Mongabay.co.id

Tanpa Induk, Anak Orangutan Ini Diserahkan Warga ke BKSDA Aceh

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menerima serahan satu individu orangutan sumatera (Pongo abelii) dari warga Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, Kamis (15/3/2018). Saat diserahkan, kondisinya cacingan, malnutrisi, dan tangan kiri luka.

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, tepat peringatan Hari Bakti Rimbawan ke-35 pada 16 Maret 2018, anak orangutan tersebut dibawa ke kantor BKSDA Resort Langsa.

“Selanjutnya, kami serahkan orangutan jantan usia dua tahun itu ke YOSL-OIC (Yayasan Orangutan Sumatera Lestari- Orangutan Information Centre) untuk dibawa ke pusat rehabilitasi orangutan sumatera di Sibolangit, Sumatera Utara. Di sana akan dilakukan pengobatan dan akan diliarkan kembali,” ujarnya, Minggu (18/3/2018).

Sapto mengakui, saat ini masih terjadi perburuan orangutan di beberapa tempat di Aceh, khususnya dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Selain itu, maraknya alih fungsi hutan untuk lahan perkebunan juga telah menimbulkan konflik antara orangutan dengan manusia.

“Saya menduga, sebagian besar anak orangutan yang diserahkan warga itu hasil perburuan. Induk orangutan tidak mungkin meninggalkan anaknya yang masih kecil. Yang lebih menyedihkan, jika pemburu mengambil anak orangutan, induknya harus dibunuh.”

Baca: Strategi Konservasi Orangutan Harus Perhatikan Segala Hal, Mengapa?

 

Inilah anak orangutan sumatera yang diserahkan warga Aceh Timur ke BKSDA Aceh. Foto: Mukhlis/Forum Konservasi Leuser

 

Sapto menambahkan, pembukaan hutan untuk perkebunan juga telah mempersempit habitat orangutan di Aceh. “Banyak orangutan yang terperangkap, lalu dievakuasi ke hutan lain akibat tempat hidupnya berubah menjadi kebun.”

Tezar Fahlevi, Manager Regional 1 Forum Konservasi Leuser mengatakan, sebelum diserahkan ke BKSDA Aceh, warga tersebut terlebih dahulu menghubungi ranger FKL. “Warga itu mengatakan, menemukan anak orangutan yang terpisah induknya di hutan.”

Karena masih kecil dan sendiri, ranger menyarankan agar orangutan malang itu diserahkan saja ke mereka untuk selanjutnya diberikan ke BKSDA Aceh. “Kami langsung menghubungi BKSDA Aceh di Langsa terkait temuan ini,” tutur Tezar.

Baca juga: Sri Suci Utami Atmoko, Sang Konservasionis Orangutan Sejati

 

Anak orangutan sumatera ini tidak memiliki induk lagi. Saat diserahkan ke BKSDA Aceh kondisinya malnutrisi dan tangan kirinya terluka. Foto: Mukhlis/Forum Konservasi Leuser

 

Habitat rusak

Sebelumya, pada 15 Februari 2018, petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Resort Kutacane bersama YOSL-OIC juga menerima satu anak orangutan sumatera dari warga Desa Suka Rimbun, Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara.

“Anak orangutan tersebut ditemukan oleh peneliti orangutan Dr. Sri Suci Utami Atmoko saat berkunjung ke Stasiun Riset Ketambe, Aceh Tenggara. Ketika dia berbincang dengan warga, ada warga bernama Darwin yang mengaku melihat anak orangutan di kebunnya,” tutur Sapto.

Mendapatkan informasi tersebut, Suci menghubungi YOSL-OIC dan BKSDA Resort Kutacane. “Anak orangutan jantan dua tahun itu, stres dan tidak mau makan. Akan butuh waktu untuk mengobati luka, trauma dan juga melatihnya untuk hidup liar di alam,” jelasnya.

 

Orangutan sumatera ini dievakuasi dari kebun masyarakat Desa Ujung Padang, Kecamatan Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, oleh tim YOSL-OIC beberapa waktu lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur YOSL-OIC, Panut Hadisiswoyo menyebutkan, evakuasi orangutan bukanlah solusi jangka panjang. Konflik orangutan dengan masyarakat akan terus terjadi jika habitat satwa dilindungi ini dirusak.

“Memindahkan orangutan dari satu tempat ke tempat lain bahkan ke dalam hutan lindung atau konservasi pun, hanya solusi sementara. Bila hutan yang menjadi habitat orangutan terus dirusak, konflik tetap berulang.”

Panut menjelaskan, saat ini orangutan di Aceh maupun Sumatera Utara, tidak hanya hidup di dalam kawasan konservasi, tetapi juga ada di hutan lindung, areal penggunaan lain. Bahkan, di hutan produksi terbatas.

“Orangutan tidak mungkin terus dievakuasi, selain sangat berisiko, juga akan memadatkan populasi orangutan di satu wilayah. Pada akhirnya, akan kembali turun ke hutan yang telah berubah menjadi areal perkebunan.”

Terisolirnya orangutan dimanfaatkan juga oleh para pemburu untuk menangkap atau membunuhnya. Hal ini lebih mudah dilakukan ketimbang mencarinya di hutan. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, sekitar 60 individu orangutan telah kami selamatkan dari hutan yang telah berubah jadi kebun, maupun yang dipelihara masyarakat. “Dari jumlah itu, sekitar delapan individu tidak dapat dilepasliarkan kembali karena cacat,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version