Daging biawak air, ternyata masih dikonsumsi oleh sebagian orang. Ada yang menganggap, dagingnya bisa menjaga stamina tubuh dan dapat mengobati penyakit sesak nafas. Bahkan, ada yang percaya, daging reptil ini merupakan obat mujarab yang dapat meningkatkan vitalitas lelaki.
Di ujung gang Jalan Jamin Ginting, Medan, Sumatera Utara (Sumut), terdengar suara orang bernyanyi lagu batak Boru Panggoaran, yang dipopulerkan oleh Victor Hutabarat. Lokasi ini adalah sebuah warung minuman tuak, orang Medan biasa menyebutnya Lopo Tuak.
Bagi para peminum tuak, tak lengkap rasanya jika minum tuak tanpa makanan pemanis yang diistilahkan tambul. Biasanya sang pemilik warung menyajikan daging atau ikan bakar. Namun, di hari tertentu, ada sajian khusus yaitu biawak air.
Satwa yang hidup di pinggiran aliran sungai itu, biasanya dibeli dari beberapa pemburu binatang. Biasanya, mereka beredar di sekitar Jalan Padang Bulan Medan.
“Daging biawak, selain enak bisa juga menjaga stamina. Adikku juga yang berpenyakit asma, enam bulan makan daging ini, sembuh,” tutur Hendrik Sitinjak (47), lelaki yang kesehariannya beraktivitas sebagai agen kayu rempah manis. Hendrik adalah satu dari sepuluh orang yang duduk di warung tersebut.
Benarkah pernyataan Hendrik itu? Atau hanya mitos belaka?

Fajar Kaprawi, Koordinator Perkumpulan Amfibi Reptil Wilayah Sumatera, kepada Mongabay Indonesia mengatakan, di Medan jenis biawak air masih menyebar merata. Ini karena Medan, banyak dilintasi aliran sungai besar, salah satunya Sungai Deli.
“Beberapa waktu lalu, sempat muncul di permukiman warga. Ini karena curah hujan cukup tinggi, sehingga satwa ini mucul di selokan,” jelasnya baru-baru ini.
Dia menjelaskan, jenis reptil ini menyukai ikan sehingga menjadi musuh utama pebisnis ikan kolam. Perburuan cukup sering dilakukan dengan cara menjerat atau menggunakan jarring karena dianggap hama.
Satwa yang belum dilindungi ini merupakan predator yang menjadi keseimbangan ekosistem alam. Dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES, 2013), ia masuk daftar Appendix II, yang berarti tidak terancam punah. Akan tetapi, ada kemungkinan terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa ada pengaturan.
“Namun begitu, harus ada pengaturan terkait kuota pengambilan di alam. Ini dikarenakan, ada yang mengambil dagingnya untuk dimakan buat tambull tuak, dan ada juga yang mikir sebagai obat paten,” jelas Fajar.

Berdasarkan penelitian Idawati Nasution, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, biawak air (Varanus salvator) merupakan spesies biawak yang terdapat di Indonesia. Persebarannya di ekosistem hutan dan urban, terutama wilayah sumber air seperti sungai, rawa, dan sekitar danau.
Di Indonesia, diperkirakan ada empat spesies biawak. Ada biawak air (V. salvator) yang tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku; biawak mangrove (V. indicus), tersebar di Papua; komodo (V. komodoensis) di Pulau Komodo; serta biawak merak (V. auffenbergi) yang berada di Pulau Rote (Koch dan Acciaioli, 2007).
Idawati bersama timnya, meneliti biawak air mengenai organ pencernaannya, yaitu organ yang digunakan untuk mencerna, menyerap, serta mengeluarkan makanan yang tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh. Selain organ pencernaan, ada juga organ asesoris, yang membantu proses pencernaan makanan, baik secara mekanis maupun enzimatis.
Kelenjar ludah merupakan salah satu organ asesoris dalam sistem pencernaan. Kelenjar ini, menghasilkan sekreta berupa saliva yang berfungsi membasahi dan melunakkan makanan yang kering. Yaitu, media untuk memecah dan mengencerkan bahan makanan, mempertahankan pH dalam rongga mulut, memecah karbohidrat, dan sebagai zat antibakteri (Aughey dan Frye, 2001).
Salah satu unsur penting yang terkandung dalam saliva adalah senyawa glikoprotein antibakteri. Seperti, lisozim dan laktoferin yang menjadikan saliva sebagai pencegah masuknya bakteri ke dalam saluran pencernaan.
“Karbohidrat kompleks yang disebut juga glikokonjugat memiliki peran penting dalam berbagai proses di dalam tubuh biawak air ini. Seperti perlekatan dan komunikasi antarsel, regenerasi dan diferensiasi sel serta sebagai bahan penyusun matriks sel dan sekreta kelenjar.”
Bahaya
Fitrah, salah satu dokter hewan dari Unsyiah mengatakan, pada 2014 bersama timnya pernah meneliti dampak dan bahaya mengonsumsi daging biawak air. Ada beberapa bakteri yang terkandung di tubuhnya, yaitu trichinosis, gnathostomiasis, sparganosis, dan mycobacterium.
Menurutnya, bagi manusia yang mengonsumsi daging maupun bagian tubuh reptil ini, bisa menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Dagingnya mengandung sejumlah parasit seperti cacing pita jenis sparganosis, yang bisa merusak dan membuat infeksi pada jaringan tubuh manusia.
“Teorinya begini, dalam daging biawak itu banyak parasite. Jika dimakan maka parasit seperti cacing akan berkembang biak di usus dan itu sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Khususnya gangguan pecernaan karena usus tidak berfungsi dengan baik,” jelas Fitrah.

Lebih jauh dia menjelaskan, mengonsumsi daging biawak bisa juga menyebabkan penyakit kista. Karena, di dagingnya terdapat parasit bernama pentastomiasis, parasite yang banyak ditemukan hidup dalam tubuh ular, buaya, dan tentunya biawak.
Jadi, tidak benar kalau makan daging biawak akan meningkatkan daya tubuh manusia. Justru sebaliknya, akan menurunkan daya tahan tubuh akibat masuknya berbagai jenis bakteri.
“Dalam tubuh biawak air juga ada bakteri bernama mycobacterium. Bakteri ini bisa menyebabkan penyakit kulit bagi manusia yang mengkonsumsinya,” tutur Fitrah.
Masih mau makan daging biawak?