Mongabay.co.id

Kesadaran Ekologi dan Konsumsi dari Revolusi Dapur

Mungkinkah mengubah perilaku di dapur bisa mengurangi penggunaan sampah plastik sekaligus melatih kemandirian pangan? Ternyata bisa. Itu dibuktikan oleh Rumah Intaran yang merevitalisasi perilaku dan laku tradisional ini di tengah belenggu ketergesaan saat ini.

Ingin serba instan memang mendorong kebiasaan membuang sampah yang sulit dihindari. Dari dapur bisa dipetakan apa saja sampah plastik yang kita buang, misalnya kemasan makanan, bumbu penyedap, pembersih piring, dan lainnya. Ternyata, ada teknologi ramah lingkungan yang bisa mengurangi peralatan dapur berbahan baku plastik. Misalnya sepit (penjepit), semprong, blakas (mirip parang), ganjreng (untuk menggayung air dari batok kelapa), paluk (wadah air minum), dan lainnya.

Rumah Intaran, semacam padepokan tempat belajar yang dibuat Gede Kresna dan Ayu Gayatri di Desa Bengkala, Kabupaten Buleleng, Bali, merangkum pembelajaran ini lewat buku berjudul Revolusi dari Dapur. Pasangan arsitek dan koki ini pernah bekerja di Jakarta lalu pindah ke Denpasar selama 8 tahun, sebelum memutuskan balik kampung di Bali Utara.

baca : EcoBali, Mendulang Barang Terbuang menjadi Uang

 

Gede Kresna, pendiri Rumah Intaram di Desa Bengkala, Buleleng, Bali, sedang menjelaskan tentang revolusi dari dapur yang menggugat kebiasaan instan kita di dapur. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di sini mereka memulai mengurai kesemrawutan hidup dan memutuskan memulainya dari dapur. Mereka mengingat kebiasaan masa lalu dan mempraktikannya. Dimulai dengan membangun sebuah dapur indah di depan pintu masuk menuju pekarangan. Ini bangunan pertama yang akan dilalui jika berkunjung di kompleks rumahnya yang luas dengan sejumlah bangunan kayu menyatu pepohonan sekitar. Tiap tahun ada sejumlah anak muda dari berbagai daerah di Indonesia belajar arsitek dan kearifan tradisi di sini.

Kurungan ayam dari anyaman bambu sebagai tembok menjadi ciri khas bangunan dapur yang dibagi antara tempat masak dan tempat makan serta bersantai menjamu tamu ini. Di dapur ada tungku batu.

Kresna meyakini abu adalah elemen penting dari keseimbangan alam dari dapur. Pertama, abu sisa pembakaran penting untuk kesuburan tanah yang menumbuhkan aneka pangan dan bumbu dapur. Kedua, abu disukai gayas yang kerap dimusuhi sebagai hama. “Dekatkan saja dengan predatornya, ayam. Inilah siklus hidup,” Gede Kresna mulai menggugah. Ia mengisahkan isi buku buku yang isinya didominasi ilustrasi oleh Febri Indra ini di Warung Celagi yang dikonsepkan mirip Rumah Intaran.

baca : Uniknya Restoran dari Kayu Bekas Sampah Laut. Seperti Apa Bentuknya?

 

Berbagai aneka hasil pertanian dari hidup kesadaran ekologis untuk hidup yang selaras dan ramah lingkungan yang bisa mengurangi sampah plastik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, ada salah kaprah terhadap dapur. Dianggap area kotor dan ditaruh di belakang rumah, malah menempati sisa lahan. Jadilah rasa enggan ke dapur atau malas masak.

Sementara kearifan lokal di Bali sangat banyak mengutamakan fungsi dapur. Misalnya anggota keluarga yang baru bepergian jauh, saat pulang dianjurkan masuk dapur dulu. Untuk rehat dan memulihkan diri. Bayi usia 42 hari disimbolkan baru boleh keluar dari dapur karena sudah cukup kuat. Keluarga paling tua seperti nenek atau ibu di sejumlah desa yang masih menghormati tradisi memberikan tempat tinggal paling terhormat di dapur. Berkata kasar dan pikiran buruk juga dilarang di dapur.

Dapur sebagai area pemulihan juga coba dibuktikan. Gerakan memasak menggunakan tungku batu diyakini salah satu olahraga atau yoga. “Pengamatan kami di 15 provinsi tentang dapur nusantara, semua diletakkan di bawah,” urai Kresna. Ada alasan penting di baliknya. Misalnya ibu hamil akan terlatih dan mudah melahirkan jika sering jongkok. Kemudian ngidu, istilah lokal untuk menghangatkan tubuh.

Di Desa Sudaji, salah satu desa di Buleleng disebut bisa membuktikan bagaimana dapur memberi kesembuhan saat orangtua kurang sehat. Misalnya saat tubuh kedinginan atau rematik, warga menghangatkan batu bata di tungku kemudian menaruh kaki dengan tambahan beberapa lembar daun mengkudu. Keringat keluar dari punggung dan tubuh terasa lebih enak.

Manfaat residu dapur penting lainnya adalah abu ditambah lerek sebagai bahan cuci perabotan yang dinilai tak akan mencemari sumber air dan tanah dibanding sabun.

baca : Ketika Sungai Penuh Sampah Kini Jadi Taman Bermain

 

Aneka anyaman dari daun lontar dan bambu hasil karya dan dipajang di Rumah Intaran sebagai wadah pengurangi sampah plastik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

“Budaya kita saat ini dari menghasilkan jadi menghabiskan. Agribisnis jadi industrialis,” ingat Kresna. Ia mengaku bisa melepaskan 21 macam produk yang dominan terbungkus plastik setelah mempraktikkan apa yang dia sebut revolusi dari dapur ini. Terdiri dari pemanis seperti kecap, kemudian minyak kelapa pengganti sawit, penyedap rasa yang bisa diganti dengan bawang putih lokal dan garam laut. Kecap bisa diganti dengan gula merah dan ketumbar.

Penggunaan air kemasan dihindari dengan membuat filter air alami dari ijuk dan arang sebagai karbon aktif. Untuk air minum, air filteran ini dimasak dulu baru dimasukkan ke gerabah yang membuatnya lebih dingin dan segar.

Upaya mengurangi sampah plastik ini juga berdampak pada upaya kemandirian pangan. Tidak sepenuhnya tapi memberi kontribusi. Dengan cara memanfaatkan lahan dengan kebutuhan dapur seperti bumbu, cabe, dan lainnya. Kemudian bambu, pisang, palem, sampai produksi madu. Membuat rumah lebah juga dinilai sangat penting karena keseimbangan ekosistem terjadi jika lebah tak punah. Lebah selain produksi madu juga memastikan penyerbukan bunga dan buah.

“Saat lebah datang, petani mangga berhenti nyemprot (bahan kimia) karena hasil panen madu bisa 2-3 kali lebih besar dari mangga,” ujarnya.

Ia mengaku mulai membuat minyak kelapa sendiri, limbahnya digunakan pakan ternak. Demikian juga mengolah aren jadi gula yang lebih sehat sekaligus melestarikan pepohonan besar untuk menjaga tanah dari longsor saat musim hujan.

baca : Riset Membuktikan Ini Jenis Sampah Laut Terbanyak di Pesisir Bali

Rumah Intaran juga melakukan observasi ke daerah-daerah lain yang memiliki kearifan tradisi yang menjaga ekologinya. Misalnya mengapresiasi pemakaian rumbia dari pohon sagu sebagai atap dibanding seng. Namun Kresna mulai kesal karena makin banyak alih fungsi sagu jadi hutan sawit. Selain kehilangan sumber pangan, juga arsitektur tradisional yang lebih kuat.

Sedangkan Ayu Gayatri memperlihatkan sejumlah material alami yang dianyam jadi tas belanja dan aneka pangan dari Rumah Intaran. Misalnya arak, minuman tradisional mengandung alkohol dari hasil penyulingan. Juga ada madu dan minyak kelapa. Ibu muda ini beberapa kali diundang ke Ubud Food festival mendemonstrasikan pengolahan pangan dari bahan alami menjadi aneka menu fine dining.

 

Exit mobile version