewarna alami di Desa Lambanapu, Sumba Timur, (NTT). Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia
Agustina Kahi Atanau. Perempuan yang biasa dipanggil Mama Dan, adalah salah satu tokoh pelestari tenun ikat dengan pewarna alami di Desa Lambanapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Perjuangannya untuk menjaga warisan leluhurnya ini, patut diacungi jempol, bahkan di usianya yang sudah tidak muda lagi, yaitu 64 tahun. Walaupun sekarang sudah sembuh dari sakit kataraknya, karena dioperasi di awal tahun 2017 lalu,
Mama Dan pernah melewati saat-saat memotivasi, menggerakkan, dan melestarikan orang-orang desanya untuk tetap melakukan pembuatan tenun ikat dengan pewarna alami di tengah sakit kataraknya.
baca : Reza Rahardian ‘Malak’ Demi Air di Desa Napu

Tenun ikat sumba ini memang mempunyai harga yang relatif mahal, tetapi ini bukannya tanpa alasan. Untuk menjadi sebuah tenun ikat, seorang rambu harus melalui sedikitnya 42 langkah, termasuk meramu warna dengan bahan dasar hewan dan tumbuhan, seperti kerang, kunyit, umbi-umbian, dan lain sebagainya untuk mmbuat sebuah karya tenun ikat sumba.
Hal itu membuat kain tenun Sumba per lembarnya memerlukan waktu pembuatan sekitar 6 bulan. Harga termurahnya di mulai dari Rp2 juta.


Di kampung Mama Dan, Lambanapu, ada perkumpulan warga pembuat tenun ikat yang bernama Paluanda Lama Hamu, yang tetap serius dan konsisten pada pewarna alami tenun ikat. Dan tidak pernah sedikit pun tergoda untuk membuat tenun ikat dengan pewarna tiruan dan sintetis, yang tentu saja harganya lebih murah, walaupun dengan kualitas yang jauh di bawah tenun ikat dengan pewarna alami.

Selain wanita-wanita tua, Mama Dan juga mengajari gadis-gadis muda untuk regenerasi dalam melestarikan tenun ikat sumba dengan pewarna alami. Mama Dan sendiri sadar, bahwa umur pasti akan membuatnya semakin lemah dan tidak berdaya. Karena itu, perlu adanya regenerasi dengan mentransfer ilmu tentang tenun ikat pewarna alami sumba kepada generasi berikutnya. Dan Mama Dan, memulainya dari remaja sampai wanita dewasa.

Kain sumba sekarang sudah banyak dijadikan model fashion etnik yang mendunia. Karena desainnya yang tak ada duanya , dan tentu saja kualitasnya yang juga istimewa, karena dibuat dengan pewarna alami, tenun ikat sumba sudah mulai digunakan sebagai pakaian atau trend model akhir-akhir ini.
