Mongabay.co.id

Tebang Pohon Berizin Adat, Warga Nagari Koto Terjerat Hukum Perusak Hutan

Agusri Masnefi (47) menggendong anak dan cucu usai menjalani sidang dengan agenda tuntutan di Pengadilan Negeri Lubuk Basung, Agam. Dia bersama Erdi Dt. Samiak (60) didakwa melakukan pengerusakan hutan di kawasan Cagar Alam Maninjau. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

Erdi Dt Samiak (60) dan Agusri Masnefi (47), sejak  27 September 2017,  mendekam di balik jeruji besi gara-gara menebang dua batang pohon di tanah adat Nagari Koto Malintang, yang dalam pandangan negara berada dalam Cagar Alam Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Padahal, mereka tebang pohon sudah sesuai aturan adat, berizin wali nagari dan Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN), tetapi petugas tak peduli, menjerat mereka dengan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Kini, mereka masih menjalani proses persidangan.

Selasa (13/3/18), keduanya baru usai persidangan di Pengadilan Negeri Lubuk Basung, Agam. Suasana haru menyelimuti halaman pengadilan tatkala Erdi dan Agusri,  hendak manaiki mobil tahanan. Peluk cium sanak keluarga kala keduanya beranjak menuju lembaga pemasyarakatan (Lapas).

Siang itu, dalam persidangan dengan majelis hakim diketuai Indrawan dan hakim anggota Duano Aghaka dan Shinta N Ayudia, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yunita Eka Putri didampingi JPU Edmon Riza, menuntut mereka pidana penjara masing-masing sepuluh bulan, denda Rp500.000, subsider satu bulan kurungan.

Dalam tuntutan itu, JPU menjelaskan kedua terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 ayat (2) UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

Atas tuntutan itu, keduanya yang didampingi penasehat hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang akan mengajukan pembelaan pada sidang lanjutam 19 Maret 2018.

Isak tangis dari kedua istri dan sanak keluarga mewarnai sidang tuntutan ini.

 

 

Sudah berizin wali nagari

Kedua warga adat ini ditahan bermula saat Erdi panggilan Dt. Samiak dimintai tolong Agusri Masnefi, alias Epi menebang dua kayu bayur dengan mesin pemotong (chainsaw) di tanah ulayat milik istrinya, Aslinda.

Epi adalah Urang Sumando di Nagari Koto Malintang. Rencananya, kayu-kayu ini untuk bahan tambahan membangun kedai sate di tepi Danau Maninjau.

Sebelum meminta Erdi menebang pohon, terlebih dahulu Aslinda mengajukan izin kepada Wali Nagari dan Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) terbukti dari surat pemberian izin dengan dibubuhkan tanda tangan dan stempel di atas materai. Surat izin ini keluar 19 September 2017.

Surat izin ini diperlihatkan Epi kepada Erdi. Setelah itu Erdi menuju lokasi yang disebutkan Epi, lalu mulai menebang dua kayu bayur dan memotong menjadi papan.

Saat sedang bekerja, sejumlah petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) beserta polisi dari Polres Agam ada yang sedang menyantap makan siang tak jauh dari lokasi penebangan mendegar suara mesin pemotong kayu.

Mereka langsung mencari sumber suara dan mendapati Erdi sedang mengarit kayu. Di sekitar Erdi terlihat potongan papan dan mesin serta beberapa peralatan kayu.

Petugas langsung menanyakan keberadaan kayu, dan mesin itu, dengan polos Erdi mengatakan, diminta tolong seseorang untuk menebang kayu di tanah ulayat itu. Petugas menanyakan izin Dinas Kehutanan. Erdi jawab, tak ada.

“Saat itu, petugas bertanya siapa yang menebang, lalu saya jawab, saya pak. Siapa yang punya kayu ini? Orangnya ada pak,  tapi tidak disini, surat izin dari kehutanan ada tidak, lalu saya jawab kalau di sini, sepanjang saya hidup dan tinggal di nagari ini, tidak ada surat dari Kehutanan bagi masyarakat yang mengambil kayu di tanah ulayat.”

“Hanya surat izin dari Wali Nagari dan Ketua Kerapatan Adat Nagari. Tujuannya agar tak ada penebangan liar, jadi semua dibatasi,” kata saat di persidangan 8 Maret lalu.

Petugas tak menghiraukan surat-surat  itu. Erdi langsung dibawa ke Kantor Polisi Resor Agam 27 September 2017. Kemudian Agusri yang merasa bertanggungjawab mencoba mendatangi Polres Agam memberi penjelasan. Sejak itu, dia tak lagi pulang ke rumah, langsung ditahan.

 

Lokasi penebangan kayu di tanah ulayat milik Aslinda, istru Agusri Masnefi. Di lokasi ini Erdi Dt. Samiak (60) ditangkap petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) beserta polisi dari Polres Agam. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

Dari keluarga miskin

Lima bulan mendekam di balik jeruju besi, keluarga kedua terdakwa sangat terpukul, tak ada lagi tulang punggung keluarga.

Agusri alias Epi, ayah lima anak ini bersama anak-anak dan istri serta anggota keluarga lain, yakni mertua, menantu dan empat cucu yang masih balita menempati satu rumah. Rumah semi permanen berlantai tanah dan sebagian dinding masih terpal.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehari-hari Epi berjualan sate, kadang berkeliling dan kadang menetap. Jika menetap, dia menumpang di salah satu warung di kawasan taman sekitar PLTA Maninjau.

Sejak warung terbakar dan tak diperbaiki lagi oleh pemilik, Epi dan istri berniat membangun kedai di pinggir Jalan Danau Maninjau.

Dengan begitu dia tidak perlu berkeliling dan menantunya bisa pula membuka usaha kecil-kecilan di kedai itu. Sebagai modal awal, dia menggadaikan sepeda motor untuk menyewa tanah dan membeli bahan dan modal kedai.

Uang hasil penjualan motor tak mencukupi untuk membeli seluruh papan dan kayu. Istri Epi kemudian meminta izin kepada Ninik Mamak agar boleh menebang kayu di tanah ulayat suku istrinya.

“Epi memang keluarga miskin, ada data-data di kantor wali nagari, kehidupan memang menyedihkan, rumah saja kecil isi banyak anak-anak yang menghuni. Dia ingin berusaha membuat warung agar bisa menantu tinggal dan menetap di warung,” kata Ramayulis Dt. Kayo nan Kuniang di Pengadilan Negeri Lubuk Basung.

Motor sudah tergadai, sang ayah masuk bui, katanya, bahkan, anak Epi harus putus sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN).

Sedang Dt. Samiak atau Erdi, katanya, sehari-hari adalah petani. Dia punya sawah dan peladangan. Datuak Samiak, warga Nagari Koto Malintang yang memiliki chainsaw berizin pengoperasian dari wali nagari.

Karena memiliki mesin itu, dia kerap diminta tolong warga kampung memotong kayu, sebagai imbalan akan mendapatkan upah. Namun, Ramayulis, sejak Erdi mendapat gelar Datuak 10 tahun terakhitr dia tak lagi menerima orderan. Dia fokus mengurus ladang. Karena Epi masih tetangga dan meminta tolong, diapun bersedia.

“Dulu sebelum beliau jadi Datuak memang profesinya itu, ada izin pengoperasian chainsaw dari wali nagari. Gunanya untuk membelah kayu jadi papan. Setahu saya dia tidak pernah jual kayu atau membawa keluar,” kata Ramayulis.

Foto utama: Agusri Masnefi (47) menggendong anak dan cucu usai menjalani sidang dengan agenda tuntutan di Pengadilan Negeri Lubuk Basung, Agam. Dia bersama Erdi Dt. Samiak (60) didakwa melakukan pengerusakan hutan di kawasan Cagar Alam Maninjau. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Rumah Agusri Masnefi di Nagari Koto Malintang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Sebagian dindingnya hanya ditambal triplek. Di rumah ini Agusri tinggal bersama keluarga besarnya, anak, istri, menantu dan cucu. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Exit mobile version