Mongabay.co.id

Nestapa Petani Polanto Jaya di Tengah Ekspansi Kebun Sawit Astra (Bagian 1)

Pemeriksaan lapangan oleh Pengadilan Negeri Pasang Kayu. Foto: Walhi Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Siang itu, kami tiba di Pengadilan Negeri Pasang Kayu,  Mamuju Utara, Sulawesi Barat,  setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam dari Kota Palu, Sulawesi Tengah. Kami disambut jabat tangan para petani yang sedang menunggu giliran sidang hari itu.

Empat petani Desa Polanto Jaya, Kecamatan Rio Pakava, Donggala,  ini dituduh mencuri buah sawit oleh PT Mamuang, anak usaha PT Astra Agro Lestari (AAL). Mereka jadi tahanan luar dan jalani proses persidangan.

Hari itu, mereka sidang pemeriksaan saksi, bersamaan kasus pidana yang menimpa Frans,  petani dari Rio Pakava—menebas dengan parang motor mandor perkebunan. Frans kesal, lantaran kebun sawit miliknya dipanen karyawan perusahaan Mamuang.

Kasus agraria Rio Pakava mencuat sejak kriminalisasi terhadap warga transmigrasi pada April 2017. Mereka dituding mencuri buah sawit walau punya bukti hak lahan. Suparto dan Sikusman, dua pemilik lahan dengan bukti surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT),  satu petani, Jufri, mendapat kuasa pemilik tanah untuk memanen. Satu lagi, Mulyadi, buruh panen di lahan milik Suparto dan Sukisman.

Dalam tuntutan Jaksa yang dibacakan 1 Maret 2018, , Jufri, Suparto dan Siskusman dituntut satu tahun, sedang Mulyadi enam bulan penjara.

Mulyadi sehari-hari sebagai buruh panen dan membersihkan kebun warga. Pria kelahiran Bone Sulawesi Selatan ini, tinggal di Desa Polanto Jaya sejak lima tahun silam. Sebelumnya, dia merantau di Kendari,  Sulawesi Tenggara dan memutuskan pindah ke Rio Pakava.

Dia punya dua anak, satu laki-laki kelas V SD dan anak kedua, perempuan kelas I SD. “Saya diadili, yang mengurus ekonomi dan anak-anak istri saya. Kebetulan istri saya juga buruh panen. Biasa istri selalu ikut sidang, kali ini tidak bisa karena sakit,” katanya.

Mulyadi disangka mencuri saat panen sawit kebun milik Sikusman dan Suparto, pada 10 April 2017. Sebelum kejadian, Suparto datang ke rumahnya membantu panen sawit.

“Ini pekerjaan saya, jadi saya iyakan. Saya memang membantu panen dan kadang-kadang juga ikut memaras,” katanya.

Ketika panen, perempuan dan anak-anak ikut serta. Mereka mengumpulkan buah sawit jatuh saat tandan panen.

Tak banyak pilihan pekerjaan di desa ini karena perkebunan sawit sudah mengepung semua sudut. Rumah petani hanya tampak seperti pulau kecil di tengah “lautan sawit.”

Ceritanya, usai panen 10 April 2017, keempat orang itu dilaporkan perusahaan  di Polres Pasang Kayu, Mamuju Utara, Sulbar dengan tuduhan pencurian. Penangkapan dilakukan saat panen. Polisi dan sekuriti perusahaan datang menghentikan mereka.

Tak terima dengan perlakukan perusahaan, masyarakat memutuskan ikut melapor balik ke Polres Mamuju Utara. Pada 11 April 2017, warga dan perusahaan dipanggil polisi.

Jufri mengatakan, Polres Mamuju Utara memediasi mereka dan minta menunjukkan hak masing-masing.

Kedua belah pihak bersepakat membawa bukti ke kantor polisi, seminggu sejak kesepakatan. Dalam kesepakatan itu, baik masyarakat maupun perusahaan dilarang beraktivitas.

Esok hari, warga Desa Polanto Jaya kembali ke Kantor Polres menunjukkan bukti kepemilikan lahan sawit. “Anehnya, sejak kesepakatan itu dibuat, perusahaan tak kunjung membawa bukti kepemilikan lahan sawit,” kata Jufri.

Merasa sudah menunjukkan bukti, katanya, petani memutuskan memanen sawit. Saat panen itulah, warga kembali dilaporkan perusahaan ke Polres Mamuju Utara. Penahanan empat petani pada Oktober 2017.

Jufri yang diangkat warga sebagai pengawas panen sawit di Desa Polanto Jaya, menerangkan ketika proses penyelidikan, polisi menyita satu mobil truk dan satu pick up, milik Jufri, beserta arko dan alat-alat yang diduga untuk panen sawit.

“Aparat datang guna baju preman, kami ditangkap di rumah, dan mobil disita. Mobil disita sekarang masih di Polsek Rio Pakava. Kami sengaja belum ambil mobil karena ingin membuktikan siapa sebenarnya pencuri. Kami atau perusahaan,” katanya.

Dalam dakwaan Jaksa Mamuju Utara,  mengatakan, empat petani melakukan tindak pidana pencurian Pasal 363 terbukti dengan peta kerja HGU Mamuang. Jaksa mendalilkan, karena pencurian sawit, Memuang rugi lima ton sawit atau Rp7 juta.

Jufri menilai, jaksa tak masuk akal. “Tuntutan itu dibuat-buat untuk menjerat mereka dengan mendalilkan kerugian lebih Rp2 juta agar masuk kategori pidana.”

Mulyadi dalam persidangan menyebutkan, panen kurang dari satu jam. Jadi, katanya, tak mungkin bisa hasilkan lima ton sawit.

“Ini sungguh dakwaan tak masuk akal. Ketika saya tanya, petani mengaku hanya memanen sebentar, hasil mungkin 30-40 tandan sawit,” ucap Suparto.

Dia heran, dituduh mencuri oleh perusahaan di kebun sawit yang ditanamnya sendiri. “Mencuri apa. Saya ini,  panen sawit di kebun sendiri yang saya tanam sendiri, rawat sendiri dan pupuk sendiri,” kata Suparto.

 

Demonstrasi petani menuntut pembebasan 4 orang terdakwa tuduhan pencurian sawit. Foto Walhi Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Suparto bilang, memegang surat kepemilikan tanah dari 1990 sedang Mamuang masuk tahun 2004. “Duluan saya datang ke sini daripada Mamuang.”

Dulu dia menanam kakao, kala perusahaan masuk, pohon-pohon itu ditebang. “Semua tanaman kami habis ditebang. Saya tak pernah menerima ganti rugi dan tak mau juga menerima. Mereka menawarkan harga atas lahan kami sangat murah, masa Rp10 juta, Rp20 juta, itu jauh sekali.”

“Saya orang susah, saya tidak mau jual lahan. Bahasa orang perusahaan itu wilayah HGU-nya, tapi saya tidak pernah lihat itu izin HGU.”

 

 

***

“Kami menuntut keadilan, ,” kata Jufri.

Petani yang hidup pas-pasan ini rela meminjam mobil tetangga dan menempuh perjalanan sekitar satu jam, dari Desa Polanto Jaya, Kecamatan Rio Pakava, Donggala, Sulawesi Tengah,  menuju Pasang Kayu, Ibu Kota Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Hal itu mereka lakukan demi memberi dukungan moral pada kerabat yang sedang bersidang.

“Kami sudah bertahun-tahun berjuang seperti ini, tidak menyerah,” katanya, yang siang itu memimpin rombongan petani Polanto Jaya.

Gafur dari Walhi Sulteng, mengatakan, Pengadilan Pasang Kayu nampak seperti pasar tumpah sejak sidang kasus ini. Mereka selalu diawasi petugas kepolisian dan pegawai pengadilan yang hilir mudik mengamati para tahanan. Di depan sel tahanan, rombongan petani berdialog bebas seperti hendak meluapkan kekecewaan mereka.

Sikusman juga cerita perjalanan hidupnya. “Hidup saya hancur, kakao dibabat perusahaan, istri dibawa lari mandor dan mertua meninggal karena stres. Atap rumah saya pun tak bisa diganti. Pekerjaan jadi buruh panen, ya cukup untuk makan seminggu,” kata Sikusman,  kepada Mongabay di sel tahanan Pengadilan Negeri Pasang Kayu, akhir Februari lalu.

Hari itu, dia pakai kaos biru dengan jeans lusuh, bersiap menghadapi persidangan. Sikusman, salah satu dari empat tersangka yang dipidanakan Mamuang dengan tuduhan mencuri buah sawit. Sikusman tiba di Polanto Jaya tahun 1992.

“Saya berasal dari Blitar, Jawa Timur. Saya datang ke sini mendapati daerah ini masih dalam hutan. Kami menebang pohon-pohon besar. Setelah itu,  saya menanam kakao, sayuran dan tanaman jangka pendek lain” ucap Sikusman.

Dia menceritakan,  getir kehidupan sekitar 20 tahun terakhir di bawah bayang-bayang kemiskinan. Dia seperti tak melihat ada harapan sejahtera sejak seluruh miliknya hancur karena klaim perkebunan sawit Mamuang.

”Kakao kami ditebang karyawan Mamuang 2003, sampai kini belum ada ganti rugi,” katanya.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah, nasib Sikusman. Setelah kehilangan mata pencaharian, bencana menyusul. Istri tercinta dibawa lari mandor perkebunan Mamuang.

“Istri saya dari Tulung Agung. Waktu kejadian penebangan pohon kakao, istri saya lari ke Palu. Di sana malah lari sama mandor Mamuang. Mandor itu dari Kendari,” katanya, pelan.

Dia mulai curiga sejak warga  memergoki mandor sedang menggoda istri saya di pondok kebun sawit. Pada awal lari, mereka masih sering komunikasi. Kini, tak ada kabar berita.

“Dulu masih sempat komunikasi. Saya suruh pulang dia tidak mau, katanya takut. Saya tanya, takut sama siapa? Dia tak menjawab.”

Sikusman memiliki dua anak.  “Satu ikut mamanya dan satu tinggal dengan saya.”

Dia pasrah, meski berusaha mencari sang istri.  Dia tak bisa berbuat banyak karena kesulitan ekonomi. “Saya tak punya uang. Sudah lapor di Polsek tapi tak ada jawaban,” katanya.

Kesunyian hidup Sikusman bertambah akut setelah mertua, orang tua istrinya meninggal dunia. Mertuanya trauma dengar suara tembakan dan sakit-sakitan sejak pohon kakao ditebang, akhirnya meninggal dunia.

“Mertua meninggal bersama saya tanpa dilihat anaknya. Saya menduga mertua sakit-sakitan karena stres menanggung malu kelakuan anaknya. Lagi pula saya tidak punya uang untuk ongkos berobat ke rumah sakit,” katanya.

Polanto Jaya adalah desa transmigrasi pada akhir tahun 1980-an. Mereka mulai membuka lahan pada 1991. Desa ini dihuni sekitar 2.500 keluarga dari berbagai daerah di Indonesia.

Sengketa lahan berakar dari hak guna usaha (HGU) Mamuang, Nomor 1/1992 menyebutkan, wilayah perusahaan terletak di Desa Martajaya,  Kecamatan Pasang Kayu, Mamuju Utara.  Berdasarkan itu, Mamuang seharusnya tak punya hak di Lalundu khusus di Polanto Jaya.

Tak jauh beda pengalaman Karolus Kolo,  petani trans Desa Rio Mukti asal Nusa Tenggara Timur. Dia datang ke Rio Pakava pada 1995. Mereka mendapatkan lahan terdiri dari pekarangan (0,5 hektar), lahan usaha  satu (1,5 hektar) dan lahan usaha II satu hektar.

Kala itu, hutan hingga harus menebang pohon-pohon besar. Sebagian lahan, katanya, tanah rawa, air kadang sampai pinggang.

“Kami harus menunggu kering baru melanjutkan pembersihan lahan,” ucap Karolus.

Pada masa mengolah lahan, mereka menanam kakao dua hektar selang-seling dengan tanaman jangka pendek dan kedelai. Hampir semua petani transmigrasi, katanya, lakukan hal serupa.

Kehidupan Karolus terganggu setelah Mamuang menebang kakaonya pada 2006.

Menuru Karolus, Mamuang mencabut papan plang transmigrasi dan menaruh di rumah mantan Kepala Desa Rio Mukti, Hasan Syek Raja Bunda.

“Sekarang saya kerja serabutan, jadi buruh panen dan perawatan lahan orang, yang penting bisa menyambung hidup,” katanya.

 

Jufri sedang dimintai keterangan oleh Camat Donggala yang didatangkan sebagai saksi ahli. Andika Dika/ Mongabay Indonesia

 

 

Kata perusahaan

Perusahaan mengklaim, sawit yang dipetik warga bagian dari 42 hektar lahan Mamuang di Desa Polanto Jaya. Dari 42 hektar klaiman Mamuang adalah garapan warga Polanto Jaya, masing-masing 27 orang. Bentuk kepemilikan itu terdiri dari enam bukti kepemilikan sertifikat tanah dan 21 SKPT.

Teguh Ali, Manager Community Development PT Mamuang mengatakan, berdasarkan fakta lapangan, petani tak menanam sawit tetapi kakao di sela-sela sawit. “Kakao kami tidak ganggu, dibiarkan tumbuh di perkebunan sawit,” katanya.

Dia bilang, Suparto dan Sikusman ini memegang bukti kepemilikan tanah walaupun berada di konsesi HGU Mamuang. Namun, katanya, lahan dibeli sporadis dari almarhum Abdul Bahri Datupamusu, tanpa informasi cukup.

“Kami menghormati hak masyarakat, memang dulu kakao warga ditebang tapi sudah diganti rugi. Nah, yang bermasalah ini milik Suparto dan Sikusman karena tak mau diganti rugi.”

Mamuang,  katanya, tak berharap ada proses hukum tetapi tenaga kerja di lapangan merasa terancam karena sering mendapatkan intimidasi.

Manajemen Mamuang, katanya,  telah bertemu petani enam kali tetapi mereka selalu melibatkan perantara.

“Petani melaporkan perusahaan ke Polda Sulteng. Polda Sulteng memutuskan lokus deliktus kasus ini di Sulbar. Sawit ditanam Mamuang, di lahan itu masih kakao warga, kami biarkan tetap hidup.”

Budi Sarwono Manager Community Development Area Sulawesi Astra Group  menuding ada pihak ketiga yang mempengaruhi Suparto dan Sikusman hingga mereka tetap bertahan dengan harga tinggi walaupun warga lain sudah menerima.

“Mereka minta Rp17 miliar untuk tanah seluas enam hektar. Itu tidak masuk akal. Kasihan, orang hanya menjerumuskan Suparto dan Sikusman, habis uang dan tenaga untuk mengurus masalah ini. Padahal kami sudah menawarkan ganti rugi sejawarnya dan mengajak jadi mitra perusahaan,” kata Teguh.

Budi menambahkan, sengketa lahan ini sudah berulang. Pada 2006, ada kasus perdata di Pengadilan Negeri Donggala. Penggugat adalah Abdul Bahri Datupamusu, tetapi gugatan mereka tak diterima. Pada 2008, kelompok petani dan nelayan mengajukan gugatan di Pengadilan Mamuju tetapi tak diterima. (Bersambung)

 

Foto utama: Pemeriksaan lapangan oleh Pengadilan Negeri Pasang Kayu. Foto: Walhi Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Suasana persidangan terhadap 4 petani terdakwa pencurian sawit. Foto: Andika Dika/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version