Mongabay.co.id

Mengungkap Warisan Program Hijau Berkelanjutan

Pemikiran developmentalisme atau teori pembangunan muncul dan menjadi popular pada tahun 1950-an. Saat itu konteknya, bagaimana membangun kembali tatanan dunia yang baru lepas dari Perang Dunia II dan menjawab munculnya negara-negara eks jajahan di Asia dan Afrika. Teori pembangunan ditujukan guna mengatasi kemiskinan, pengangguran, serta meretas masalah kesehatan dan pendidikan yang terjadi.

Konsep developmentalisme digagas Harry S. Truman, -Presiden Amerika Serikat saat itu, untuk meredam pengaruh komunisme global. Truman menyebut istilah “developmentalism” dan menggunakan istilah “under-developmentalism” bagi negara-negara eks jajahan yang baru merdeka yang disebut masih terbelakang, berkekurangan dan dilingkupi kemiskinan.

Sejumlah negara eks jajahan akhirnya menerima konsep pembangunan tersebut, -termasuk Indonesia, Harapannya pembangunan yang dibarengi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mampu mengubah kondisi negara-negara eks jajahan lebih baik.

Tetapi, setelah berjalan beberapa puluh tahun, teori pembangunan mendapat kritik para pemikir atau intelektual dunia. Menurut mereka, konsep pembangunan konvensional hanya bersandar pada indikator pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek sosial, budaya dan lingkungan.

Teori ini dikritik hanya bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, yang akhirnya mengorbankan lingkungan dan sumberdaya alam, termasuk hutan yang dialihkan untuk lahan-lahan pertanian masif, penggunaan energi fosil berlebihan, serta merebaknya eksploitasi industri kreatif.

Akibatnya kerusakan lingkungan terjadi. Berpuncak pada perubahan iklim, krisis air bersih, bencana berupa banjir dan kekeringan, konflik sosial, urbanisasi, dan munculnya beragam penyakit mematikan.

 

Kanal gambut di Sumatera Selatan. Lahan gambut di wilayah ini sudah beberapa kali terbakar. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Kasus Sumatera Selatan

Pembangunan juga berlaku di Sumatera Selatan. Selama periode 1970-1990 eksploitasi sumberdaya alam di provinsi ini masif terjadi. Lalu, terjadi dampak lingkungan di Sumatera Selatan. Tahun 1997-1998 terjadi kebakaran hutan besar yang terjadi di lahan-lahan terbuka, yang merupakan area aktifitas ekonomi manusia, baik di lahan perorangan maupun yang dikuasai korporasi.

Berulang, pada tahun 2015 kebakaran hutan dan lahan gambut pun kembali terjadi, melepaskan emisi 156,3 juta ton karbon ke udara. Paradigma teori pembangunan pun menjadi pertanyaan besar, sesuatu yang perlu ditinjau dan dikritisi kembali.

Situasi di Sumsel ini yang lalu mengganggu pemikiran Alex Noerdin, -Gubernur Sumsel, dimana penulis saat menjadi staf khusus. Alex berpikir bagaimana cara agar tujuan pembangunan ekonomi dapat berdamai dengan lingkungan, diikuti tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, serta berkelanjutan.

Inspirasi pun muncul saat menggali sejarah. Teks Prasasti Talang Tuwo (xxx M), yang dibuat Sri Jayanasa, Raja Sriwijaya menyebut tentang konsep tempat hidup yang disebut Taman Sriksetra. Tujuannya memakmurkan manusia tapi tetap menjaga keberagaman flora dan fauna, yang berarti tidak merusak lingkungan.

Konsep ini yang lalu mendapat tempat dalam konsep modern, dikenal sebagai pembangunan hijau berkelanjutan yaitu lewat penataan lansekap dengan spirit pembangunan. Pembangunan hijau berkelanjutan membutuhkan sebuah pengaturan. Bukan hanya fisik bentang alam, juga perlu penataan sosial, budaya, dan ekonomi. Pengelolaan mengatur keseimbangan atau keharmonisan semua aspek melalui kebijakan, rencana kerja, dari hulu ke hilir, dari hutan ke kota.

Di bidang energi, kebutuhan energi tidak hanya dengan mengandalkan energi fosil yang jumlahnya terbatas. Tetapi juga menggunakan energi terbarukan seperti cahaya matahari, air dan angin, yang tersedia dengan murah, tidak pernah habis dan berkelanjutan.

Di sektor pertanian, perkebunan dan HTI (Hutan Tanaman Industri), optimalisasi lahan dan pilihan bahan baku atau tanaman yang tidak merusak tanah dan tata kelola air. Selanjutnya, kondisi alam yang lestari, mendatangkan potensi ekonomi yang cukup besar dan berkelanjutan sebagai bisnis pariwisata.

 

Warisan Bagi Penerus

Berdasarkan Outcome of UN World Summit tahun 2005, pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama dalam pelaksanaannya yakni ekonomi, sosial dan lingkungan. Di Sumatera Selatan hal ini diterjemahkan menjadi tujuh strategi, yaitu: 1) perencanaan tata guna lahan, 2) meningkatkan kapasitas masyarakat), 3) peningkatan produktifitas komoditas secara intensif, 4) perbaikan rantai nilai, 5) pengembangan konektivitas jalan dan jalur distribusi, 6) restorasi,  7) mekanisme reward jasa lingkungan maupun pendanaan inovatif untuk komoditas berkelanjutan.

Untuk itu, Pemda Sumsel mengambil langkah membentuk Dewan Pembangunan Hijau Sumatera Selatan yang beranggotakan beragam organisasi dan pihak-pihak peduli lingkungan hidup lokal, nasional dan internasional. Didalamnya termasuk pelaksanaan proyek KELOLA Sembilang-Dangku di Kabupaten Musi Banyuasin, yang dipimpin ZSL (Zoological Society of London).

Pada tahap kebijakan, Gubernur mengeluarkan Pergub No.21/2017 Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau Provinsi Sumatera Selatan  juga Masterplan for Renewable Resources-Driven Green Growth 2017-2030 yang dirilis pada pertemuan tingkat  tinggi Bonn Challenge I di Asia yang digelar di Palembang Mei 2017. Pada awal 2018, bersama Dewan Sumatera Selatan, ditelurkan Perda Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Pada bulan Juli 2018 Sumsel menggelar Festival Lansekap Internasional dan sekaligus menjadi tuan rumah Sidang Internasional Man and Biosphere UNESCO. Pada tahun 2019, Palembang menjadi tuan rumah Urban Environmental Summit yang diselenggerakan UNEP.

Di masa akhir kepemimpinan Alex Noerdin, pembuktian [sekaligus pertaruhan] provinsi Sumatera Selatan adalah mengusung penyelenggaraan Asian Games Agustus 2018 di Palembang. Diharapkan, event olahraga internasional ini dapat bebas dari kabut asap, dan mengimplementasikan penggunaan energi baru dan terbarukan.

Jika ingin terus menjalankan amanah raja Sriwijaya, pemimpin daerah Sumatera Selatan selanjutnya, sebaiknya tetap berpegang pada konsep pembangunan hijau berkelanjutan. Sehingga dampak negatif dari pembangunan konvensional yang semata berpijak pada pertumbuhan ekonomi, tidak terus terjadi.

 

Dr. Najib Asmani. Penulis  adalah  Staf Khusus Gubernur Sumsel bidang Perubahan Iklim, Pengajar di Fakultas Pertanian dan Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya Palembang. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version