Indonesia merupakan rumah menyenangkan untuk tujuh jenis owa. Ada Hylobates moloch (owa jawa) yang tersebar di Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah; Hylobates lar (serudung) yang hidup di Sumatera bagian utara; Hylobates agilis (ungko) di Sumatera bagian tengah ke selatan; juga Symphalangus syndactylus (siamang) di seluruh Sumatera.
Berikutnya, ada Hylobates klosii (bilou) di Pulau Mentawai, Sumatera Barat; Hylobates muelleri (kelempiau) di seluruh Kalimantan; serta Hylobates albibarbis (ungko kalimantan atau kalawet) yang berada di Kalimantan bagian barat.
Di Provinsi Aceh, Hylobates lar bisa ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) maupun di hutan Ulu Masen. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo menuturkan, saat ini belum ada data resmi mengenai populasi serundung ini di Aceh, maupun di Indonesia.
“Namun yang pasti, kehidupannya terdesak akibat perburuan dan rusaknya habitat,” jelasnya, Selasa (27/3/2018).
Baca: Dua Primata Ini Kompak Menghalau Predator
BKSDA Aceh telah berkali menyita owa yang dipelihara masyarakat untuk selanjutnya dilepaskan kembali ke hutan, rumah aslinya. Terakhir, BKSDA melepaskan primata ini di hutan sekitar Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, pada Februari 2018.
Owa yang dilepaskan tersebut disita dari masyarakat di Kabupaten Pidie, Oktober 2017 lalu. “BKSDA Aceh terus mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga satwa dilindungi agar tidak diburu dan dipelihara, karena populasinya akan menyusut,” ujar Sapto.
Baca juga: Owa, Primata Dilindungi Ini Ada Saja yang Pelihara!
Perburuan owa yang masih terjadi untuk diperjualbelikan karena mudah dipelihara. Selain badannya kecil, pakannya juga tidak sulit hanya buah dan dedaunan. “Hewan ini lucu dan suka melompat, sehingga banyak yang tertarik memelihara. Saya pernah ditawari saat pulang ke Pidie beberapa tahun lalu,” ujar Sumadi, warga Banda Aceh.
Dia mengatakan, lemahnya penegakan hukum terhadap orang yang memelihara dan memburu owa membuat banyak orang ingin memilikinya. UU Nomor 5 tahun 1990 masih cukup ringan menghukum pelaku. Owa yang merupakan kera tak berbuntut ini, bersama semua keluarga Hylobatidae dilindungi undang-undang.
“Hukuman terhadap masyarakat yang memburu dan memelihara satwa dilindungi belum memberikan efek jera. Penegak hukum harus tegas menertibkan pemelihara satwa langka, agar tidak sampai punah,” ujarnya.
Owa menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berayun di pepohonan atau biasa disebut hewan arboreal. Owa tidak membangun sarang, biasanya ia mencari pohon tidur dan keesokan paginya akan bergelantungan mencari pohon lain.
Owa juga tidur dengan posisi duduk di cabang pepohonan karena memiliki ischial callosities atau bantalan berdaging tanpa saraf yang melekat pada tulang pinggul.
Dalam IUCN Red List dijelaskan, Hylobates lar lambat dalam hal berkembang biak. Betina baru mencapai usia dewasa matang umur 8-10 tahun sementara jantan pada usia 8-12 tahun. Untuk urusan anak, betina baru bisa memberikan keturunan selang 3 sampai 5 tahun.
Perburuan adalah ancaman utama populasi satwa ini di alam liar. Pengrusakan habitat untuk perkebunan juga termasuk ancaman tertinggi terhadap populasinya yang sekarang berstatus Genting atau Endangered/EN.