Mongabay.co.id

Elang Laut Sitaan di Jawa Tengah Menanti Hidup Bebas

 

Tiga elang laut menghuni kandang berjeruji besi di belakang Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah. Kandang setinggi 2,5 meter itu biasa dipakai merawat satwa sitaan atau titipan hasil operasi penertiban satwa dilindungi.

Di sebelahnya belasan jalak Bali juga menghuni kandang. Tak jauh dari kandang, ada elang hitam dan elang bondol, tetapi tak seberuntung elang laut. Dua elang ini hanya menghuni kurungan kecil.

Saat didekati salah satu elang laut sitaan itu mengeluarkan lengkingan.  “Kalau ada manusia datang, bunyi cit cit. Itu artinya minta makan, ditemani, atau jalan-jalan sore, yang jelas biasa diasuh,” kata Suharman, Kepala BKSDA Jateng, baru-baru ini.

Agar tak stres, petugas mengeluarkan elang laut itu dari kandang pada waktu-waktu tertentu. Mereka dibiarkan bertengger pada tangkringan dari kayu yang terletak tak jauh dari kandang.

 

Suharman, Kepala BKSDA Jateng. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Jual beli di medsos   

Elang laut itu adalah sebagian satwa sitaan hasil operasi penertiban. Awalnya ada laporan dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Wildlife Conservation Society (WCS) tentang jual beli satwa dilindungi melalui media sosial.

“Ini hasil kegiatan bersama antara BKSDA, Direskrimsus (Direktorat Reserse Kriminal Khusus) Polda Jateng, JAAN dan WCS. Informasi didapat dari teman-teman LSM,” kata Heru Sunarko, Koordinator Polisi Hutan, BKSDA Jateng.

Informasi terkumpul ada jual beli satwa dilindungi lewat Facebook, di dua tempat yaitu Klaten dan Kebumen.

“Mereka menginformasikan ke Polda Jateng, lalu berkirim surat ke BKSDA Jateng meminta bantuan evakuasi,” katanya.

Tim dibentuk untuk operasi penangkapan dan penyelamatan satwa bersama. Operasi jadi bagian penertiban satwa pemeliharaan dan perdagangan dilindungi UU.

“Pada 1 Maret kita tunjuk tim, lalu kita operasi bersama. Kita dapatkan barang bukti elang laut, alap-alap kawah, dan landak di Kebumen. Tim di Klaten mendapatkan owa. Saat evakuasi kita minta bantuan tim dokter hewan dari TSTJ (Taman Satwa Taru Jurug-red), dan penyidik langsung dititipkan ke sana,” katanya.

Di Kebumen,  tim mengamankan lima satwa dilindungi, terdiri dari tiga elang laut (Haliaeetus leucogaster), satu alap-alap kawah (Falco peregrinus), dan satu landak (Hystrix brachyuran). Pelaku adalah warga Banjareja, Kuwarasan, Kebumen. Sementara di Klaten, satu owa Jawa (Hylobates moloch) diamankan dari tangan pedagang di hotel.

“Terkait elang laut, permohonan dari JAAN, karena punya pusat rehabilitasi elang di Pulau Kotok Kepulauan Seribu, akan dikirim ke sana. Kita sudah mengirim surat ke Dirjen KSDAE karena itu antarprovinsi. Nanti koordinasi, serah terima dengan BKSDA Jakarta. Untuk sementara kita masih menunggu surat persetujuan dirjen segera translokasi ke Pulau Kotok.”

 

 

Heru menerangkan, satwa titipan itu sudah hampir sebulan dirawat di BKSDA. Menunggu proses administrasi selesai, satwa mendapatkan pakan sesuai kepeluannya.

“Elang laut kita kasih lele, alap-alap kasih burung kecil seperti emprit, gereja, tikus putih. Untuk landak kita kasih umbi-umbian.”

Penelusuran Mongabay, mudah mendapatkan penawaran jual beli satwa liar dilindungi lewat media sosial seperti Facebook.

Dengan memasukkan kata “jual elang” di kolom pencarian, misal, akan mendapatkan tak kurang dari 60 grup jual beli. “Jika masing-masing grup beranggotakan 5.000 orang, tidak kurang ada 300.000 orang. Padahal ada grup yang sampai beranggotakan lebih 21.000, seperti grup “jual beli elang dan owl bandung dan sekitarnya.”

Suharman mengakui, jual beli satwa dilindungi lewat media sosial memang marak akhir-akhir ini. Kesadaran menyerahkan satwa dilindungi kepada pemerintah (BKSDA) juga meningkat.

“Untuk Jateng, hampir tiap hari ada penyerahan burung. Kadang ada juga buaya. Jadi masyarakat mulai paham untuk menyerahkan ke BKSDA,” kata Suharman.

 

 

Bagaimana kesiapan tempat?

Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menyerahkan satwa liar dan dilindungi ke BKSDA membawa konsekuensi kesiapan tempat bagi satwa-satwa titipan.

“Yang paling sering itu ya elang, buaya. Orangutan, pernah juga. Monyet ekor panjang, meski tidak dilindungi kalau diserahkan ya kita terima,” katanya.

“Kalau buaya ada unit penangkaran satwa buaya di Banyumas. Setiap ada penyerahan atau sitaan kita serahkan ke sana, kita titip rawatkan ke sana.”

Unit penangkaran yang dimaksud adalah penangkaran buaya milik warga dan satu-satunya yang berizin di Jateng. Lokasi di Desa Dawuhan Kulon, Kedungbanteng, Banyumas.

Melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P19/2005, dengan izin khusus warga bisa mengusahakan unit penangkaran tumbuhan dan atau satwa. Hasilnya,  bisa diperjualbelikan atau tujuan komersial lain.

“Yang ramai akhir-akhir ini elang dan buaya. Kita ada kendala itu. Di lembaga-lembaga konservasi di daerah kapasitas sudah penuh,” katanya.

 

Landak sitaan di Jawa Tengah. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Soal keterbatasan lembaga konservasi, katanya, satwa yang diserahkan ke BKSDA akan titip rawat ke lembaga-lembaga konservasi yang masih bisa menampung.

“Pertama-tama kita tawarkan ke teman-teman lembaga konservasi. Ada lembaga konservasi Agrowisata Sidomuncul, Taman Margasatwa Mangkang, Taman Satwa Jurug, Batang Dolphin Center, Wersut Seguni Kendal. Kita utamakan itu. Selama ini tertampung di situ. Kalau elang, sebetulnya banyak yang bisa menampung.”

Dia bilang, kalau penampungan di lembaga konservasi memang sudah kelebihan muatan. “Tempat penangkaran di Banyumas masih bisa.”

 

Penangkaran

Untuk mengurangi penangkapan satwa di alam liar, dan menekan perdagangan ilegal satwa dilindungi, Suharman sepakat memperbanyak unit penangkaran. Seperti yang berkembang di Klaten, kota “satelit” Solo yang menjadi salah satu pusat perdagangan burung terbesar di Indonesia.

“Yang berkaitan dengan dengan kita, satwa yang dilindungi seperti jalak Bali, jalak putih. Untuk jalak Bali sudah lebih dari 180 penangkar di Klaten.”

Dia bilang, penangkaran burung di Jateng berkembang pesat. Klaten bahkan mendeklarasikan diri sebagai kota penangkar burung Nusantara. Jenis burung paling banyak ditangkar selain jalak Bali adalah jalak suren, cucak rowo, murai batu, kacer, paruh bengkok. Hanya,  sampai saat ini belum ada izin penangkaran elang.

“Kalau jalak Bali, jalak putih, kalau niatnya mau menangkarkan, kebijakan kita itu kita bina. Karena kita yakin mereka tidak mengambil di habitat alami. Tapi kalau niatnya jual beli satwa dilindungi secara gelap, apalagi sudah menggunakan medsos, nawar-nawarin, kita proses.”

Strategi pelestarian dengan mengembangkan penangkaran ini cocok dilakukan di Pulau Jawa karena pasar burung terkonsentrasi di sini.

“Mau tidak mau, suka tidak suka, pecinta burung itu pasti ada dan banyak. Penggemar burung terus meningkat. Di Jawa atau di Indonesia. Ini sudah menjadi budaya,” katanya.

“Kita ditugasi mengelola satwa liar dilindungi mau seperti apa. Kalau di Jawa, ya penangkaran. Sementara di habitat aslinya, di alam liar sebaiknya ditingkatkan penjagaa.” ,” katanya sembari menunjukkan print out berita apresiasi Jokowi terhadap penangkar burung yang dikeluarkan Biro pers Istana Kepresidenan.

“Paruh bengkok sudah ditangkarkan besar-besaran di Filipina. Kenapa kita hanya impor? Untuk mengimbangi permintaan penghobi ya penangkaran dimajukan.”

 

Elang laut sitaan di Jawa Tengah. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version