Mongabay.co.id

Pandangan Para Ahli soal Warga Nagari Terjerat Hukum Perusak Hutan Walau Berizin Adat

Lokasi penebangan kayu di tanah ulayat milik Aslinda, istri Agusri Masnefi. Di sini Erdi Dt. Samiak (60) ditangkap petugas Balai Konservasi Sumbar Daya Alam (BKSDA) beserta polisi dari Polres Agam. Foto: Vinolia. Mongabay Indonesia

 

Dua warga adat dari Nagari Koto Malintang, Erdi Dt Samiak (60) dan Agusri Masnefi (47), sejak 27 September 2017 masuk bui dan didakwa karena menebang dua batang pohon di tanah adat padahal berizin wali nagari. Warga adat di nagari yang sudah mendapatkan Kalpataru dan Wana Lestari ini didakwa merusak hutan Cagar Alam Maninjau. Mereka terjerat UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Bagaimana pandangan para ahli?

Baca juga: Tebang Pohon Berizin Adat, Warga Nagari Koto Terjerat Hukum Perusak Hutan

Para ahli dan pakar itu, antara lain Kurnia Warman, ahli Hukum Agraria  Universitas Andalas; Abdul Fickar Hadjar,  pakar hukum pidana Universitas Trisakti, dan Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM.  Juga Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, juga penasehat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyampaikan Amicus Curiae kepada Pengadilan Negeri Lubuk Basung.

Kurnia Warman, mengatakan, masyarakat Nagari Koto Malintang memiliki hak lahan mereka. “Tanah tempat tumbuh kayu yang mereka tebang itu ulayat mereka (pusako tinggi). Disitulah mereka beraktivitas mengolah lahan, menebang sesuai status ulayat kaum yang dipunya oleh istri terdakwa, Aslinda,”katanya dalam keterangan di pengadilan.”

Lahan ulayat, yang masuk kawasan hutan itu, oleh Menteri Kehutanan,  baru sebatas penunjukan. Dalam UU Kehutanan mengatakan,  penetapan kawasan hutan wajib melalui proses pengukuhan kawasan. Penunjukan, katanya, baru tahap awal pengukuhan kawasan.

“Tiba-tiba ditetapkan saja fungsi sebagai cagar alam. Di dalam UU Kehutanan disebutkan penetapan fungsi itu baru bisa setelah kawasan itu dikukuhkan, ini belum dikukuhkan sudah ditunjuk fungsi. Negara sendiri sudah menyalahi hukum. Ini penzaliman kodrat, orang dipidana di tanah sendiri, tanah dirampas, iapun dizalimi,” katanya.

Terkait kewenangan wali nagari memberi izin, katanya, sebagai hak asal-usul dia berhak. Dalam konteks ini,  katanya, wali nagari memberi izin atas inisiatif dan hak asal-usul.

“Wali nagari memberi izin itu bukan kewenangan oleh pemerintah tapi kewenangan otonom dari nagari sebagai masyarakat hukum adat yang jadi pemerintahan terendah. Itu terbukti menjaga kelestarian fungsi hutan disitu jika tidak diatur, dibiarkan saja menebang, apakah petugas BKSDA bisa menjaga hutan seluas itu?”

Dia bilang, semestinya BKSDA merangkul semua orang untuk menjaga fungsi bukan malah menangkap masyarakat adat yang telah menjaga hutan.

Aturan nagari, katanya,  progresif karena tak membiarkan orang menebang sembarangan dalam kawasan hutan. Wali nagari merasa bertanggung jawab mengawasi hutan hingga ada kriteria tertentu, hutan (pohon) yang boleh ditebang.  Mereka, katanya,  terbukti berhasil menjaga hutan dengan telah mendapatkan Kalpataru.

Abdul Fickar Hadjar,  pakar hukum pidana Universitas Trisakti dalam keterangan tertulis kepada Mongabay terkait keterangan dalam persidangan mengatakan, pasca lahir beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan UU Kehutanan, katanya, seharusnya tak ada lagi kriminalisasi terhadap mayarakat adat yang menebang kayu di hutan adat sendiri.

 

 

Putusan-putusan MK itu antara lain, Putusan No.3/PUU-VIII/2010 menegaskan, penguasaan negara atas hutan harus memperhatikan hak-hak yang lebih dulu ada, baik hak individu maupun hak kolektif masyarakat hukum adat/ulayat, dan hak- konstitusional lain.

Juga putusan No.32/PUU-VII/2010 menegaskan, saat pemerintah akan menetapkan wilayah hutan wajib mendengar dan menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu. Kemudian, putusan MK No.34/PUU-IX/2011 soal penguasaan hutan oleh negara wajib melindungi, menghormati dan memenuhi hak masyarakat hukum adat. Putusan ini juga menegaskan, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap.

Implikasi norma ini, katanya, penentuan kawasan hutan tak hanya pada penunjukan, juga proses penataan batas, pemetaan dan penetapan. Beragam aturan itu dipertegas lagi lewat putusan MK No.35/PUU-X/.2012 soal hutan adat, bukan hutan negara.

Keputusan ini, katanya, pertama,  berlaku retroaktif ke belakang bagi perkara perkara sebelum putusan MK No.45/2011. Kedua, pengertian hutan negara mengacu pada defenisi dalam putusan MK itu. “Artinya tahapan “perhutanan negara” berlaku juga bagi hutan-hutan yang ada.”

Sayangnya, putusan-putusan MK dengan norma-norma yang memproteksi masyarakat adat itu, katanya,  seakan sama sekali tak berpengaruh. Kriminalisasi warga adat terjadi dengan tuduhan melakukan perusakan hutan dan didakwa melanggar UU P3H.

Dia bilang, dari perspektif hukum pidana, sebenarnya dakwaan Jaksa Penuntut Umum kehilangan pijakan karena ada alasan penghapus pidana. Ada tiga hal jadi dasar hapusnya pidana yang didakwakan kepada masyarakat hukum adat.

Pertama, ada izin yang diberikan. Alasan ini, katanya,  banyak digunakan dalam hukum administrasi terutama yang menyangkut penegakan hukum lingkungan. Beberapa sarjana memperkuat pendapat ini antara lain Prof. Andi Hamzah, Prof Barda Nawawi, Prof Takdir Rahmadi dan Prof. Eddy OS Hieraz.

Menurut mereka,  sepanjang izin diberikan bukan tipuan, kekhilapan, tekanan dan tak bertentangan dengan kesusilaan, maka izin akan menghapuskan pidana.  Dalam kasus Lubuk Pasung, misal,  dua warga adat tebang pohon atas izin kerapatan adat.

Kedua, tindak pidana yang dituduhkan tak ada sifat melawan hukum materiil. Jadi, meskipun perbuatan itu memenuhi unsur delik, tetapi tak bertentangan dengan hukum adat– hukum yang hidup dalam masyarakat–, rasa keadilan dalam masyarakat. “Maka perbuatan itu tidak dapat dipidana.”

Ketiga, dalam UU P3H, terutama Pasal 1 itu menegaskan, kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar hutan yang menebang kayu bukan untuk komersial dan/atau melakukan perladangan tradisional, dihapuskan sifat melawan hukum formal alias mereka dikecualikan. “Artinya,  aturan ini jadi alasan penghapus pidana bagi masyarakat adat yang berladang ataupun menebang kayu.”

Sandra Moniaga, Komisioner di Komnas HAM dalam keterangan di persidangan menyampaikan UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat adat. UUD 1945, katanya,  juga mengakui identitas dan hak tradisional mereka sebagai bagian dari hak asasi manusia. Jadi, UUD 1945 dan UU Hak Asasi Manusia menetapkan kewajiban negara menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk hak masyarakat adat.

“Soal tuduhan bahwa Agusri dan Erdi telah menebang kayu di Kawasan Cagar Alam, muncul pertanyaan apakah kawasan dimaksud sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan cagar alam atau belum? Berdasarkan informasi dari BKSDA, kawasan itu belum ada penetapan.”

Untuk penetapan kawasan hutan, katanya, antara lain, ada pemetaan (tata batas) kawasan, partisipasi masyarakat, dan terakhir penetapan oleh pemerintah.

Erly Sukrismanto Kepala BKSDA Sumbar saat dihubungi Mongabay mengatakan,  dalam kasus ini BKSDA memandang sebagai ilegal logging karenan status hutan cagar alam. “Kalau mereka mengatakan itu tanah ulayat dan sebagainya, silakan buktikan di pengadilan, apa yang mendasari itu adalah hutan ulayat atau hutan adat?”

Dia bilang, hutan adat itu adalah hutan milik, harus ada surat keputusan yang mengatakan itu hutan adat. “Tidak bisa hanya mengatakan itu hutan saya, hutan si A, artinya beradu dokumen di pengadilan, jadi kepastian hukum disitu. Kalau tidak,  orang akan mengatakan itu hutan kami.”

Menurut dia, menunjuk masyarakat adat itu harus ada perda, harus ada wilayah adat, harus ada perangkat adat dan ada aturan adat. Artinya, kata Erly,  semua berdasar kepada hukum. “Sekarang  bisa menunjukkan, itu tidak?”

Sumatera Barat sendiri, telah memiliki Peraturan Daerah soal ketentuan pokok pemerintah nagari sejak 2000 dan Perda tentang Nagari pada 2017.  Dalam kedua perda itu jelas menyebutkan soal wilayah adat (ulayat).

Erly juga mengatakan soal status kawasan tempat penebangan masih penunjukan, fungsi hutan konservasi status cagar alam.  “Betul status masih penunjukan,” katanya.

Namun, dia beranggapan putusan Mahkamah Konstitusi tak berlaku surut. Artinya, kawasan hutan ditunjuk sebelum putusan MK masih berlaku dan dianggap sebagai penetapan.

“Kecuali kalau ditunjuk sesudah putusan MK, jadi, missal, sekarang ada kawasan hutan yang ditunjuk karena belum mempunyai kekuatan hukum apapun, kalau itu ditunjuk sebelum putusan MK, status tetap putusan.”

 

Sejak pagi para kerabat dan warga Kampung Nagari Koto Malintang sudah memadati halaman Pengadilan Negeri Lubuk Basung kabupaten Agam, mereka akan menyaksikan persidangan dua masyarakat adat yang didakwa melakukan pengerusakan hutan di kawasan Cagar Alam Maninjau. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

Masukan dari sahabat pengadilan 

Sementara itu, Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, yang menyampaikan sahabat pengadilan (Amicus Curiae) mengatakan, kawasan hutan menurut UU No. 41 Tahun 1999 terdiri dari hutan negara dan hutan hak.

Dengan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, katanya, hutan hak terbagi jadi hutan adat dan hutan perorangan serta badan hukum. Kewenangan pemerintah menetapkan kawasan itu sebagai kawasan hutan. Ia terdiri atas hutan negara, hutan adat dan hutan hak lain. Hal ini, katanya, sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (3) UU 41 Tahun 1999 menyatakan, pemerintah menetapkan status hutan negara, hutan hak termasuk hutan adat.

Itu berarti, kata Hariadi, kawasan hutan yang dikelola masyarakat adat sebagai hutan adat dijalankan secara otonom melalui aturan adat yang di dalamnya terdapat pula hak, kewajiban, maupun sanksi bagi anggota.

Kondisi itu, katanya,  menunjukkan, kearifan dan pengetahuan adat tak dipertentangkan dengan pengetahuan ilmiah kehutanan (scientific forestry)  yang jadi dasar konstruksi isi peraturan-perundangan.

Dalam Amicus Curiae itu, Hariadi juga menjelaskan soal percepatan pengukuhan kawasan hutan. Dia jabarkan, tata batas kawasan hutan secara nasional sampai 2009 sekitar 219.206 km (77,64%),  sedang kawasan hutan negara ditetapkan baru sekitar 13.819.510,12 hektar (11,44%).

Kondisi ini, katanya, karena penyelesaian konflik atau klaim atas kawasan hutan negara lambat, hingga tak kunjung temu gelang.

Dari dasar kondisi itu, katanya, ada Nota Kesepahaman Bersama 12 kementrian/lembaga (NKB 12 K/L) difasilitasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 11 Maret 2013, di Istana Negara.

Rencana aksi ada tiga agenda pokok, yakni,  revisi kebijakan, penyelesaian konflik tenurial dan harmonisasi teknis dan prosedur. “Di dalamnya termasuk memperbaiki kebijakan pengukuhan kawasan hutan yang dianggap mengabaikan hak-hak masyarakat atas tanah dalam kawasan hutan, tak partisipatif maupun tidak akuntabel, selama 30 tahun terakhir.”

Dia juga sebutkan soal peraturan yang masih bermasalah. Saat itu, kata Hariadi, dalam Amicus Curiae,  Kementerian Kehutanan, menggunakan NKB 12 K/L untuk mempercepat proses pengukuhan kawasan hutan tanpa menyelesaikan hak-hak masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Dari data Kemenhut, sampai akhir  2014, penetapan kawasan hutan naik mencapai 68%, dan meningkat lagi jadi 86,8% pada September 2017. Dengan catatan, katanya,  di setiap surat keputusan menteri dalam menetapkan kawasan hutan disertai klausul,” dalam hal masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang sah dalam penetapan kawasan hutan ini, dikeluarkan dari kawasan hutan sesuai peraturan perundangan.” Artinya, dalam setiap penetapan kawasan hutan, masih mungkin terdapat hak-hak pihak ketiga.

Hariadi juga sebutkan soal peningkatan akses dan pemulihan hak adat dan lokal lewat program perhutanan sosial termasuk hutan adat dan reforma agraria, sejak 2015 jadi program prioritas Presiden Joko Widodo. Dengan program itu, katanya, diharapkan jadi jalan keluar atas masalah-masalah sebelumnya.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Sumatera Barat, katanya,  tercatat dari kawasan hutan negara untuk reforma agrarian 122.446 hektar dan perhutanan sosial 776.713 hektar. Program ini, katanya,  dapat disebut sebagai bentuk koreksi pengelolaan sumberdaya hutan masa lalu yang tak adil—dengan alokasi untuk usaha besar dan masyarakat lokal dan adat berbanding 94:6. Ia juga koreksi, katanya,  atas bentuk pengelolaan hutan represif dan tak partisipatif.

 

Cagar alam masih penunjukan

Hariadi juga menjabarkan soal Cagar Alam Maninjau Di Labuah Usang Jorong Muko-Muko, Kenagarian Koto Malintang, masih penunjukan. Hal ini, katanya, berdasarkan penjelasan Ilyas Asaad, MP, staf  Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Pusat, KLHK, yang menyatakan, kawasan hutan ini masih status ditunjuk, belum ditetapkan.

Dengan pengertian dan kebijakan penetapan kawasan hutan, katanya, walaupun dengan fungsi cagar alam, seperti kasus ini, apapun statusnya—masih ditunjuk atau sudah ditetapkan—mungkin ada hak-hak pihak ketiga.

“Keberadaan klaim pihak ketiga itu belum diselesaikan. Artinya, kawasan hutan pada lokasi dimana terdakwa melakukan penebangan pohon, belum sah sebagai kawasan hutan negara.”

Jadi, lewat Amicus Curiae ini, katanya, terdakwa yang dituntut karena tindak pidana perusakan hutan, sebaiknya secara hati-hati antara lain mempertimbangkan beberapa hal berikut. Pertama, status kawasan hutan yang disebut sebagai Cagar Alam Maninjau di Agam, pada status level apapun—baru ditunjuk atau sudah ditetapkan, masih terbuka bagi pelaksanaan klaim masyarakat atas haknya.

Masyarakat, katanya, termasuk kedua terdakwa, tak dapat dipastikan memasuki dan melakukan tindakan ilegal, karena penetapan kawasan hutan negara belum pengukuhan dengan mewujudkan dua hal sekaligus, yaitu sah/legal dan diakui legalitasnya oleh masyarakat (legitimate).

Kedua, dalam pembahasan RUU yang kini jadi UU P3H yang dahulu dia ikuti, maksud UU ini untuk menguatkan peran UU Kehutanan, terutama dalam pencegahan dan penindakan perusakan hutan oleh pelaku-pelaku besar. “Bukan oleh masyarakat lokal dan, atau adat.”

Hal itu, katanya,  ada dalam rumusan Pasal 1 angka 6 mengenai kata “terorganisasi” yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas dua orang atau lebih, dan bertindak bersamasama pada waktu tertentu dengan tujuan perusakan hutan. Ia tak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan atau penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tak untuk tujuan komersial.

Dengan begitu, katanya, penggunaan UU P3H bagi kedua terdakwa, tak sesuai jiwa dan tujuan UU itu ketika tak dapat membuktikan mereka mempunyai jaringan untuk memperdagangkan pohon tebangan. Juga hasil untuk menumpuk kekayaan dalam jumlah signifikan.

Kemudian, kata Hariadi, mengacu pada penilaian Kalpataru pada 2013, ada pengakuan masyarakat hukum adat Nagari Koto Malintang diwakili Nazaruddin Datuk Panglimo dengan kategori perintis, diserahkan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara. Penilaian itu, katanya,  menunjukkan masyarakat mampu sebagai penjaga hutan Nagari Koto Malintang berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal.

Penebangan kayu di Nagari Koto Malintang ini, baik di dalam hutan ulayat maupun pemilikan masyarakat berlaku aturan adat dengan syarat hanya untuk kebutuhan sendiri dan tak diperjualbelikan. Pengaturan masyarakat adat ini, katanya,  pernah mendapat penghargaan Wana Lestari, tahun 2014.

“Pengaturan demikian itu setara pengaturan manajemen hutan cara scientific forestry yang dilaksanakan pemerintah. Bedanya,  pengaturan berdasarkan scientific forestry melalui ketentuan UU, lebih menerapkan kontrol ketat karena rendahnya kemampuan pengawasan, hingga menebang pohon di kawasan konservasi dilarang. Sedangkan aturan adat, menebang pohon boleh dengan syarat-syarat tertentu dan dilaksanakan lewat prosedur tertentu yang bisa dikontrol langsung,” ujar dia.

Kedua pengaturan baik UU maupun adat, katanya, juga serupa dengan fokus mempertahankan daya dukung keseluruhan agar terpelihara. Jadi, katanya, ketika aturan adat membolehkan menebang pohon, tak semata-mata disalahkan hanya karena tak sejalan dengan pendekatan scientific forestry yang umumnya jadi dasar penetapan isi UU.

Hariadi berharap, Amicus Curae ini jadi pertimbangan hukum dengan memperhatikan aspek-aspek kebijakan maupun perbaikan manajemen pengelolaan hutan yang kini sudah dan sedang dilaksanakan.

“Dengan mengutamakan terwujudnya keadilan, peningkatan akses manfaat, maupun didaya-gunakan aturan adat yang berkembang di masyarakat sebagai penguatan pengelolaan kawasan hutan.”

 

Foto utama: Lokasi penebangan kayu di tanah ulayat milik Aslinda, istri Agusri Masnefi. Di sini Erdi Dt. Samiak (60) ditangkap petugas Balai Konservasi Sumbar Daya Alam (BKSDA) beserta polisi dari Polres Agam. Foto: Vinolia. Mongabay Indonesia

 

Kedai yang akan dibangun untuk berjualan sate di pinggiran Danau Maninjau. Kini, pondok kedai terbengkalai karena pemiliknya Agusri Masnefi masuk bui karena menebang kayu di tanah ulayat milik adat istrinya. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version