Mongabay.co.id

Dugaan Suap Proyek Jalan Wali Kota Kendari, ICEL: Gali Juga ke Perkara Lingkungan

Jalan lingkar yang dibangun di tengah laut, pesisir Pulau Bungkuroko, Kendari, Sulawesi Tenggara. Jalan ini membentang di tengah laut sepanjang tiga kilometer. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesa

 

Duapuluh delapan Februari lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Asrun,  mantan Wali Kota Kendari, juga kandidat Gubernur Sulawesi Tenggara, bersama puteranya, Adriatma Dwi Putra,  selaku Wali Kota Kendari saat ini.

Keduanya terjaring operasi tangkap tangan KPK, dan digelandang ke Mapolda Sultra, sebelum dibawa ke Jakarta. KPK menyebutkan, mereka terjaring karena diduga terlibat suap pengadaan barang dan jasa dalam penuntasan jalan outer ring road, proyek era Arsun, mulai pencanangan pada 2015.

KPK merilis Adriatma Dwi Putra selaku wali kota diduga terima suap Rp2,8 miliar dari pengusaha bernama Hasmun Hamzah, selaku Direktur PT Sarana Bangun Nusantara (SBN). Perusahaan ini dalam laman website LPSE Kota Kendari disebutkan sebagai pemenang lelang proyek Jalan Bungkutoko menuju Pelabuhan Kendari New Port.

Hariman Satria,  dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Kota Kendari mengatakan, kasus Adriatma dan Asrun menggambarkan, nafsu politik bisa menjebak pejabat berperilaku korup.

Data Pukat Kendari menemukan,  ada 20% korupsi di Sultra terjadi pada pengadaan barang dan jasa. Penyebabnya, kata Hariman karena dalam proses lelang walaupun menggunakan media elektronik tetap yang berperan manusia.

“Yang bisa disuap dan diarahkan oleh kepala daerah. Ini sering terjadi mulai proyek anggaran kecil sampai besar, itu diatur,” katanya.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai kasus ayah anak ini mestinya terjerat kasus kejahatan lingkungan. KPK, katanya, jangan hanya berhenti pada delik korupsi atau suap semata.

Henri Subagiyo,  Direktur Eksekutif ICEL, mengatakan, KPK bisa menggunakan kewenangan masuk pada penegakan hukum lingkungan hidup kepada kasus ini. Sebab, proyek pembangunan jalan lingkar yang harus mereklamasi laut dan menerobos hutan merupakan gambaran pemerintah mengabaikan aturan administrasi lingkungan.

“Itu kan kasusnya ada mereklamasi laut kemudian menerobos hutan, ini bisa jadi rujukan atau masukan untuk KPK agar menggali lebih dalam apakah suap pada OTT mereka ada kaitan agar proyek itu bisa menabrak aturan-aturan lingkungan,” katanya melalui pesan elektronik.

Dia meminta,  KPK membuka semua dokumen-dokumen pekerjaan pada kasus yang menjerat Adriatma dan Asrun. Kalau tak ditemukan dokumen lingkungan seperti analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) maupun kajian lingkungan lain, katanya, bisa mengindikasikan kasus suap berujung tangkap tangan guna melegalkan proyek walaupun tak ada dokumen lingkungan.

“Pemerintah bisa ditanya mana dokumen lingkungannya? Kan jelas dalam  UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jika tidak ada dokumen kajian lingkungan, bisa kena pasal dari kedua UU itu.”

 

Proyek-proyek infrastruktur era Asrun dan Adriatma

Kota Kendari, Sultra, sedang membangun banyak proyek infrastruktur. Di Pulau Bungkutoko, Kecamatan Abeli, Kota Kendari, ada pembangunan pelabuhan bertaraf internasional.

Pada 2015, pemerintah pusat melalui PT Pelindo IV membangun Kendari New Port, atau dikenal dengan Pelabuhan Kontainer Bungkutoko.

Hingga kini, pembangunan pelabuhan terus digenjot. Tercatat 90% pekerjaan selesai. Pelindo merinci awal 2019,  pelabuhan ini bisa beroperasi dan akan diresmikan Presiden Joko Widodo.

Di tengah pembangunan pelabuhan itu, Pemerintah Kota Kendari juga mengambil peran dan menyatakan dukungan dengan membangun beragam proyek infrastruktur di sekitar pelabuhan.

Ada beberapa peningkatan jalan lingkar dalam (JLD) 30 kilometer, jalan lingkar luar atau outer ring road (ORR) 40 kilometer, dan pengembangan Kawasan Pelabuhan Bungkutoko sekitar lima hektar.Juga ada bangun Jembatan Talia 130 meter ke Pulau Bungkutoko, pembangunan Jalan Rute Nambo-Kendari New Port dan Jalan Bungkutoko-Kendari New Port. Seluruh proyek termasuk jalan lingkar, menghabiskan dana Rp313 miliar yang dikerjakan tahun jamak.

“Ini pengembangan kawasan Pelabuhan Kontainer Bungkutoko,” kata Asrun, kala masih Wali Kota Kendari, Februari 2015 dikutip dari Jawapos.

Asrun merealisasikan beragam rencana pembangunan infrastruktur itu. Proyek-proyek itu sudah berjalan, bahkan diresmikan akhir 2017. Walau sebenarnya jalan-jalan yang menghubungkan wilayah dalam Kota Kendari menuju Pelabuhan Kendari New Port,  belum semua rampung.

Asrun mengatakan,  kehadiran jalan lingkar luar dan lingkar dalam serta beberapa ruas jalan baru untuk mengurai kemacetan di Kota Kendari masa mendatang. Selain itu juga menunjang moda transportasi tujuan Pelabuhan Bungkutoko atau Kendari New Port.

 

Pemukiman warga di Pulau Bungkutoko. Sejak pembangunan pelabuhan di pulau ini, Pemerintah Kota Kendari era Wali Kota Asrun, mulai membangun infrastruktur pendukung, yang berlanjut ke era anaknya, yang menjadi wali kota. KPK menangkap mereka terduga terkait kasus suap proyek jalan ini. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Timbun laut dan terobos hutan

Dalam percepatan pembangunan infrastruktur, kiprah Asrun ternyata menyisakan duka bagi masyarakat. Salah satu, pasangan Mahrudin dan Nurhaerati yang hidup sebagai nelayan.

Warga Kelurahan Bungkutoko ini, kini tak lagi bisa ke laut dan harus mencari pekerjaan lain. Sebagian waktu, mereka terpaksa hanya berdiam diri di rumah berukuran 3×4 meter lantaran pengembangan proyek itu.

Laut yang membentang luas di samping rumah mereka tertimbun alias telah direklamasi untuk pembukaan jalan akses menuju Pelabuhan Bungkutoko.

“Kita lihat mi sendiri, sudah jadi daratan itu,” katanya kepada Mongabay, awal Maret lalu.

Mahrudin bilang, bukan hanya mereka berdua yang kehilangan tempat hidup, banyak nelayan Bungkutoko alami hal serupa. Sekalipun tak semua laut terkena reklamasi,  katanya, tetapi sangat mempengaruhi kebiasaan mereka.

Sedikitnya ada 5.000 jiwa mendiami kelurahan ini, sebagian besar nelayan. Kehadiran Pelabuhan Kendari New Port, sontak mengubah kehidupan mereka yang dulu nelayan, ke pekerjaan serabutan.

Dulu, di sekitar penimbunan ada kerambah-kerambah warga. “Hanya karena ditimbun untuk jalan orang memilih jadi pembubut kepiting,” katanya.

Warga, katanya,  bisa saja melaut tetapi dengan konsekuensi lebih jauh dan memerlukan biaya tak sedikit. Kata Mahrudin, kalau mau cari ikan harus keluar lagi ke Laut Banda dekat Pulau Saponda.

“Sebagian cari kerjaan lain, sebagian lagi kerja di Pelabuhan Bungkutoko,” katanya.

Di sekitar tempat tinggal Mahrudin, pemerintah mereklamasi laut seluas lima hektar dan membuat jalan sepanjang tiga kilometer dari Nambo menuju Kendari New Port.  Proyek reklamasi itu tepat di belakang rumah Mahrudin di Bungkutoko. Ada empat rukun tetangga di Kelurahan Bungkutoko di kelilingi reklamasi.

Proyek pembangunan jalan lingkar oleh Pemerintah Kota Kendari tak saja mengganggu kehidupan nelayan, hutan Nangananga juga diterobos. Kini, sepanjang 40 kilometer jalan lingkar luar mengular di dalam Hutan Nangananga. Di dalam hutan ini banyak kebun masyarakat.

Jalan itu,  dibuat untuk membuka akses jalan lingkar dalam dan luar seperti ruas pelabuhan Bungkutoko-Kantor Camat Abeli, Jalur Jalan Haluoelo-SMA 5 Kendari, Jalur Kantor Brimob-Pintu Gerbang Ranomeeto, dan Jalur Pintu Gerbang Ranomeeto-Pintu Gerbang Kecamatan Puuwatu.

“Ini kan tembus hutan, di sana itu ada berbagai macam tumbuhan warga, ada jati, jambu mete dan tumbuhan hutan liar lain. Iya memang diganti rugi,  tapi tidak sesuai,” kata La Rinda, warga Kelurahan Abeli. Tanah dia juga terpakai pemerintah untuk pembangunan jalan ini.

 

Suasana saat air laut surut tampak lumpur hasil reklamasi. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Kelanjutan proyek

Tahun lalu, Asrun, Wali Kota Kendari, meresmikan pemanfaatan jalan lingkar luar Kendari terpusat di Gerbang Ranomeeto Perbatasan Kota Kendari-Konawe Selatan.

Peresmian jalan lingkar luar ini mulai dari Gerbang Puuwatu Perbatasan Kendari dengan Konawe,  sampai Jembatan Bungkutoko,  Kecamatan Nambo, sepanjang 40 kilometer.

Dari panjang jalan itu, yang berfungsi 100% sepanjang 24 kilometer yakni ruas Pelabuhan Bungkutoko-Kantor Camat Abeli, Jalur Jalan Haluoelo-SMA 5 Kendari, Jalur Brimob-Pintu Gerbang Ranomeeto, dan Jalur Pintu Gerbang Ranomeeto-Pintu Gerbang Puuwatu.

Walau telah resmi akhir 2017, bukan berarti jalan lingkar sudah bisa digunakan umum. Sebagian jalur jalan lingkar menuju Pelabuhan Kendari New Port, tak bisa dilalui kendaraan. Rute begitu ekstrim dan mengancam keselamatan.

Masih banyak harus dilakukan pemerintah untuk menuntaskan proyek ini, seperti tanggul jalan, jembatan dan pengaspalan. Kala akhir masa jabatan Asrun,  menitipkan penyelesaian proyek itu kepada anaknya, Adriatma,  yang menjadi wali kota.

“Apa yang menjadi program pemerintah sebelumnya harus diselesaikan. Karena memang ini juga visi misi kami. Ring road itu harus dituntaskan sebagai penunjang pelabuhan,” kata Adriatma kepada sejumlah awak media di Kantor Gubernur Sultra, usai pelantikan sebagai wali kota lima bulan lalu.

Dari laman LPSE Kota Kendari akhir 2017 dan awal 2018,  ada beberapa proyek dilelang pemerintah kota untuk menuntaskan jalan lingkar.

Ada penyelesaian Jalan Kendari New Port menuju Nambo dengan tetap reklamasi, penuntasan Jalan Bungkutoko-Kendari New Port, dan penuntasan Jalan Lingkar rute Tobimeita Bungkutoko menuju Jalan Halu Oleo Polda Sultra.

Hingga kini,  beberapa proyek itu sebagian sudah berjalan sesuai waktu dan kontrak pemerintah maupun perusahaan pelaksana. Satu di antara proyek itu, yakni,  penuntasan Jalan Bungkutoko-Kendari New Port,  masih menunggu kontrak kerja Dinas Pekerjaan Umum Kota Kendari.

“Itu belum dikerjakan, PPK (pejabat pembuat komitmen-red) masih menyusun draf kontrak,” kata Mahmud Batubara, Plt Kadis Pekerjaan Umum Kota Kendari kepada Mongabay.

 

Foto utama: Jalan lingkar yang dibangun di tengah laut, pesisir Pulau Bungkuroko, Kendari, Sulawesi Tenggara. Jalan ini membentang di tengah laut sepanjang tiga kilometer. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesa

 

Hutan mangrove di pinggiran jalan lingkar di Pulau Bungkutoko. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version