Mongabay.co.id

Mengapa Harimau Bonita Agresif Menyerang Manusia?

Di Medan Zoo, saat ini ada 9 individu harimau sumatera dan 6 individu harimau benggala. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

 

Bonita, harimau Sumatera di Indragiri Hilir, Riau, yang menewaskan perempuan buruh sawit PT Tabungan Haji Indo Plantation (THIP), Jumiati, awal Januari ini diduga kembali menerkam korban kedua, Yusri Efendi pada Sabtu (10/3/18). Sementara tim gabungan yang dipimpin BKSDA Riau, berupaya menangkap Bonita, tetapi belum berhasil. Pada Jumat (16/3/18), harimau ini sempat tertembak bius, tetapi saat sadar melarikan diri.

 

Sudah lebih 80 hari tim terpadu penanganan konflik Pelangiran berada di lokasi. Sejak Jumiati, korban pertama diterkam harimau berjarak hanya beberapa kilometer dari lokasi Yusri, tim masih berupaya menangkap Bonita. Sempat tertembak bius, tetapi Bonita, berhasil kabur.

Tim ini terdiri Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Riau, WWF, kepolisian, TNI, perusahaan dan masyarakat.

“Sebenarnya, waktu Jumiati meninggal, saat bersamaan kami sedang meeting bersama tim di BBKSDA membahas rencana turun ke lokasi,” kata Febri Anggriawan Widodo, Research and Monitoring (Tiger and Elephant) Modular Leader WWF Indonesia.

Selama pantauan tim, ada dua harimau betina berkeliaran di konsesi PT Tabungan Haji Indo Plantation (THIP). Mereka menandai dengan memberi nama Boni dan Bonita.

Kata Febri, Bonita paling liar dan sedang dicari tim, sementara Boni dalam kondisi normal dan tidak menyerang.

Febri juga mengakui, konsesi perusahaan ini sebenarnya habitat harimau karena berada dalam lansekap Kerumutan. Kawasan ini sekarang sebagian telah jadi konsesi perusahaan hingga menyebabkan konflik dengan manusia. Lansekap Kerumutan diperkirakan dapat menampung 10 harimau.

“Sebenarnya, seluruh hamparan di Riau jadi kantong habitat harimau,” katanya. Penjelasan Febri ini merujuk pada lansekap Rimbang Baling, Taman Nasional Tesso Nilo, Senepis, Bukit Tiga Puluh termasuk Kerumutan.

Pembukaan hutan besar-besaran mengakibatkan harimau berkeliaran dengan mudah berhadapan pada manusia. Alhasil, hampir 70% harimau itu sebenarnya berada dalam konsesi atau lebih sedikit di dalam kawasan konservasi.

Namun, Febri belum punya angka pasti berapa jumlah harimau tersisa di Riau termasuk di lansekap Kerumutan.

Sekarang, tim lapangan fokus menangkap harimau dengan mengikuti jejak, buat perangkap dan memasang kamera pengintai. Tim hendak mendeteksi indikasi yang menyebabkan harimau menelan dua orang korban di kawasan yang sama.

 

Inikah penyebabnya?

Indikasi sementara, katanya,  terjadi perubahan perilaku terhadap satwa langka ini hingga agresif menyerang manusia. Kondisi ini, kata Febri, bisa terjadi karena virus dari hewan mangsaan, alam dirusak atau ada motif ingin balas dendam pada manusia itu sendiri. Faktor terakhir ini, katanya, bisa terjadi karena perburuan yang dilakukan oleh manusia.

“Kami sempat menerima info itu. Tim kami juga sempat menemukan jerat berupa kawat di tengah hutan saat patroli,” katanya.

Kini, sembari menunggu Bonita berhasil kembali ditangkap, tim juga memberi edukasi pada masyarakat dan perusahaan agar melakukan beberapa upaya pencegahan guna menghindari konflik lanjutan.

Dia sarankan, perusahaan memasang papan peringatan. Tidak membuka hutan yang jadi habitat harimau, tak melewati koridor perlintasan harimau, membersihkan konsesi supaya tidak jadi persembunyian harimau dan memerintahkan karyawan keluar dan bekerja tak seorang diri alias berkelompok.

Febri juga mengingatkan, supaya membawa senjata saat keluar atau bekerja di dalam perkebunan tetapi jangan sampai membunuh satwa.

Bila harimau berhasil ditangkap, tim akan membawa ke kandang observasi untuk dicek apakah Harimau menderita penyakit, mengalami cacat atau berubah perilaku.

“Kalau ketiganya tidak terdeteksi, kami akan melepas ke habitat asal. Seperti di kawasan rawa gambut termasuk di suaka margasatwa,” katanya.

 

Habitat harimau banyak berubah, antara lain menjadi kebun sawit. Tak pelak, konflik satwa dan manusia terjadi kala satwa turun ke permukiman masyarakat. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Cerita tiga saudara

Ketiga saudara Yusri Efendi, yang lolos dari terkaman harimau bercerita kepada Mongabay.  Sekitar pukul 7.00, Rusli, Sarman, Indra dan Yusri Effendi,  beranjak dari rumah menyusuri Sungai Kateman, dengan sampan satu mesin di belakang.  Sekitar 50 meter melewati sungai, mereka menambatkan sampan dan berjalan kaki menuju bangunan rumah walet.

Rusli, Sarman dan Indra adalah saudara kandung. Sedangkan Yusri menikah dengan sepupu perempuan mereka.

Pagi itu, mereka hendak melanjutkan pekerjaan membangun rumah walet, di RT 038 Simpang Kanan, Dusun Sinar Danau, Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, Sabtu (10/3/18).

Indra dan Sarman kebagian memaku lantai paling bawah bangunan. Rusli dan Yusri Effendi memasang atap. Bangunan ini terdiri dari empat lantai.

Sekitar pukul 11, mereka menghentikan pekerjaan dan kembali ke rumah. “Kami mau masak dan makan siang di sana. Itu rumah paman yang kami pakai selama mengerjakan bangunan,” kata Indra.

Tengah hari, mereka biasa setop kerja untuk kembali ke penginapan dan makan siang.

Setelah mengisi perut dan menghilangkan letih, sekitar pukul 14.00, mereka kembali ke bangunan dengan menyusuri sungai. Saat melewati jalan setapak, mereka diteriaki warga karena ada harimau berkeliaran.

Keempatnya berlari sampai lebih cepat ke bangunan. Setelah itu, mereka langsung naik ke lantai paling atas.

“Tak mungkin kami balik lagi ke belakang. Karena kami sudah dekat bangunan,” kata Rusli, mengenang kejadian itu. Rusli, saudara paling tua.

Dari atas bangunan, mereka melihat harimau tetapi masih jauh dari tempat mereka bekerja. Sambil terus mengamati harimau, hujan turun. Harimau tadi hilang dari pandangan.

Setelah hujan reda, mereka kembali melanjutkan pekerjaan. Indra dan Sarman turun kembali memaku lantai. Rusli dan Yusri tetap di atas memasang atap.

Tak berapa lama saat sibuk bekerja, warga sekitar kembali berteriak memberitahu bahwa harimau datang lagi. Indra dan Sarman cepat-cepat memanjat ke atas bangunan. Kali ini, harimau sedikit lebih dekat. Hujan kembali turun dan harimau kembali hilang dari pandangan.

Seperti tak ada rasa takut, setelah hujan reda, keempatnya terus melanjutkan pekerjaan. Indra dan Sarman, tetap turun ke lantai bawah. Dua lagi tetap di atas atap.

Untuk ketiga kalinya, harimau muncul lagi. Sontak, Indra dan Sarman,  terperanjat karena  ngauman binatang buas itu. Lagi-lagi mereka memanjat bangunan. Kali ini, harimau sangat dekat dengan posisi mereka.

“Pas di bawah bangunan. Harimau itu menengok kami di atas dan menjilat-jilat kakinya,” kenang Indra.

Perjumpaan ketiga ini cukup lama buat mereka bertahan di atas bangunan hingga langit mulai gelap. Rusli bilang, biasa pukul 17.00 mereka sudah beranjak pulang.

Keempatnya baru berani turun setelah memastikan harimau menjauh dan menghilang dari bangunan, sekitar pukul 18.00.

Dengan rasa gugup, mereka buru-buru meninggalkan bangunan itu dengan jalan mengekor. Yusri paling depan. Di belakang Sarman diikuti Indra dan Rusli, paling belakang.

“Saya bawa parang dan Sarman bawa kampak,” kata Rusli.

Separuh perjalanan, dari samping kiri mereka kembali kepergok harimau. Keempatnya berhamburan lari ke sebelah kanan dengan tujuan masing-masing. Senjata yang dibawa pun entah lepas ke mana.

Jeda beberapa menit, Sarman memanggil saudaranya dan mengajak mereka berkumpul.

Sarman saat itu berada di atas rumput tergenang air. Setelah kembali berkumpul, mereka tak melihat Yusri. Rusli memanggil berulang kali sampai menangis. Rusli bahkan hendak mencari saat itu juga. Sarman melarang karena mereka tak bawa penerangan.

“Bahaya juga kalau dilanjutkan,” kata Sarman.

Mereka diam-diam meninggalkan lokasi dengan merangkak menuju tepian sungai. Di sana mereka bertemu dua warga masing-masing membawa sampan. Indra, Rusli dan Sarman,  langsung melompat ke sampan seraya meminta tolong.

Haluan sampan pun langsung berbalik arah dan mencari pertolongan warga lebih banyak lagi. Ramai-ramai bersama warga mereka berpencar mencari Yusri. Beberapa petugas juga ikut membantu.

Kata Indra, petugas itu sudah ada sejak pagi. “Bahkan, siang itu mereka sempat melihat petugas mengintai harimau membawa kambing sambil memfoto,” ucap Rusli.

Malam itu, saat mencari jasad Yusri pun, warga sempat bertemu harimau lagi. Petugas, kata Rusli, sempat menembak harimau dan langsung melompat hilang dari pandangan.

Tak lama, setelah itu, warga berteriak memanggil yang lain, karena menemukan Yusri di atas rumput yang digenangi air.

Saat itu, Yusri sudah tidak bernyawa. Tengkuk sobek karena bekas gigitan. Iptu Heriman Putra, Perwira Urusan Hubungan Masyarakat Polres Inhil, saat dihubungi, pagi, Yusri mengalami pendarahan.

Warga mengangkat jasad Yusri dan membawa ke tepi sungai, lalu meletakkan di terpal biru yang diambil dari bangunan rumah walet. Malam itu juga warga membaca doa sambil menunggu kendaraan untuk membawa Yusri.

Rumah warga hanya beberapa ratus meter dari tempat mereka bekerja.

Tak berapa lama, speed boat milik petugas yang disebut Rusli dan Indra,  tadi datang menjemput. Jasad Yusri dibawa ke klinik PT Tabungan Haji Indo Plantation (THIP). Setelah diperika petugas medis, Yusri telah meninggal.

Tak menunggu lama, jasad korban bersama tiga bersaudara tadi dibawa pulang ke Desa Pulau Muda Kecamatan Teluk Meranti, menyusuri sungai. Mereka turun di belakang pabrik ramin—pabrik pengolahan sawit—sebelum dijemput keluarga, ramai-ramai bersama warga lain dengan kendaraan darat.

“Kami baru tiba di rumah pukul 1.00 pagi,” kata Rusli. Almarhum dimakamkan hari itu juga setelah matahari terbit.

Rusli, Yusri, Indra dan Sarman, sebenarnya baru 15 hari bikin rumah walet milik Sitorus—mereka tak tahu nama aslinya. Awal mula mereka mengerjakan bangunan ini sebenarnya mulai dari Sarman.

Sarman, sebelumnya sering cari ikan di sungai yang masuk dalam Kabupaten Indragiri Hilir itu. Mereka itu warga Pulau Muda Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, wilayah berbatasan.

Selama dua bulan cari ikan itulah, Sarman kenal dengan Sitorus dan menawarkan bangun rumah walet. Mereka berunding berdua dan sepakat upah Rp20 juta sekitar satu bulan kerja.

Sarman mengajak tiga saudaranya tadi. Indra bilang, sampai kejadian nahas itu, mereka sudah menerima Rp9.600.000 dari suluruh upah sesuai kesepakatan. Duit itu untuk biaya keluarga di rumah yang ditinggalkan selama bekerja.

Rezeki belum sepenuhnya didapat, malang keburu menimpa. Yusri, menjadi korban kedua Bonita, meninggalkan istri dan tiga anak. Anak pertama laki-laki masih SD, anak kedua perempuan duduk dibangku TK dan paling kecil masih menyusui.

“Sekarang kami belum ada pekerjaan apapun. Mau menghubungi Bang Sitorus, tak dapat. Karena handphone Sarman dan Yusri hilang saat kejadian itu. Nomor kontaknya di situ,” kata Rusli.

 

Foto utama: Harimau, habitat terus terdesak karena berubah ke berbagai fungsi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version