Mongabay.co.id

Kasus PT. Kallista Alam: Mantan Hakim Tinggi Sebut Tidak Ada Gugatan Setelah Putusan Tetap

Sidang gugatan PT. Kallista Alam terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ketua Koperasi Bina Usaha, Kantor BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh masih berlanjut di Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh.

Pada sidang ke-13 gugatan yang digelar 29 Maret 2018, KLHK menghadirkan tiga saksi fakta dan satu saksi ahli untuk memberikan kesaksian dan pendapat hukum.

Saksi ahli yang didatangkan adalah mantan Hakim Tinggi Pengawas Mahkamah Agung, Abdul Wahid Oscar. Sementara satu saksi fakta adalah Kasubdit Penyidikan Perusakan Lingkungan, Kebakaran Hutan dan Lahan Dirjen Gakkum KLHK Syaifuddin Akbar yang menjadi penyidik gugatan pidana kasus pembakaran Rawa Tripa oleh PT. Kallista Alam, 2012 silam.

“Eksekusi putusan setelah kasasi harus dilakukan meskipun peninjauan kembali telah disampaikan oleh pihak tergugat,” sebut Abdul yang telah 40 tahun menjadi hakim.

Baca: Eksekusi Kasus PT. Kallista Alam Tak Kunjung Dilakukan, Kenapa?

 

Dukungan penyelamatan Rawa Tripa datang dari para pegiat lingkungan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Abdul juga berpendapat, dalam teori maupun proses peradilan perdata, salah satu sifat putusan hakim atau pengadilan adalah mengikat para pihak, sehingga putusan tersebut harus ditaati. Kedua pihak, baik penggugat maupun tergugat harus tunduk dan patuh.

“Tidak ada satu bukti pun yang dapat membantahnya lagi, begitu putusan inkrah, harus dilaksanakan. Salah atau benar, wajib ditaati. Pihak tergugat maupun penggugat tidak bisa mengajukan gugatan perkara yang sama kembali,” sebut Abdul dalam persidangan yang dipimpin Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh, Said Hasan.

Abdul menambahkan, yang bisa mengajukan gugatan terhadap masalah yang sama adalah pihak ketiga yang tidak terkait dengan gugatan pertama. Ini negara hukum, kedua pihak harus patuh terhadap hukum yang telah ditetapkan.

“Meskipun ada hal atau bukti baru, para pihak tetap tidak bisa mengajukan gugatan lagi,” ujarnya.

Abdul menambahkan, dalam gugatan perdata yang menyangkut perbuatan melawan hukum, yang dititikberatkan adalah kerugian yang timbul. Baik itu ekonomi, ekologi, maupun ekosistem.

Dalam kasus lingkungan, yang dilihat adalah sengketa kerugian akibat kerusakan. Maka, yang harus dibuktikan adalah kerugian yang terjadi. Tidak penting dimana kerusakan itu, kapan tergugat berbuat, yang penting adalah tergugat berbuat atau tidak.

“Ada izin atau tidak juga tidak masalah, yang penting adalah akibat perbuatan itu ada kerugian,” ungkapnya.

Baca: Tidak Terima Putusan Pengadilan, PT Kallista Alam Balik Gugat Pemerintah

 

Rawa Tripa terus menghadapi ancaman, mulai dari perambahan hingga pembukaan perkebunan sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, Kasubdit Penyidikan Perusakan Lingkungan, Kebakaran Hutan dan Lahan Dirjen Gakkum KLHK Shaifuddin Akbar dalam keterangannya menyebutkan, dirinya turun langsung ke hutan gambut Rawa Tripa yang dibakar oleh PT. Kallista Alam.

“Pembakaran hutan gambut yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser tersebut tidak hanya terjadi sekali. Hasil penyelidikan kami, kebakaran terjadi sejak 2009 hingga 2012,” jelasnya sembari memperlihatkan foto-foto lapangan.

Menurut Syaifuddin, kebakaran itu terencana karena setelahnya ditanam sawit. Bahkan, di beberapa blok, masih ditemukan sisa kebakaran meski telah ditanam sawit.

“Gugatan pidana kasus pembakaran lahan PT. Kallista Alam di hutan gambut Rawa Tripa sudah diputuskan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hukuman yang dijatuhkan adalah membayar denda pidana Rp3 miliar. Selain itu, manajer lapangan perusahaan tersebut dipidana penjara,” tuturnya.

Baca juga: Mahkamah Agung Kembali Tolak Kasasi PT. Kalista Alam, Ini Putusannya

 

Syaifuddin Akbar memperlihatkan foto kebakaran di Rawa Tripa yang dilakukan oleh PT. Kalista Alam. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bersalah

Pengadilan Negeri Meulaboh pada 15 Juli 2014 telah memvonis bersalah PT. Kallista Alam karena membakar lahan gambut Rawa Tripa seluas 1.000 hektar di Suak Bahong, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, Aceh, pada 2009-2012. Perusahaan ini juga diwajibkan mengganti rugi materil sebesar Rp114 miliar ke negara dan harus membayar dana pemulihan lahan Rp251 miliar.

Tidak terima dengan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Meulaboh tersebut, PT. Kallista melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Aceh, namun ditolak pada 19 November 2014. Tidak puas dengan hasil banding, perusahaan ini malah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang lagi-lagi ditolak pada 15 Agustus 2016.

Selanjutnya, pada 18 April 2017, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali (PK) kasus yang diajukan PT. Kallista Alam. Sementara, pada 8 Februari 2017, KLHK telah mengajukan teguran kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh dengan surat Nomor: S-24/PSLH/GKM.1/02/2017 untuk segera mengeksekusi putusan pengadilan tersebut.

Dalam perkembangannya, PT. Kallista bukannya membayar sejumlah denda yang diwajibkan tersebut, tapi malah menggugat beberapa lembaga pemerintah, salah satunya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

 

Exit mobile version