Mongabay.co.id

Kicauan Burung Jiran di Pasar Dalam Negeri

Cucak hijau sitaan perdagangan ilegal di kebun binatang Juruk Surakarta. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Burung berkicau di alam liar negeri ini sudah kritis. Keberadaan jenis burung tertentu di pasar tak berarti masih banyak di alam liar. Bahkan, kicauan itu banyak datang dari burung-burung yang didatangkan dari luar negeri.

Demikian dikatakan Adhiasto Dwi Nugroho, Manajer Program World Conservation Society (WCS) pada Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia (KPPBI) keempat, di Semarang, baru-baru ini.

“Burung berkicau terutama kacer, murai batu, banyak didatangkan dari luar Indonesia. Burung-burung itu dari Malaysia, Vietnam, Nepal, Thailand,” katanya.

Pemantauan WCS selama satu tahun di empat pasar di Yogyakarta, Solo, Purwokerto, dan Banyumas, beberapa waktu lalu menemukan informasi murai batu dan kacer banyak dari negara tetangga.

“Ada dua spesies, kita jumpai 200 murai batu dan kacer. Ini sesuai ritme penyelundupan yang bisa sampai ribuan ekor. Kita mencatat dari 14 operasi penangkapan, total kacer dan murai batu disita lebih 14.000,” katanya.

Sitaan itu, katanya,  baru sepersepuluh dari burung selundupan dengan pintu masuk kebanyakan dari Batam dan Entikong.

Terkait perburuan burung di alam liar, temuan WCS memperlihatkan, para pemburu cenderung serampangan dalam menangkap burung. Mereka tak memilih dulu jenis apa sebelum menangkap.

Aturan longgar soal pemeliharaan burung di Indonesia,  kerap dimanfaatkan orang di perbatasan membawa secara ilegal dari Malaysia. “Ini jadi salah satu jalur masuk burung dari luar ke Indonesia.”

Di Kepulauan Riau, katanya, orang Indonesia masuk ke Malaysia ilegal. Saat pulang,  mereka membawa burung-burung berkicau.

“Di Malaysia,  ada aturan ketat soal pemeliharaan burung kicauan,” kata Adhiasto.

Penyitaan burung dari luar sebenarnya kerap dilakukan, seperti baru-baru ini di Batam, penyitaan lebih 1.000 kacer dan murai batu.

“Seringkali kemudian dimusnahkan karena khawatir ada penyakit ikut masuk. Ini tanpa publikasi untuk menghindari kritik, prokontra di media. Mereka punya kewajiban untuk memusnahkan.”

Pantauan WCS, ada sindikat sengaja mengirim burung berkicau dari Malaysia, terutama kacer, murai batu, dan branjangan.

Pelaku kejahatan pidana satwa liar adalah kelompok terorganisir. Mereka saling membantu.

“Kalau organize crime ada bosnya. Kalau bos tertangkap, bawah akan runtuh. Ini tidak. Kalau ada yang tertangkap, ada yang menggantikan. Pelaku bisa dari yang hanya beromzet Rp1 juta sampai ratusan juta. Mereka saling berbagi informasi, antara lain memakai aplikasi komunikasi di handphone.”

Adhiasto masih melihat ada ketidaktegasan aparat penegak hukum dalam penindakan kejahatan pidana satwa liar di Indonesia, terutama jenis burung. Padahal, usaha menemukan penjerat burung rangkong, misal, perlu usaha keras. Setelah ditangkap, dilepas dan hanya menjalani proses administratif.

“Seringkali para penjerat burung dilindungi hanya diproses dengan menandatangani surat pernyataan. Belum sampai diadili, dibawa ke pengadilan, sudah dilepas duluan. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Kalau penjerat gajah, harimau, divonis. Kalau burung, cuma satu dua dilepas.”

 

Nuri bayar yang disita. Burung-burung ini dimasukkan dalam kandang tak layak, dari pipa paralon. Foto: WCS Indonesia Program/ Mongabay Indonesia

 

Istilah baru

Peneliti burung asal Belanda yang jatuh hati kepada Indonesia, Sebastianus (Bas) Van Balen, dalam KPPBI mencoba memperkenalkan istilah baru dalam dunia burung, shifting baseline syndrome.

Ornithologi yang fasih berbahasa Indonesia ini mengatakan, sindrom pergeseran titik tolak dideskripsikan sebagai keadaan orang– dalam hal ini anak-anak–yang mempunyai standar apresiasi alam berbeda, lebih rendah dibanding generasi sebelumnya. Ia menerima degradasi ekosistem alam sebagai hal lumrah.

“Generasi saya,  misal tahu gelatik. Di mana-mana ada. Srigunting kalau ke kampung pasti ada, srigunting hitam. Sekarang susah, dan mereka menganggap itu biasa. Mereka tak peduli burung itu tak ada lagi.”

Hal itu terjadi, katanya,  karena mereka tak memiliki referensi atas situasi baru itu. Alam terus berubah. Mereka juga punya referensi sendiri, hingga tak merasa prihatin.

Istilah sindrom pergeseran titik tolak ini, kata Balen, sama sekali bukan baru dan pernah dipakai di bidang lain, misal, untuk perikanan.

Balen, sangat dihormati dalam dunia ornithologis Indonesia. Dia mengajak peserta konferensi mempelajari burung-burung Indonesia lewat pustaka lama.

“Saya menemukan buku di perpustakaan Leiden, masih pakai tulisan tangan, yang menceritakan burung-burung di Jawa. Di lontar mungkin kita bisa temukan catatan tentang burung karena orang Jawa suka burung.”

Barangkali, dengan penelitian itu bisa “ditemukan” burung yang kini sudah punah. “Seperti dodo, jadi abadi karena kepunahannya.” “Dulu di Semarang,  banyak elang bondol. Sekarang hilang. Prenjak, pleci, betet, lama-lama bisa hilang juga.”

 

Bidang lain     

Penelitian burung sangat memerlukan ilmu lain hasil makin lengkap dan sempurna, misal, fotografi. Menurut Riza Marlon, fotografer alam liar, yang menulis buku-buku tentang aneka satwa Indonesia, kini fotografi diperlukan dalam penelitian biologi, termasuk burung.

“Dulu peneliti harus menggambar detil disertai keterangan gambar untuk mendeskripsikan obyek temuan atau penelitian. Kini memakai foto. Bahkan foto memiliki keunggulan karena sekaligus menampilkan proporsi dan warna sesungguhnya,” kata Riza, yang mengaku jadi fotografer alam liar karena masih sedikit yang menekuni di Indonesia.

Tahun 1990, katanya, di Sulawesi, dalam satu musim sarang, dia bisa mendokumentasikan lima sampai enam jenis tipe sarang. “Terakhir ke sana, tinggal satu tipe sarang. Fotografi tidak bisa menunggu,” katanya.

Dia berharap,  minat fotografi untuk penelitian makin lama makin baik. Walau dengan peralatan terbatas, seharusnya tak perlu menunggu untuk mengabadikan dan mengambil bagian dalam penelitian.

“Dengan foto bisa otentik. Merekam sejarah. Indonesia kaya burung, tapi output yang mumpuni dalam membuktikan kekayaan itu minim.”

 

Foto utama: Cucak hijau sitaan perdagangan ilegal di kebun binatang Juruk Surakarta. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version