Mongabay.co.id

Hasil Sawit Redup, Petani Arso Hidup Terlilit Utang Bank (Bagian 2)

Rumah petani sawit PIR I, tersegel bank. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Perusahaan sawit negara, PT PN II Arso nyaris bangkrut. Kondisi ini,  berimbas pada kehidupan petani sawit, tak hanya mata pencarian mereka tergerus bahkan hilang, sebagian terlilit utang bank hingga rumah atau kendaraan jadi sitaan. Mereka beralih mata pencarian. Ada yang berkebun buah-buahan, beternak sampai kerja serabutan. Miris, kala mereka mendapatkan penghasilan pun, ada yang langsung habis buat bayar cicilan utang.

Sunardi, warga PIR I Distrik Arso Kabupaten Keerom, Papua, mengatakan, kondisi mulai sulit, salah satu harga buah sawit turun drastis pada 2013 dan 2014.

“Petani langsung nol, tak dapat apa-apa. Akhirnya,  lama-lama macet, pabrik rusak, sampai sekarang tak jelas,” katanya.

Sunardi, salah satu warga transmigrasi yang didatangkan pemerintah pada 1986 untuk jadi petani di perkebunan sawit PTPN Arso. Satu rombongan dengan Sunarso, sekitar 100 keluarga lain. Mereka ada di PIR I bersama warga trans lokal.

Sunardi mendapat satu rumah, 0,25 hektar lahan untuk pekarangan 0,75 hektar lahan pangan, dan dua hektar kebun sawit.

Sebagai warga transmigrasi, katanya, kondisi di Arso saat itu sangat sulit. Dia bertekad bertahan demi mengubah nasib. “Kalau saya dulu kerja nomor satu. Kalau sawit bikin parit untuk aliran air, saya biasa ditaruh di depan. Sekarang mereka yang sudah jadi asisten semua saya kenal,” kata pria yang juga pernah jadi Ketua Paguyupan Masyarakat Jawa di Arso.

Ketekunan Sunardi hingga diangkat jadi ketua kelompok tani. Lahan ulayat di Arso yang nganggur juga dipercayakan kepada Sunardi untuk mengelola. Timbal balik berupa pembangunan rumah hingga pembayaran biaya sekolah anak-anak warga ulayat.

Ada puluhan hektar lahan sawit dikelola Sunardi dengan pendapatan sekitar Rp40-50 juta perbulan. Itu dulu, kini kondisi berbeda.

“Terakhir, sekitar tiga tahun lalu harga sawit turun. Saya rugi, saya langsung  drop. Tapi saya kembalikan lagi,  mungkin ini cobaan Tuhan,” katanya.

Sunardi lalu mulai membuka bengkel di rumahnya. Tanda-tanda bekas kejayaan masa sawit masih terlihat. Rumah batu berdiri kokoh dan ada ruko di sampingnya. Rumah itu berpagar besi dan terparkir satu mobil di halaman. Kini,  di dalamnya penuh sofa bekas dan beragam peralatan bengkel.

 

Sunardi tak lagi bertani sawit, salah satu beternak ayam. Uang jualan ayam bisa buat membayar cicilan kredit bank. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Di halaman belakang rumah, Sunardi juga bikin peternakan ayam. Sejak pendapatan sawit berkurang, dia segera beralih juga ke ternak ayam. Penghasilan ternak ayam inilah yang menyelamatkan Sunardi dari jerat bank. Dengan dua kali panen ayam sebulan, Sunardi mendapat sekitar Rp20 juta dan tidak serupiah pun dia terima.

“Yang jelas petani PIR ini kita ibaratkan tinggal mati. Ini sudah gelisah semua. Saya sendiri (mengalami). Saya paham betul. Orang–orang di PIR ini paling satu dua saja yang dulu memang belum terbebani dengan sawit. Yang lain itu, tak ada yang sehat. Semua ada urusan dengan bank.”

Selang dua rumah dari lokasi Sunardi, satu rumah kosong. Di pintu rumah tertempel segel Bank Mandiri atas tanah dan rumah.

Menurut Sunardi, dulu ketika masih ada pendapatan bagus dari sawit, warga memberanikan diri kredit di bank. Ada untuk biaya sekolah anak, beli kendaraan hingga membangun rumah dan tempat usaha. Ternyata,  kala hasil sawit lenyap, merekapun terlilit utang bank. Sunardi sendiri berurusan dengan bank untuk pembelian mobil.

Untuk bertahan hidup, warga kini beralih pekerjaan. Ada yang keluar dari PIR dan mencari lahan baru atau jadi pekerja perkebunan sawit di Arso Timur. Ada yang mengembangkan ternak sapi di kebun, tukang bangunan dan tukang ojek, ada juga yang menebang sawit berganti tanaman lain.

“Saya kasihan dengan teman-teman. Ada satu, gara-gara pengelolaan usaha tadi, karena bapak itu bikin ruko, kios. Sebenarnya  lahan banyak, karena sawit sudah tak ada dan dia sudah berurusan dengan bank, akhirnya tergerus. Sampai rumah juga disegel dua-duanya. Istri sakit dan akhirnya meninggal.”

Sunardi sering berdiskusi dengan teman-teman petani senasib membahas situasi ini. Minim respon berbagai pihak terkait soal kondisi petani sawit membuat Sunardi bingung.

Di PTPN II Arso, ada 1.800 keluarga mengelola perkebunan plasma dengan areal 3.600 hektar, sedangkan kredit koperasi primer anggota (KKPA) terdiri 1.500 hektar.

 

Kebun sawit PT PN II Arso, di Tami. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Masa tanam lagi, utang baru bagi petani?

Selain harga jatuh, persoalan utama di Arso adalah produktivitas sawit makin menurun. Kebun plasma masa tanam 1983 dan 1984, kini sudah 35 tahun. Padahal, usia  25-28 tahun seharusnya sudah harus tanam baru. Produksi tandan buah segar sudah berkurang.

Mudrika, bendahara koperasi petani di PIR II, mengatakan, rencana revitalisasi muncul sejak 2007. Kala itu, koperasi-koperasi petani sudah hancur. Karena ada rencana revitalisasi yang menyaratkan ada koperasi, mereka lalu membentuk koperasi bernama Koperasi Engkawa. Hingga kini, revitalisasi tak ada kejelasan, sedang petani kehilangan pendapatan.

“Kita punya pemahaman karena dari pusat juga menyediakan bantuan perhektar Rp25 juta. Kalau satu orang punya dua hektar berarti Rp50 juta bantuan itu. Kita hitung revitalisasi hasil sekitar Rp100 juta. Kan tinggal cari tambah Rp50 juta. Kalaupun kita harus utang Rp50 juta, tak terlalu berat,” katanya.  Di Koperasi Engkawa, sudah ada 70-an petani mengumpulkan sertifikat.

Petani di sini, kata Murdika, selain kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga terlilit utang karena kehilangan pendapatan. Sudah tiga rumah dan dua mobil tersita bank.

Hutapea, Ketua Asosiasi Petani Sawit Keerom memberikan pendapat. Dia beralasan, kendala revitalisasi karena data calon petani dan calon lahan (CPCL) hingga kini belum akurat. Banyak lahan sudah berpindah tangan. Ada juga sudah diagunkan di bank.

“Kalau ini (revitalisasi) dilaksanakan, berarti yang jadi jaminan koperasi  itu sertifikat. Itu semua tak lengkap. Itu permasalahannya.”

Guna agunan ke bank, kata Hutapea, harus cek berapa keperluan dana untuk mencabut kembali hingga bisa jadi sebagai jaminan revitalisasi. Dana itu, katanya,  bisa ditambahkan ke dalam kredit petani.

Upaya pengeceken sertifikat-sertifikat itu, katanya,  sudah pernah dilakukan di PIR I dan II, namun tak ada kelanjutan tanpa alasan jelas.

Dia bilang, animo petani merevitalisasi kurang. Situasi PTPN II Arso yang tak normal seperti pabrik sawit selalu rusak jadi salah satu penyebab. Antrian panjang di pabrik sawit hingga buah membusuk dan harga jatuh menjadi pengalaman buruk bagi petani.

Menurut Hutapea, kalau tak memberikan nilai ekonomi seperti dulu, lebih baik beralih ke komoditi lain. Petani KKPA, katanya, sudah banyak mengubah lahan ke tanaman lain.

Revitalisasi dia nilai belum jelas karena belum tahu pelaksana dan belum ada aturan teknis pelaksanaan.

Setelah pabrik berhenti beroperasi hampir satu tahun, kini mulai beroperasi lagi tetapi pasokan TBS petani makin berkurang. “Belum tentu masuk 100 ton per hari karena masyarakat sudah tak mau.Tenaga kerja juga sudah hamper tak ada karena beralih ke pekerjaan lain,” katanya.

Meskipun begitu, masih ada petani panen sawit. Biasa, petani yang punya mobil sendiri dan mampu membiayai pekerja.

Saat ini PTPN II bekerjasama dengan PT. Eka Karya, membeli TBS petani untuk masuk ke pabrik PTPN II. Hutapea bilang, PT. Eka Karya juga lambat membayar petani.

Wirya Supriyadi dari Jaringan Kerja Rakyat Papua (Jerat Papua) mengatakan, sebenarnya ada program revitalisasi pemerintah dari retribusi minyak sawit yang berada di bawah Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Namun, katanya,  yang mendapatkan alokasi dana dari sana justru perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan perkebunan sawit milik masyarakat hanya sisa.

“Banyak kebun sawit rakyat beralih ke perusahaan karena masyarakat terlilit utang tapi namanya tetap punya masyarakat.”

 

Salah satu rumah trans PIR I, yang masih ditempati. KFoto: Asrida Elisabet/ Mongabay Indonesia

 

Masih berharap revitalisasi?

Para petani pun berharap ada penyelesaian dari pemerintah, baik kabupaten, provinsi maupun pusat.

Soal rencana revitalisasi, Hutapea masih berharap kejelasan mulai CPCL, perusahaan pelaksana, teknis pelaksanaan hingga penyelesaian masalah sertifikat yang masih tertahan di bank.

Selain itu, katanya, utang petani untuk revitalisasi—dana dari pemerintah– mulai, pembersihan lahan, penanaman, perawatan sampai produksi, harus jelas dan transparan.

Hutapea juga meminta, pemerintah memutus rantai harga sawit yang rendah dengan mendirikan pabrik minyak jadi mini di Papua. “Masa kita panen sawit, kita kirim ke pabrik, kirim ke Sumatera sana, jadi minyak goreng kita beli lagi,” katanya.

Kebun sawit di Papua, katanya, sudah menyebar, seperti di Manokwari, Bintuni, Sorong, Nabire, Merauke, Jayapura, Sarmi, dan Keerom. Jadi, katanya, bisa ada satu regulasi, minyak-minyak sawit mentah diolah dan jadi minyak goreng maupun produk turunan di Papua.

Laurens Manis, Ketua Kelompok Tani di PIR II tak berniat revitalisasi. Sudah lama Laurens dan anggota kelompok berhenti mengelola kebun sawit. Mereka menggantung hidup dari budidaya pinang dan buah-buahan.

“Kelompok saya tak ada yang panen sawit lagi. Sekarang saya hidup dari pinang. Saya budidaya pinang sampai bisa kuliahkan anak. Sawit sudah lepas. Anggota yang lain sama juga. Ada yang pelihara ternak, ada yang lari kasi tinggal. Kalau sertifikat, namanya petani pada umumnya, sertifikat sudah tidur nyenyak di bank.”

Merespon kesulitan petani, Asisten II Setda Kabupaten Keerom

Hulman Sitinjak juga Ketua Tim Penyelesaian Masalah PTPN II Arso mengatakan, langkah pemerintah kabupaten, pertama, mendorong revitalisasi. Kedua, memastikan kontinuitas pengolahan TBS.

“Sebetulnya yang ditakutkan kontinuitas pengolahan TBS itu. Selain revitalisasi, bagaimana menjamin PTPN II  menerima produksi TBS dari masyarakat? Kalau bisa berjalan aman, nyaman dan berkelanjutan, masyarakat sendiri dengan kemampuan mereka bisa replanting. Yang penting bagaimana PTPN II memberi jaminan pasar.”

PTPN II alami kesulitan finansial. Ada beberapa rekomendasi ditawarkan pemerintah daerah antara lain, pertama, mendapat suntikan dana dari pemilik saham terbesar, Kementerian BUMN atau tidak? Kedua, apakah mungkin kewenangan diserahkan ke pemerintah daerah atau bagaimana  dengan pihak ketiga andai dijual ke pihak ketiga atau bekerjasama. Hingga kini belum ada keputusan dari PTPN II. (Bersambung)

 

Foto utama: Rumah petani sawit PIR I, tersegel bank. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Kebun sawit yang tak produktif lagi di Arso. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

.

 

 

 

 

Exit mobile version