Mongabay.co.id

Tata Batas Wilayah Kacau, Petani Rio Pakava Makin Terhalau (Bagian 2)

Konflik tata batas wilayah, memperumit kehidupan petani di Kecamatan Rio Pakava, Donggala, Sulteng. Nasib warga makin tambah sulit terjadi konflik lahan dengan pemodal, seperti perusahaan sawit Astra. Foto: Sapariah Sawit/ Mongabay Indonesia

 

Petani menuding perusahaan sawit, PT Mamuang, menebang kakao milik mereka begitu tanpa ganti rugi. Setelah itu, mereka  diborgol dengan tuduhan pencurian buah sawit. Penebangan kakao milik masyarakat terjadi dari 2001 hingga 2003, sekitar 1.750 hektar.

“Kapolsek Rio Pakava saat itu Pak Taufik. Mereka menyaksikan bagaimana oknum Brimob datang membawa senso dan menebang kakao kami,” kata Jupri, petani Polanto Jaya, Rio Pakava, Banggai, Sulawesi Tengah.

Baca juga: Nestapa Petani Polanto Jaya di tengah Ekspansi Kebun Sawit Astra (Bagian 1)

Warga bingung hendak melaporkan kejadian itu kemana. “Orang perusahaan bilang pada kami, kalian mau melapor kemana?”

Abdul Haris, Direktur Walhi Sulteng mengatakan,  kasus empat warga Polanto Jaya dengan anak perusahaan Astra ini sudah berlangsung lama. Pada 2004, Mamuang bersama oknum Brimob diduga membuka lahan dan menebang kakao warga transmigrasi. Kala itu, katanya, diduga terjadi intimidasi petani agar menyerahkan lahan pada perusahaan.

Dari cerita,  warga sudah berulang kali menggugat dan melaporkan kejadian yang mereka alami, tetapi tak ada penyelesaian.

Desa-desa yang sedang berkonflik dengan perusahaan sawit adalah Polanto Jaya, Kecamatan Rio Pakava (Sulawesi Tengah) dan  Kabuyu, Kecamatan Mertasari (Sulawesi Barat).

Jufri mengatakan, membawa kasus pada pihak berwenang dengan harapan mendapatkan keadilan.  “Saya sudah mengadu kemana-mana, termasuk melapor ke Polda Mamuju,  tetapi tak ada jawaban,” katanya.

Belum ada lembaga negara yang memihak mereka.  Berbeda kala perusahaan yang mengadukan warga, hukum pun berjalan.

Ali, Manager Community Development PT Mamuang, kala Mongabay konfirmasi membantah tudingan kriminalisasi petani. Dia bilang, tak ada pilihan lain bagi Memuang untuk membuktikan kepemilikan lahan selain jalur hukum.

“Kami menyayangkan bahasa kriminalisasi yang dimuat beberapa media, seolah-olah ada konspirasi antara penegak hukum dengan perusahaan. Bahasa seperti ini justru makin memperkeruh keadaan,” katanya.

Upong alias Jufri, katanya, tak punya lahan di afdeling hotel itu. Yang punya hak klaim lahan,  katanya, Suparto dan Sikusman. Dia berdalih,  lahan sengketa HGU Mamuang bukan area transmigrasi.

“Upong dan kawan-kawan sudah memperaperadilkan kasus ini di Polres Mamuju Utara, tapi mereka kalah,” katanya.

Mamuang memiliki informasi, petani telah berinisiatif panen sawit berkali-kali. Catatan Mamuang 2018, katanya, dalam satu bulan mereka tiga kali panen sejak 2016.

“Sebetulnya kami sudah pendekatan dan komunikasi. Jalur hukum ada opsi terakhir setelah mereka ngotot panen sawit,” katanya.

Dia mengimbau, pada petani duduk bersama mencari solusi.

“Mari kita ikuti proses hukum. Jangan kita dibilang menindas petani. Biarkan pengadilan membuktikan siapa yang berhak atas tanah. Kalau pengadilan putuskan lahan hak petani, kami legowo,” katanya.

 

Karolus Kolo, petani transmigrasi Desa Polanto Jaya yang datang memberi solidaritas. Foto: Andika Dhika/ Mongabay Indonesia

 

Korban jadi tersangka

Konflik dengan Mamuang, juga dialami Frans, petani Desa Panca Mukti. Bedanya, kasus Frans, karyawan perusahaan yang datang panen sawit di lahannya. Frans,  marah. Rudi,  manajer panen perusahaan diparangi Frans,  tetapi kena setir dan kepala motor.

Menurut Frans, letak kebun mereka di Desa Panca Mukti, diolah sejak 2000. Awal buka lahan, mereka tanam padi, jagung, dan kedelai.

Pada 2003, baru tanam sawit, lanjut  2005, hingga 2011 sampai akhir 2017.

Tepatnya, pada 27 april 2017, perusahaan datang memanen sawit milik Frans tanpa memberitahu dulu. Frans spontan menghalangi karyawan perusahaan dengan sebilah parang.

“Kami pertanyakan, kami mengolah lahan itu dengan tanam sawit sudah lama. Perusahaan datang 2006 dan mengolah sawit di depan kebun saya. Herannya, kenapa 2017, tiba-tiba lahan kami jadi milik Mamuang?”

 

Tata batas kabur

Tesis Mohamad Arif, mahasiswa pascasarjana Universitas Gajah Mada (2006), menyatakan, pusat sengketa batas antara Sulawesi Tengah dan Barat,  yakni Desa Ngovi dan Dusun Mbulawa (Desa Bonemarawa). Wilayah ini dibina Pemerintah Donggala.

Secara yuridis formil berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Tahun 1991 soal penegasan garis batas wilayah, kedua desa dan dusun masuk Kecamatan Pasangkayu, Mamuju (kini Mamuju Utara), Sulawesi. Kondisi ini, katanya, menimbulkan konflik batas antarkedua daerah.

Dalam tesis berjudul Konflik batas daerah :Studi kasus Konflik batas daerah antara Provinsi Sulawesi Tengah dengan Provinsi Sulawesi Barat pada lokasi Desa Ngovi dan Dusun Mbulawa Desa Bonemarawa,” sedikitnya Arif menemukan empat akar masalah konflik

Pertama, konflik batas daerah muncul sebagai akibat kebijakan penataan batas daerah berdasarkan Kepmendagri No. 52 Tahun 1991 terutama setelah pemasangan tugu /patok batas pada perbatasan antara Donggala dengan Mamuju yang kurang melibatkan masyarakat setempat.

Kedua, antara pemerintah sudah membahas soal tata batas ini. Pola-pola intervensi terhadap kasus Desa Ngovi dan Dusun Mbulawa (Desa Bonemarawa) diupayakan Pemerintah Sulteng bersama Donggala juga Pemerintah Sulsel dan Pemerintah Mamuju. Departemen Dalam Negeri juga terlibat memediasi penyelesaian konflik batas ini. Beragam upaya ini belum membuahkan hasil bagi kedua pihak. 

Ketiga, sosialisasi batas daerah kepada masyarakat Ngovi dan Mbulawa sesuai Kepmendagri No. 52 Tahun 1991 tetapi tak dapat diterima masyarakat. Mereka bertahan kalau wilayah desa dan dusun adalah Kabupaten Donggala.

Keempat, dengan terbentuk Sulbar, upaya pemerintah Sulteng dalam penyelesaian konflik batas yang telah terbangun dengan Pemerintah Sulsel, harus mulai lagi dengan Pemerintah Sulbar.

Anwar Ali, Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Rio Pakava mengatakan, di perbatasan itu beberapa desa berada di Sulteng, misal, Desa Mamuang, Pancamukti, Batas Desa Panca Mukti merupakan pecahan Desa Lalundu V.

Dulu, katanya, tanah adat milik masyarakat Kaili Tado yang jadi perkebunan sawit. Lokasi sekarang areal perkebunan sawit, adalah lintas batas antara Sulteng dengan Sulbar.

Kata Anwar, kalau merujuk pada batas teritorial berdasarkan Permen tahun 1991 wilayah Sulteng yang dicaplok Sulsel adalah Desa Panca Mukti– masuk administrasi Kecamatan Rio Pakava.

 

Kondisi kebun sawit di Polanto Jaya. Foto: Walhi Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2017,  kata Anwar, usulan tata batas baru sudah disetujui menteri, tetapi belum ada penetapan.

Thamrin, Camat Rio Pakava mengatakan, berdasarkan SK Gubernur Nomor. 144/031/RO/Pemdes Tahun 1999 tentang penetapan enam desa unit transmigrasi jadi desa defenitif, termasuk Rio Pakava, Desa Panca Mukti, ada 331 keluarga atau 1.378 jiwa.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Bone Marawa, Selatan Desa Lalundu, Timur berbatasan Jalan Usaha Tani, Barat berbatasan dengan kebun sawit Mamuang.

Menurut Thamrin, berdasarkan SK Gubernur Sulteng, soal perbatasan antara Mamuang dengan kebun Frans alias Hemsi, dan keempat warga lain, seharusnya hukum yang berlaku di Donggala.

Bagi Thamrin, peristiwa di Desa Panca Mukti, pada patok 23 tapal batas Sulteng dengan Sulsel, sekarang Sulbar.

Karolus Kolo petani transmigrasi mengatakan, Desa Rio Mukti bagian Donggala masuk wilayah administrasi Rio Pakava. Sebelumnya, Rio Mukti bernama transmigrasi Lalundu IV, pada 1999 jadi desa defenitif. Jumlah transmigrasi 400 keluarga, pada 2006, sebagian lahan masuk HGU Mamuang.

“Tidak ada batas defenitif yang disepakati kedua pihak membuat dalam zona lintas batas jadi tak jelas. Mereka secara administrasi terdaftar sebagai warga Sulteng dibuktikan dengan KTP, bukti pembayaran PBB serta daftar pemilih tetap,” kata Karolus.

I Wayan Sucana  Kepala Desa Mertasari, Kabupaten Mamuju Utara mengatakan, Mertasari terdiri dari 10 dusun, perusahaan Mamuang terdaftar di Desa Mertasari karena pengurusan surat-surat selalu berhubungan.

“Desa Mertasari berbatasan dengan Gunung Sari dan Lalundu. Saya masuk Mertasari pada 1987 saat itu belum sebagai desa, masih Desa Pasang Kayu.”

Kala sidang sebagai saksi 27 Februari 2017, Wayan  mengatakan, penduduk asli yang menghuni desa adalah Suku Tado. Transmigrasi masuk pada 1999.

“Kalau kita merujuk pengurusan administrasi kependudukan, wilayah afdeling Charli milik Mamuang masuk Desa Mertasari,” katanya seraya bilang, hingga kini belum lihat batas ril teritorial antara Sulbar dengan Sulteng.

Batas wilayah tak jelas menciptakan kekerasan berulang dialami petani di Rio Pakava terutama warga transmigrasi sejak mereka datang pada 1991. Mereka hidup seperti dalam arena jebakan yang tak bisa keluar dari ancaman kekerasan dan kemiskinan.

Oknum Brimob datang teriak-teriak di jalan. Mereka tanya kalian punya bukti apa tentang kepemilikan tanah? Saya mengambil dokumen surat-surat tanah dan memperlihatkan dengan maksud sebagai bukti, salah satu oknum Brimob merampas dokumen dari tangan saya. Yang lain menyergap saya dibuang ke atas mobil truk pasukan,” cerita Suparto, petani transmigrasi.

Pemekaran Sulbar jadi awal petaka bagi petani transmigrasi karena tak jelas status politik perbatasan. Patok teritorial yang jadi monumen batas alam antara Sulteng dan Sulbar semasa masih jadi Sulsel, hanya dari tugu coran yang dapat dipindahkan kapan saja.

Menurut Jufri,  penganiayaan dan kekerasan terhadap petani berulang. Anehnya, setiap penangkapan warga selalu dibawa ke Polres Mamuju Utara.

“Kami heran, kami ini warga Rio Pakava Donggala Sulteng, bertani dan berkebun di lahan sendiri tapi ditangkap dituduh pencuri, disidang dan dipenjarakan di Mamuju Utara, Sulbar.”

Kamis 14 Desember 2017, sekitar 50-an warga Desa Polanto Jaya aksi solidaritas di Pengadilan Negeri Pasang Kayu, Mamuju Utara, Sulbar. Warga bersama istri dari keempat tersangka protes.

Warga menuntut, keempat petani dibebaskan. Masyarakat menuding terjadi rencana jahat mengakibatkan keempat petani dikriminalisasi.

“Negara membiarkan proses hukum tak adil dengan tuduhan tak sah terhadap keempat petani. Kami berharap, hakim di pengadilan jernih melihat kasus ini,” kata Abdul Haris.

Dalam aksi itu, istri para tersangka membacakan surat kepada Presiden Joko Widodo.

Massa datang membawa spanduk dan pamflet.  “Bebaskan empat petani Polanto Jaya yang dikriminalisasi.”  “Kembalikan Tanah Rakyat Yang dirampas Astra!”

Peristiwa ini mendapat simpati Wakil Ketua Komisi III DPRD Sulteng, Muhammad Masykur. Dia mengecam penangkapan dan penahanan warga Desa Polanto Jaya ini.

“Di sini bisa dilihat kejanggalan aparat Polres Mamuju Utara, yang ditangkap dan ditahan warga Donggala, perkara juga di Donggala, kelihatan keperbihakan polisi kepada siapa?” ucap Masykur.

Masykur juga akan mempermasalahkan Polres Mamuju  Utara yang menetapkan tersangka masyarakat Sulteng.

“Sebab ini soal etika kepolisian yang harus dijunjung tinggi, tidak boleh semena-mena begitu,” kata Masykur.

 

***

PT Lestari Tani Teladan (LTT) adalah pionir anak usaha Astra Group yang mendapatkan hak kelola perkebunan sawit di lintas batas, tepatnya Desa Taviora,  Kecamatan Rio Pakava.

Hak itu terbit oleh BPN, Nomor 47/HGU/BPN/1994, Kabupaten Donggala dengan luas lahan 6.254, 325 hektar.

Sedangkan Mamuang membuka perkebunan sawit di Mamuju Utara pada 1988 dengan konsesi 10.715 hektar.

HGU milik Mamuang terbit di Desa Merta Jaya sekitar 25 kilometer dari Desa Polanto Jaya. Selain Mamuang, anak perusahaan Astra lain, PT Pasang Kayu konsesi 9.300 hektar, PT Letawa 6.771 hektar diterbitkan Pemerintah Sulbar.

Mamuang, satu-satunya perusahaan yang tak memiliki pabrik minyak sawit mentah. Ketiga perusahaan lain, yakni Lestari Tani Teladan, Pasang Kayu dan Letawa telah membangun pabrik minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Budi Sarwono,  Manager Community Development Area Sulawesi Astra Group mengatakan, Astra masuk Mamuju Utara,  pertama 1993. Astra survei pertama 1988 dan land clearing serta pembibitan maupun land clearing pada 1989.

Pada 1990,  mulai penanaman. Peta lampiran rekomendasi HGU keluar pada 1994.  Seluruh konsesi HGU Mamuang berada di Sulbar. Sementara PT Letawa mendapat areal pelepasan lahan di area perbatasan Sulteng.

“Dulu akses transportasi masuk sangat buruk kami naik taksi sedan ke Donggala. Dari sana melanjutkan naik perahu tempel ke Pasang Kayu. Dulu,  kehidupan di situ hanya sekitar kawasan pesisir, seperti di Bambalamotu, dan Pasang Kayu.”

Menurut Budi, perusahaan Astra di lintas batas itu jadi asal mula kehidupan. Daerah itu, katanya, dulu hanya hutan rawa dengan kedalaman air hingga dua meter.

“Dulu,  itu habitat buaya, sekarang orang dari berbagai macam berdatangan ke sana setelah perusahaan memberikan hasil pada petani,” ucap Budi.

Budi menyampaikan, Program Kemitraan Astra Group Income Generating Activity (IGA) telah memberikan nilai kesejahteraan besar bagi warga Mamuju Utara.

“Pola kemitraan kami bernama IGA dengan konsep bibit dan penyuluhan bersumber dari perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak tanpa bunga berakhir 2008. Setelah selesai proses itu, lahan binaan disebut dengan Kebun Mandiri masyarakat membeli bibit sendiri. Mereka inilah mitra strategis dalam memasok bahan baku untuk kebutuhan CPO.”

Data 2018, kebun mandiri,  kemitraan Astra Group terbagi atas binaan Lestari Tani Teladan 1.543 hektar, Letawa 6.771 hektar, Pasang Kayu, 4.453 hektar, dan Mamuang 1.019 hektar.

Setiap bulan, katanya, hasil kebun mandiri petani mitra masing-masing, Letawa Rp30 miliar, Pasang Kayu antara Rp17-Rp20 miliar.

Abdul Haris, Direktur Walhi Sulteng mengecam Astra Agro Lestari (Astra) lantaran terus memperluas perkebunan sawit mereka.  Kondisi ini, katanya, memicu ketidakadilan petani makin panjang.

Walhi Sulteng 2017,  mencatat, Astra kuasai HGU 111.304 hektar dari perkebunan sawit 713.217 hektar. Astra Agro Lestari menduduki posisi teratas kuasai perkebunan sawit di Sulteng.

Ironinya, potret buruk pengelolaan perkebunan sawit mendapat legitimasi dari negara, baik pemerintah pusat, maupun daerah. (Selesai)

 

Foto utama: onflik tata batas wilayah, memperumit kehidupan petani di Kecamatan Rio Pakava, Donggala, Sulteng. Nasib warga makin tambah sulit terjadi konflik lahan dengan pemodal, seperti perusahaan sawit Astra. Foto: Sapariah Sawit/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version