Mongabay.co.id

Kala Masyarakat Tuntut Hak Ulayat dari Perusahaan Sawit Negara di Keerom (Bagian 1)

Masyarakat adat melakukan aksi pemalangan pada 2017. Foto: Harun Rumbarar/ Mongabay Indonesia

 

Mikael Fatagur, duduk nonton televisi saat kami tiba di rumahnya, Rabu, awal Februari lalu. Di Kampung Workwana, Distrik Arso, Keerom, Papua, itu, udara cukup menyengat kulit meski sudah sore hari.

Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Papuan New Guinea (PNG). Kampung tampak sepi, hanya terlihat beberapa warga duduk di para-para depan rumah. Mikael menyambut kami.

Kami ingin tahu cerita pemilik ulayat di sekitar PT Perkebunan Negara II Arso. Mikael, salah satu pemilik ulayat dengan lahan masuk konsesi PTPN II. Dia pun memanggil anaknya, Zakarias Fatagur. Di teras rumah, mereka bercerita bergantian tentang tanah mereka yang dikuasai PTPN.

“Revitalisasi baru bisa dijalankan kalau persoalan dengan masyarakat adat sudah selesai. Di situ kita lihat kontrak bagaimana, antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan,” kata Zakarias.

Zakarias belum lahir saat PTPN II masuk Arso. PTPN II berkantor pusat di Tanjung Morawa, Medan, Sumatera Utara ini masuk Arso berdasarkan surat Menteri Pertanian No.851/Mentan/X/1980 berisi penugasan untuk PTPN II membangun kebun di Arso, Jayapura.

Dua tahun setelah surat Menteri Pertanian, keluar, 24 tokoh masyarakat adat (pemilik ulayat) menandatangani surat pelepasan tanah adat.  Tandatangan pelepasan itu pada 19 Oktober 1982 seluas 50.000 hektar.

“Tanah saya punya, perwakilan yang tanda tangan. Ondo-ondo saja yang tanda tangan, ada 24 orang. Secara pribadi saya tak setuju. Memang melawan, tapi ini daerah DOM (daerah operasi militer-red), kita masyarakat biasa.”

Sejak 1970-an, Keerom,  salah satu DOM di Papua. Penugasan PTPN II, konon untuk membuka perkebunan sawit guna meningkatkan stabilitas daerah, mempercepat pembangunan dan membuka keterisolasian wilayah.

Gubernur Irian Jaya (kini Papua) mengeluarkan Keputusan No.143/GIJ/1983 pada 26 Mei 1983 tentang penunjukan dan pencadangan tanah lokasi perkebunan inti rakyat.

“Setelah tandatangan pelepasan, hak tanah dan hutan sudah bukan lagi milik masyarakat. Masyarakat termasuk bapa dorang ini jadi petani sawit. Masyarakat adat tak lagi dilihat sebagai pemilik tanah. Itu pandangan pemerintah, Perusahaan juga demikian,” kata Zakarias.

Penanaman mulai 1983 mendahulukan perkebunan plasma. Pada 1986, penduduk transmigran luar Papua pertama kali datang ke Arso, seperti dari Jawa. Ada juga translokal, orang Papua maupun non Papua yang ada di Keerom.

Warga transmigrasi lalu tinggal di lokasi perkebunan inti rakyat (PIR). Masing-masing keluarga mendapat satu rumah, 0,25 hektar lahan untuk pekarangan 0,75 hektar lahan pangan, dan dua hektar kebun sawit. Sertifikat tanah-tanah ini diterbitkan Badan Pertanahan Kabupaten Jayapura.

PTPN II Arso, sudah berusia lebih 35 tahun. Konsesi perusahaan sawit negara ini di Arso, seluas 50.000 hektar, tetapi terpakai hanya 12.010 hektar. Ia berada di antara tiga distrik yaitu Distrik Arso, Arso Timur dan Skamto, dengan pembagian kebun plasma 3.600 hektar, Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) 5.710,50 hektar, Intisus 2.506,38 hektar dan lain-lain 193,26 hektar.

Servo Tuamis, tokoh yang ikut menandatangani surat pelepasan dan kini memimpin masyarakat adat melakukan advokasi menuntut pengembalian hak tanah memberikan pendapat.

“Tanah kami dibagikan sertifikat kepada nusa bangsa yang ada di sini. Hak kami sudah hilang, generasi kami besok sudah hilang di atas tanah ini.”

“Saya tanda tangan di nomor tujuh dalam surat pelepasan itu,” kata Servo saat kami temui di rumahnya di Kampung Arso Kota.

Dalam kesepakatan awal, yang disetujui masyarakat adat 500 hektar. Awalnya, permintaan lahan disetujui lisan dan berlokasi Arso VII untuk pembibitan.

“Perubahan dari 500 hektar ke 50.000 hektar terjadi dalam surat pelepasan. Tulisan dorang (mereka) tutup dengan kertas dan hanya tanda tangan yang dorang buka.”

Dalam setiap kesempatan, Servo selalu menyebut ini kasus penipuan terhadap masyarakat adat.

 

Mama Yubilena Arury menunjukkan sertifikat yang dia peroleh. Namun, baginya tak ada arti kalau masyarakat pemilik ulayat menuntut. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Warga adat melawan

Tahun 1985,  terjadi penggusuran dusun sagu milik masyarakat adat. Perlawanan pun dimulai. Saat itu, ada sosialisasi program hukum masuk desa.

“Kami bertanya, masalah kami bagaimana? Kami pu sagu-sagu ditebang, digusur. Besok kami ini makan di mana” Bupati janji sagu dengan sawit hidup sama-sama, kok digusur?”

Masyarakat pun mendapatkan petunjuk, ada lembaga-lembaga bantuan hukum swasta bisa membantu masyarakat. Isi tuntutan mereka meninjau ulang pelepasan tanah adat. Tahun 1985, LKPH Universitas Cenderawasih pertama kali mendampingi masyarakat melakukan advokasi. Pada 1987,  LBH Jayapura ikut membantu.

“Kami minta tolong meninjau ulang pelepasan ini. Kami punya tanah adat ini sudah korban. Di mana nanti kami hidup?”

Setelah advokasi sekian lama, pada 1997, pemerintah menyediakan dana Rp54.000.000. Dana ini diserahkan kepada empat tokoh yang akhirnya berujung konflik. Masyarakat menghancurkan rumah keempat tokoh itu, dan melaporkan mereka ke Polsek Arso serta meminta pengembalikan uang.

Masalah ini, katanya,  pernah sampai ke Komnas HAM pada 2011. Pada 2012, masyarakat aksi pemalangan pabrik sawit. Aksi berlanjut.

April 2016, masyarakat pasang plang  di kebun inti, lanjut protes ke Kantor PTPN II. Masyarakat juga protes ke DPR dan Pemerintah Keerom.

Aksi-aksi ini mengakibatkan operasional pabrik PTPN II macet. Para petani juga merasa khawatir.

Mama Aurury asal Serui salah satu petani PIR I. “Walalupun ada sertifikat-sertifikat ini, kita numpang saja di sini. Karena apa? Kalau pemilik tempat mereka tuntut, kita mau bikin apa? Mudah-mudahan itu jangan terjadi. Kalau mereka mau tuntut, tuntut ke pemerintah to. Kitong petani, kitong tidak tahu. Hanya kita suru masuk saja,” katanya.

Mudrika, bendahara Koperasi Petani di PIR II juga bicara. Dia selalu mengikuti perkembangan advokasi masyarakat adat. Dia ikut diundang dalam pertemuan warga dan diberi kesempatan menyampaikan pendapat.

“Saya sering ikut rapat di adat. Ketika saya tahu, misal, keluarga si A ini anaknya 10, padahal dia orang adat, tapi punya lahan kelapa sama dengan warga transmigrasi dua hektar.  Apakah dua hektar ini dibagi kepada anak 10? Menyayat hati ini sebetulnya to. Saya pendatang pun merasa tersayat. Akhirnya,  saya juga bertekad mendorong hak ulayat bisa terakui.”

J.Hutapea, Ketua Asosiasi Petani Sawit Kabupaten Keerom juga mengatakan, urusan pemerintah dengan masyarakat adat. Jika belum selesai, pemerintah harus selesaikan. Para petani sudah melunasi utang ke pemerintah.

“Dulu tanah kami, lahan perumahan kami yang dulu jadi pola PIR ini, berapa utang kami ke negara? Kami kan sudah lunasi. Iya kan? Mau pemerintah dulu tidak lunasi hak ulayat, yah selesaikan. Wajar pemilik hak ulayat menuntut kalau memang masih ada haknya. Kami juga mendukung itu,”  katanya.

 

Tanaman sawit di Arso, yang tak produktif lagi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Kondisi PTPN Arso

Selain menghadapi tuntutan ganti rugi dan pengembalian hak atas tanah masyarakat dari pemilik ulayat, PTPN II punya masalah ketidakjelasan konsesi, pemindahtanganan kepemilikan kebun plasma, infrastruktur pendukung seperti jalan dan jembatan mulai rusak, juga produktivitas sawit makin menurun.

Soal ketidakjelasan konsesi, dalam materi audiensi dengan Gubernur Papua pada Maret 2017, Bupati Keerom menyampaikan, areal PTPN II semula  50.000  hektar sudah beralih ke investor lain seperti PT. Tandan Sawita Papua, PT. Victori Cemerlang, PT. Puni Papua Jaya juga jadi perkampungan dan perkotaan. Termasuk juga jadi hutan produksi dan hutan lindung.

Untuk itu, yang perlu dilakukan antara lain kaji ulang perizinan usaha perkebunan dan pemetaan konsesi untuk kepastian lahan dan pembayaran hak ulayat.

Mengenai pemindahtangangan kepemilikan kebun, ada karena sewa atau jual, maupun jadi agunan ke bank. Umumnya,  yang jual atau menyewakan adalah masyarakat Papua yang tak mampu mengelola perkebunan.

Mengenai infrastruktur dan produktivitas sawit turun, penyebabnya umur perkebunan lebih 30 tahun dan biaya perawatan kurang baik untuk kebun inti maupun plasma.  Biaya perawatan itu antara lain pemupukan, pembersihan lahan, perawatan tanaman dan perbaikan jalan dan jembatan produksi.

Kondisi ini mengakibatkan pasokan bahan baku termasuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) menurun dan berimbas pada pendapatan perusahaan dan petani.

Data produksi  PTPN II Arso per September 2016 menyebutkan, pada 2011 total tandan buah segar (TBS) kelolaan perusahaan 89.884.320 ton, turun jadi 77.823.520 ton pada 2015. Pun hasil jadi CPO turun dari 17.981.782 ton pada 2011 jadi 14.847.617 ton dalam 2015.

Kinerja PTPN II disebut terus menurun, merugi dan tak mampu lagi melanjutkan operasional baik kebun maupun pabrik. Ada sekitar 1.800 keluarga petani PIR-SUS  dari afdeling I–V dan 2.208 keluarga petani KKPA di lokasi transmigrasi bergantung pada perkebunan ini.

Pemerintah Papua juga sudah membentuk Tim Penyelesaian Masalah Hak Ulayat dan Revitalisasi Kebun PTPN II Arso.

Pada Kamis 8 Juni 2017, masyarakat adat dari tiga suku yang merasa pemerintah tak merespon tuntutan mereka melakukan pemalangan di pabrik PTPN II di Arso VI, namun dihalangi kepolisian.

Masyarakat bergerak ke kantor bupati dan melakukan blokir jalan di sana lalu menuju Kantor DPRD Keerom. Di DPRD, masyarakat diterima Wakil Bupati Muhammad Markum dan Ketua DPRD Keerom. Dari jawaban mereka, masyarakat diminta bersabar menunggu proses penyelesaian masalah ini.

Selanjutnya,  pertemuan masyarakat adat dengan Bupati Keerom,  Celcius Watae pada Senin 12 Juni 2017.

Servo Tuamis,  Ketua Dewan Adat Keerom juga pemilik ulayat ikut yang menandatangani pelepasan tanah pada 1982  menyatakan, pemerintah menawarkan ganti rugi Rp1 milliar dan meminta masyarakat tak memalang jalan baik di perkebunan maupun pabrik.

Masyarakat menolak dan tetap pada tuntutan. Kerugian masyarakat adat dinilai tidak sebanding dengan nilai uang itu. “Kita kehilangan tanah, hutan, dusun sagu. Lingkungan juga rusak. Kali yang kering dan rawan banjir dan sumur-sumur air minum ini tercemar dengan obat-obat sawit ini,” katanya, kala itu.

Ganti rugi Rp1 milliar sebenarnya juga bertentangan dengan rekomendasi penyelesaian kasus PTPN II, seharusnya terlebih dahulu adalah pemetaan areal PTPN II untuk memastikan batasan wilayah 50.000 hektar yang ada dalam surat pelepasan dan hak ulayat.

Hingga laporan ini turun, belum ada tindak lanjut dari rekomendasi-rekomendasi kala audensi dengan Gubernur Papua itu. Terakhir dilakukan pemerintah hanya penyerahan uang Rp1,7 milliar kepada masyarakat adat agar membuka palang pabik PTPN II.

Hulman Sitinjak Asisten II Setda Kabupaten Keerom  juga ketua tim penyelesaian masalah PTPN II Arso menyebutkan, tugas pemerintah Keerom supaya PTPN II kembali produksi.

“Yang jadi masalah kemarin masyarakat memalang PTPN II supaya tidak berproduksi dengan alasan adat itu belum terselesaikan. Tugas kita bagaimana PTPN II bisa beroperasi. Itu kan kepentingan 50.000 orang. Itu yang kita mau fasilitasi.”

Selanjutnya, pemerintah menunggu data kepemilikan dan luasan lahan hingga kini data belum ada karena belum ada pemetaan wilayah adat. Pemerintah Keerom, katanya, terbuka jika masyarakat memerlukan pendampingan untuk pemetaan wilayah.

Menurut Servo Tuamis, usulan pemetaan wilayah adat sebenarnya sudah sampai di DPRD Keerom namun realisasi belum ada. “Pemetaan wilayah ini belum jalan. Kesepakatan sampai hari ini belum ada. Mereka tawar untuk peremajaan, dasarnya apa?”

 

Protes warga di perkebunan PTPN II Arso. Foto: Harun Rumbarar/ Mongabay Indonesia

 

 

Wacana saham adat

Ada tiga poin penting tuntutan masyarakat adat kepada PTPN II Arso dan pemerintah. Pertama, ganti rugi penggunaan tanah selama 35 tahun. Kedua, meminta kembali hak atas tanah. Ketiga, apabila ada perjanjian baru terkait tanah, maka masyarakat adat harus jadi pihak pertama yang memberi persetujuan.

Model saham lahan adat juga jadi tawaran opsi. “Saham kami tanah, kamu punya uang, kamu punya kelapa dan tanam, 70% kamu punya (pemerintah dan perusahaan), 30% saham adat. Ini kami tunggu,” kata Servo juga sebagai Ketua Dewan Adat (DAP) Keerom.

Wacana saham adat di Arso muncul sejak ada informasi PTPN II bangkrut.  Kala itu,  ada wacana Pemerintah Papua mencari investor baru. Masyarakat adat melihat ini peluang ambil kembali tanah mereka.

Wirya Supriyadi dari Jaringan Kerja Rakyat Papua (Jerat Papua) mengatakan, masyarakat adat sepertinya belajar dari pengalaman masa lalu. Ada pengambilalihan hak atas tanah dari adat ke pemerintah dan perusahaan yang tak melalui mekanisme adil dan bermartabat.

Masyarakat adat, katanya, akhirnya tahu perusahaan sawit beroperasi dan berdampak bagi kehidupan mereka.

“Kerugian masyarakat adat bukan hanya material, katakan luas tanah dihargai berapa milliar, ada kerugian non material.”

Berbagai aspek kehidupan masyarakat adat, katanya,  bergantung pada hutan, mulai dari sumber pangan hingga religi. “Semua jadi hancur saat perusahaan mengubah hutan jadi perkebunan.”

Dia bilang, skema penyertaan saham masyarakat adat dalam bentuk tanah ini harus didorong. Mengingat advokasi mengembalikan hak tanah memerlukan proses panjang. Buat mengembalikan ke ekosistem semula, katanya, juga sulit.

“Ini (model saham adat) bisa jadi bentuk pengakuan pemerintah dan pengusaha atas masyarakat adat sebagai pemilik hingga masyarakat juga mengakui kehadiran pemerintah dan pengusaha,” katanya.

Di Papua,  katanya, belum ada praktik skema ini. Yang ada, masyarakat adat dapat uang dan dianggap sebagai pelepasan hak ulayat.

Kini, masyarakat Arso menunggu tindak lanjut pemerintah dan perusahaan.

“Saya sekarang sudah tak punya tanah lagi. Jadi timur, barat semua sudah tidak ada tanah. Tanah perusahaan ambil. Pikiran saya sekarang, kapankah saya punya tanah bisa kembali? Apakah nanti saya sudah mati kah? Atau bagaimana kah?” kata Mikael. (Bersambung)

 

Foto utama: Masyarakat adat melakukan aksi pemalangan pada 2017. Foto: Harun Rumbarar/ Mongabay Indonesia

 

Mikael Fatagur, salah satu pemilik lahan adat. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version