Mongabay.co.id

Fokus Liputan: Ironi Sawit di Negeri Giman (Bagian 1)

Perkebunan sawit di bagian Timur, tak jauh dari kawasan Lelengusu, Gane Timur Selatan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Kapal cepat Babang-Gane Barat Selatan-Pulau-pulau Joronga,  yang saya tumpangi sandar di Pelabuhan Gane Dalam, Kecamatan Gane Barat Selatan, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Sampailah saya ke negeri Giman, sebutan lain Gane.

Kala itu, sekitar pukul 12.30, panas mentari begitu terik menyengat kulit. Pelabuhan ramai. Tampak para pengojek tak surut  berebut melayani penumpang yang melanjutkan perjalanan ke Gane Timur.

Untuk mencapai Gane Timur–masuk wilayah administrasi Gane Barat  Selatan–,  begitu panjang. Semalam suntuk dari Ternate ke Bacan, gunakan Kapal Bunda Maria. Setelah itu, dari  Babang  (Bacan) pakai speedboat  ke Desa Gane Dalam.

Perjalanan lumayan melelahkan. Rasa lelah tiba-tiba seakan hilang berganti perasaan tak menentu, ketika speedboat merapat dan  lego sauh. Dari jauh terlihat  bukit-bukit dengan tanah memerah seperti terkuliti. Kesal, marah, sedih. Campur aduk.

Pemandangan miris itu terlihat dari tepian pantai  perbatasan hutan mangrove di Gane Dalam hingga ke Timur Gane.  Tanah yang berbentuk terasering  itu telah berubah menjadi ‘rumah’ sawit   berusia  sekitar  dua sampai tiga tahun.

Meski sudah mulai tumbuh,  gusuran  tanah bertingkat  yang menganga itu masih terlihat dari arah laut Teluk Kasawari,  Gane Dalam.

Perusahaan perkebunan sawit, PT Gane Mandiri Membangun (GMM), anak usaha PT Korindo, yang mengubah lahan perbukitan itu.

Ketika masuk ke dalam hutan kurang lebih dua kilometer dari kampung sudah ada sawit. Lahan patok awal konsesi masuk sampai dekat gedung sekolah di belakang kampung.

“Warga tak diam. Mereka menolak hingga patok pindah,” kata Faisal Ratuela, pegiat lingkungan yang menemani saya ke sana.

Awal masuk perkebunan sawit ini sekitar 2010,  lewat perusahaan pengelolaan kayu, GMM. Perusahaan mengelola kayu masyarakat dengan mengantongi izin pengelolaan kayu (IPK) bentukan kelompok petani.

Kini, GMM jadi anak usaha Korindo Group, perusahaan asal Korea. Berawal dari kayu itulah, Korindo kemudian menancapkan kuku sawit di Gane. Bisnis serupa, dari pengelolaan kayu ke sawit juga terjadi di Papua, tepatnya, Boven Digoel dan Merauke.

Di Maluku Utara ini, konsesi kebun sawit Korindo seluas 11.003, 90 hektar berdasarkan pelepasan kawasan hutan pada 2009 dari hutan produksi ke alokasi penggunaan lain (APL) lewat SK Menteri Kehutanan No SK.22/MENHUT-II/2009.  Dari luasan   itu, 8.400 hektar sudah disiapkan, sisanya telah berisi sawit.

Data Walhi Maluku Utara,   Halmahera  Selatan (Halsel) memiliki luas administrasi sekitar 40.376,89 kilometer persegi, daratan 8.892, 49 kilometer persegi dan laut 31.484,40 kilometer persegi.

Di daerah ini ada 30 kecamatan dan 249  desa, tiga di antaranya sudah jadi sawit, yakni Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, dan Kepulauan Joronga.

Kala memasuki Gane Luar, melewati  jalan tanah berkerikil sepanjang sekitar 9 kilometer,  tampak jelas hutan terbabat.  Jalan Gane Dalam-Gane Luar,  yang membelah perkebunan sawit milik GMM itu kini jadi jalan milik pemerintah. Ia jalan ini dibuka perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH),  PT Jati Maluku yang pernah beroperasi di sini era 1980- an.

Warga Gane Dalam yang berangkat dan pulang dari kebun mereka dengan menggunakan perahu. Warga setempat pakai perahu ke Teluk Kasawari untuk mencapai kebun-kebun mereka karena pantai ditumbuhi mangrove. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Perkebunan sawit di Gane ini sebagian besar berbentuk terasering karena kontur lahan berbukit. Ketika saya berada di atas bukit dekat satu pos polisi, memandang ke utara, selatan, timur dan barat, terlihat ‘perbukitan sawit.’ Di bagian utara  ke timur tampak perkebunan belum seluruhnya ditanami.

Berbeda dengan di bagian selatan ke timur, terlihat sawit baru tanam dan sebagian telah berbuah. Dengan kebun begitu luas memenuhi bukit di pulau kecil ini, terbilang sawit telah menyapu habis  hutan  di ujung selatan Halmahera itu.

Untuk menemukan hutan di Desa Gane Dalam, tersisa hutan mangrove di tepian pantai.  Di Gane Barat Selatan, hutan tinggal di Tanjung Rotan, selebihnya  telah habis.

Hutan Tanjung Rotan pun masih terancam. Ada informasi kalau hutan itu digadang-gadang jadi lokasi bangun pabrik sawit. Bahkan, ada rencana kawasan ini masuk zona inti plasma.

Kala Tanjung Rotan masuk wilayah plasma, cadangan hutan di kawasan ini hilang.

“Hutan kita sudah benar-benar habis. Untuk mencari kayu bangunan rumah saja sudah sulit. Apalagi mendapatkan kayu satu dua kubik untuk jual, sangat susah,” kata Salmin Fara,  warga Gane Dalam.

Dia bilang, dampak mulai terasa dari wilayah berhutan dan tidak. Dulu, hutan yang berisi kebun warga berisi kayu untuk kebutuhan rumah maupun membuat perahu.

Kini,  setelah terbabat dan jadi sawit, sebatang pohon kayu juga tidak kelihatan.

Warga juga dulu ada yang bertani, nelayan dan sebagian menjual kayu olahan dari hasil kebun. Kini jorame (bekas lahan warga)  sudah habis jadi sawit.

“Sebelum masuk sawit warga tak hanya mengandalkan pala dan kopra untuk  membiayai hidup dan sekolah anak. Dari kayu satu dua kubik yang diolah dari  jorame  bisa dapatkan uang cepat. Sekarang jangankan mengolah kayu    untuk jual, untuk membangun rumah  juga sangat sulit,” kata Sukri Saleh, Sekretaris Desa Gane Luar.

Dia bilang, hutan di Gane Luar dan Gane Dalam sudah habis pasca perusahaan sawit masuk. Kesulitan kayu, sangat mereka rasakan.

GMM melalui Staf Ahli Bidang Lingkungan Mizwar Mustafa ditemui Mongabay  di Bacan,  awal Februari lalu menjelaskan,  dari luasan lahan yang telah dibuka, ada 1.900 hektar lebih belum ditanami.

Untuk penambahan lahan guna memenuhi kuota sesuai izin melalui plasma yang dimiliki masyarakat  di tiga kecamatan, yakni Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan dan Kecamatan Pulau Joronga.

“Penambahan lahan perkebunan sawit ini kita harapkan dari plasma yang disediakan warga.”

Dia membenarkan, sedang persiapan pembangunan pabrik sawit. “Sedang mobilisasi bahan-bahan pabrik dengan kapal untuk persiapan pembangunan infrastruktur,” katanya.

Dia menuturkan,   lokasi pabrik ditetapkan di dalam konsesi GMM, sedang proses pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk pabrik.

Menurut dia,  pabrik segera dibangun  karena sebagian sawit sudah berbuah. Pembangunan pabrik, katanya, memerlukan waktu kurang lebih satu tahun, 2018 hingga 2019.

Dia bilang, pabrik ini bakal membuka peluang kerja baru bagi warga. “Contoh, dari 3.000 lebih karyawan,  perbandingan, 80% warga sekitar perusahaan dan 20% dari luar Gane,” klaim Mizwar.

Perusahaan, katanya,  akan memberikan kesempatan kepada warga jadi petani plasma mereka.

 

Tampak bukit mulai ditumbuhi sawit tampak dari tepian laut. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Tolak plasma, tolak babat hutan baru

Masyarakat di tiga kecamatan di Gane Timur Selatan, Gane Barat Selatan dan Kecamatan Pulau Joronga, dengan hutan mereka masuk konsesi GMM akan diajak jadi petani plasma. Warga  beberapa desa terbuka menyatakan penolakan pada rencana ini.

Di Gane Dalam, Gane Barat Selatan, sebagian warga menolak tetapi ada juga  yang mendukung. Berbeda dengan Desa Sekeli,  Gane Barat Selatan, sebagian besar warga menolak  rencana ini.

Alasan penolakan mereka takut jadi korban pasca menanam sawit. Surat penolakan ditandatangani  kepala desa bersama 200 warga itu didukung BPD,  tokoh masyarakat dan tokoh adat.

Bahkan mereka membuat surat terbuka kepada Gubernur Maluku Utara,   bupati dan DPRD Halmahera Selatan.  Dalam dua  poin surat mereka  menyatakan, tegas menolak   inti dan plasma yang akan dikembangkan perusahaan.

Poin pertama menyatakan,  menolak rencana perusahaan jadikan Tanjung Rotan, hutan tersisa jadi inti maupun plasma sawit.  Mereka mendesak,  Pemerintah Halmahera Selatan dan DPRD  bersama Pemerintah Maluku Utara ,  menolak  rencana pembukaan blok baru Tanjung Rotan.

“Daerah itu harapan satu-satunya warga memiliki hutan tersisa. Kami  mendesak pemerintah  maupun DPRD tak mengeluarkan izin pembukaan  inti dan plasma untuk perusahaan sawit,” kata Ketua BPD Sekeli Ruslan Mahmud.

“Selama ini perusahaan telah merampas hak-hak  kami sebagai warga.”

Mereka menolak karena sudah melihat dampak  buruk dalam lima tahun terakhir seperti kerusakan lingkungan dan kelapa mati terserang hama.

Perusahaan mengaku belum tahu soal penolakan resmi dari warga Desa`Sekeli ini. “Kami belum tahu ada penolakan plasma,” kata Mizwar.

Mereka baru tahu soal penolakan warga Gane Luar. Di sana, ada sekitar 1.200 hektar lahan diusulkan masuk sistem plasma.

Mizwar, juga putra Gane Luar itu membenarkan memang ada penolakan warga tetapi sedang pendekatan agar suatu saat bisa bersedia dan menjual hasil sawit ke perusahaan.

“Kami dari awal sudah menolak tegas ada plasma. Kami tak tahu dampak ke depan seperti apa. Saat ini,  saja  bisa dilihat warga sudah menderita  apalagi ke depan. Kami menolak,” kata Sukri. (Bersambung)

 

Foto utama: Sawit memenuhi pebukitan di Gane. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Sawit di pebukitan Gane. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version