Mongabay.co.id

Belasan Gajah Betina Masuk Perkampungan Warga di Semaka, Ada Apa?

Kawanan gajah liar betina di sekitar kebun masyarakat, di Kecamatan Semaka, Tanggamus. Foto: Beno Fariza/WWF Indonesia

 

Delapan bulan lebih sudah konflik gajah dan manusia terjadi di tujuh dari sembilan pekon (desa) di Kecamatan Semaka, Tanggamus, Lampung.

“Sejak Juni 2017 ada 12 gajah betina masuk ke pemukiman dan perkebunan. Mereka di Pekon Way Kerap, Pardawaras, Srikaton, Karang Agung, Sidomulyo, hingga Talang Asahan. “Beberapa hari lalu sedang makan kelapa milik warga,” Edy Fahrurrozi, Camat Semaka.

Kali ini, katanya,  gajah-gajah itu sulit dikendalikan. Biasa, dengan petasan mereka sudah kembali ke hutan lindung. Kini, katanya,  tak mempan, malah balik mengejar ketika dihalau pakai petasan.

Gajah Sumatera memiliki wilayah jelajah luas dan tak punya kawasan teritorial seperti beberapa jenis satwa lain. Ancaman utama gajah Sumatera adalah fragmentasi habitat, karena konversi lahan oleh perusahaan maupun masyarakat. Kondisi ini, kata Edy, berpotensi terjadi konflik dan mempermudah akses perburuan.

Marak alih fungsi hutan di KPH IX Kota Agung Utara, Tanggamus, katanya,  membuat kehidupan gajah makin terdesak. KPH IX merupakan kawasan hutan penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Proses mating gajah di TNBBS dan mereka akan mencari makan pada KPH IX.

Sepanjang konflik tercatat banyak bangunan semi permanen dan sekitar 100 hektar kebun masyarakat rusak oleh gajah-gajah ini. Jadi, kebun buah-buahan rusak seperti cempedak, sengon, pisang, pepaya, kelapa, padi dan lemon.

TNBBS melakukan beberapa upaya mencegah konflik bersama mitra, yaitu WWF, WCS dan Yayasan Badak Indonesia (Yabi). Mereka aksi antara lain, menghalau pakai petasan dan bunyi-bunyian, bahkan penggiringan dengan gajah jinak dari Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Sayangnya, belum membuahkan hasil.

Menanggapi konflik tak berkesudahan ini TNBBS bersama mitra akan membangun lima pos jaga dan jadwal ronda untuk mengontrol gerak gajah menuju pemukiman dan kebun.

WWF juga menawarkan pemasangan GPS collar dalam waktu dekat di salah satu gajah dominan dari satu kelompok (12 gajah) itu. Hal ini, katanya, untuk mengetahui pergerakan gajah-gajah dan peringatan dini sebagai upaya mitigasi konflik antara manusia dan gajah.

Beno Fariza, Biologist WWF mengatakan, GPS collar merupakan alat yang dapat memancarkan posisi koordinat gajah di habitat alami. Alat itu, katanya, bekerja dengan sistem transmisi satelit yang mampu memberikan informasi periodik. Koordinat posisi itu, akan di-download dengan komputer untuk dianalisa menggunakan aplikasi pengolah data spasial seperti Arcgis dan Google Earth.

“Hasilnya, berupa peta jalur gerakan hidup gajah, berpindah dan mencari makan. Hingga monitoring tak lagi dengan cara manual, teman-teman patroli dapat memantau pergerakan gajah melalui monitor. Masyarakat dapat mengetahui informasi sebelum gajah turun ke pemukiman.”

Beno prihatin dengan kondisi ini mengingat mereka seharusnya ada dalam habitat alami di TNBBS dan hutan lindung KPH IX Kota Agung Utara.

Kerusakan habitat alami mereka jadi beragam peruntukan seperti kebun kopi jadi penyebab. Sumber pakan alami makin terbatas. Kondisi ini, katanya,  mendorong kelompok gajah liar makin keluar kawasan menuju kebun masyarakat yang ditanami pisang, pepaya, dan padi.

Sementara kelompok gajah saat ini sudah terpantau di area pemanfaatan KPH IX Kota Agung Utara, tepatnya di Kecamatan Bandar Negeri Semuong-Tanggamus, sekitar lima kilometer dari TNBBS.

Sedangkan Abu Bakar, Kepala BKSDA Bengkulu-Lampung mengatakan, gajah ke pemukiman terjadi karena ada perebutan ruang yang sama antara manusia dan gajah. BKSDA, katanya, tak menganggap itu konflik kalau gajah masih dalam habitat.

“Jika terjadi konflik, kedua belah pihak dirugikan baik manusia maupun gajah. Lebih baik menghindari konflik daripada penyelesaian konflik,” katanya memberikan pernyataan tak jelas,  karena yang terjadi kelompok gajah sudah memasuki pemukiman maupun perkebunan.

 

Foto utama:  Kawanan gajah liar betina di sekitar kebun masyarakat, di Kecamatan Semaka, Tanggamus. Foto: Beno Fariza/WWF Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version