Mongabay.co.id

Fokus Liputan: Sawit Masuk Gane Koyak Persaudaraan, Warga pun Panen Derita (Bagian 2)

Tampak perkebunan sawit memenuhi hamparan begitu luas, hingga pebukitan di Gane. Foto: mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Pandangan Salmin Fara,  menerawang. Sebatang tembakau gulung tampak terjepit di antara telunjuk jari tengah. Sesekali asap rokok gulung mengepul menutupi wajahnya.

Ayah lima anak ini menarik napas panjang lalu berbicara pelan.  ”Anak cucu kami kelak akan sangat kesulitan  mendapatkan lahan bertani,” katanya.

Dia mengeluhkan lahan mereka sejak kehadiran perusahaan sawit di Desa Gane Dalam Gane Barat Selatan, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Baca juga: Fokus Liputan: Ironi Sawit di Negeri Giman (Bagian 1)

Salmin khawatir hidup mereka hingga anak cucu menderita. Salmin pun berjuang menolak kehadiran perusahaan perkebunan sawit, PT Gane Mandiri Membangun (GMM), anak usaha Korindo Grup, yang masuk kampung itu.

“Saya rela menantang investasi sawit ke kampung, bahkan rela ditangkap polisi. Semua ini saya lawan mengingat nasib anak cucu kami di kemudian hari,” katanya.

Dulu, mereka bisa tenang bercocok tanam dari berkebun kelapa, sampai pala maupun sayur mayur, macam, cabai tomat, pisang  dan lain-lain. Kini, sebagian lahan tani warga menjadi sawit karena jadi ‘milik’ perusahaan.

Salmin,  salah  satu  orang yang ikut gerakan penolakan ketika perkebunan sawit masuk Gane Dalam.

Warga setempat menyebut kelompok yang menolak itu sebagai  penentang perusahaan.   Mereka ada 42 keluarga. Mereka berjuang tak kenal lelah mempertahankan kebun pala dan kelapa agar  tak dicaplok  perkebunan sawit.

Mereka yang setuju investasi sawit sekitar 412 keluarga,  sebagian besar telah menyerahkan lahan kelola yang berisi kelapa, cengkih maupun lahan kosong (jorame) biasa untuk tanaman bulanan.

Menurut Salmin, dari  42 keluarga itu beberapa dari mereka pernah ditangkap polisi karena dituding menghalang-halangi operasi perusahaan. Dia, salah satu yang ikut boleh balik diperiksa polisi.

Kala itu, mereka menghadang penggusuran perusahaan di lahan warga bernama Sanusi.  Belasan orang ini ditangkap dan dibawa ke Labuha Bacan sampai proses pengadilan.

Meskipun begitu, perjuangan warga tak surut. Mereka bersuara dan pun berakhir dengan kemenangan  warga di Pengadilan Negeri Labuha pada September 2013. Mereka diputus bebas dari jerat hukum.

 

Para perempuan Gane Dalam yang baru pulang dari bekerja di perusahaan sawit, jelang sore. Mereka adalah buruh kasar sebagai pembersih gulma di perkebunan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Pro kontra warga

Pada masa-masa itu, warga penolak perusahaan sawit, tak hanya dapat intimidasi dari aparat, juga sesame warga. Gara-gara sawit ini, perseteruan antarwarga terjadi, meskipun kini mulai reda. “Ini tergambar dari hubungan kekeluargaan hingga urusan keagamaan juga ikut renggang.”

Sebagai contoh,  awal- awal perusahaan sawit, GMM, beroperasi,  di Desa Gane Dalam, hubungan kakak beradik tak akur, jalinan kekeluargaan renggang.

“Kehidupan kami di  Desa Gane Dalam, tak seperti dulu lagi. Bayangkan, kakak beradik  atau sepupu saja  saling mengadukan  ke polisi.”

Dia bilang,  yang melaporkan warga penolak hingga ditangkap polisi dan dipenjara itu kakak beradik mereka sendiri.

Kala itu, katanya, ada sembilan warga pendukung  perusahaan melaporkan mereka. “Nama ini terungkap di pengadilan.  Bukan perusahaan yang melaporkan kami,” kisah Salmin, mengenang masa itu.

Dia sedih karena ingin melawan perusahaan yang semena-mena menggusur lahan tetapi harus berhadapan dengan keluarga sendiri. “Kita sendiri bingung karena sembilan nama warga Gane Dalam melaporkan kami. Saya sendiri belum bisa terima baik.”

Konflik horizontal, antarwarga ini berimbas sampai pada urusan  keagamaan. Semisal tahlilan, katanya, keluarga yang meninggal tak lagi saling mengunjungi. Bahkan,   dalam beribadah tidak akur seperti dulu lagi.

Akhirnya,  42  keluarga penentang perusahaan pun bersepakat membangun mesjid sendiri.  Mereka mendirikan mesjid yang kini hampir rampung agar berpisah dengan pro perusahaan.  “Masjid baru itu kami bangun dengan perkiraan anggaran Rp3,5 miliar. Saat ini pembangunan sudah habiskan Rp1,5 miliar,” katanya.

Uang bangun masjid ini, mereka peroleh dari patungan dan kerjasama warga penolak perusahaan sawit dengan berbagai pihak.

Sengketa antarwarga gara-gara kehadiran sawit, juga berimbas pada hal lain. Baru-baru ini, katanya,  ada proyek listrik PLN masuk Desa Gane Dalam ditolak warga pro perusahaan. Mereka menganggap listrik  itu upaya dari pihak kontra perusahaan sawit.

Mereka tak mengizinkan pemancangan tiang listrik dekat rumah warga pro sawit.  Beruntung  ada penjelasan  dan sosialisasi  dari  berbagai pihak, hingga  warga bisa menerima.

Dalam kurun hampir delapan tahun ini, katanya, kerenggangan hubungan di masyarakat terasa antara pihak kontra dan pro. Meskipun, kini tensi konflik mulai menurun, para pendukung sawit, sudah tak lagi memprovokasi seperti awal perusahaan mulai operasi.

“Ini setelah warga menemukan banyak fakta ternyata    sejahtera yang mereka idamkan belum juga  dirasakan. Yang terjadi malah sebagian besar warga  kehilangan lahan,” katanya.

Di Desa Gane Dalam,   sebagian lahan kebun habis terbeli perusahaan.  Kasus sama terjadi di Sekeli, Yamli dan Gane Luar. Bahkan,  ada petani   terpaksa menjual habis  lahan dan  keluar dari kampung.

Arifin, warga Desa Yomen, terpaksa menjual kebun pala dan  kelapa sekitar 10 hektar lalu keluar dari kampung, kini pindah ke Tidore.  Kebun pala ada ribuan pohon dan   sudah berbuah.

Arifin diduga kecewa karena upaya mempertahankan kebun dari perusahaan tak mendapat dukungan warga.  Warga lain sudah menjual lahan terlebih dahulu.

“Dia tak punya pilihan lain. Bertahan juga kebun kelapa dan pala ikut rusak karena itu dia menjualnya,” kata Ruslan Mahmud, Ketua BPD Desa Sekeli.

Arifin, katanya, memilih tak menjual ke perusahaan tetapi kepada salah satu pengusaha di Desa Gane Dalam  seharga Rp185 juta.

“Dia tak mau menjual ke perusahaan tetapi kepada warga yang mampu membeli.”

Walau tak mudah bagi warga terus mempertahankan lahan hidup kala berhadapan dengan perusahaan, mereka terus bertahan dan melawan.

”Kenapa kami harus bertahan?  Karena yang kami ingat anak cucu nanti.  Jika dijual habis, anak cucu kami akan datang  berperang karena tak punya lahan lagi untuk berkebun,” kata Umar,  ketua kelompok penentang perusahaan.

Dia menduga, sebagian warga menjual lahan karena sudah berusia tua atau menginjak usia 50 tahun hingga tak berpikir punya kebun. “Saya  tetap mempertahankan berkebun karena di situlah bergantung generasi ke depan,” katanya.

 

Pekerja panggul sedang membawa kelapa kopra. Kelapa adalah salah satu produk andalan daerah ini, yang mulai menipis karena kebun berganti sawit. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Hasil pahit

Setelah hampir lima tahun perkebunan sawit Korindo masuk, nasib warga bukan makin baik. Harapan mendapat sejahtera, malah datang nestapa.

“Banyak warga terlalu berharap lebih. Misal, setelah masuk perusahaan akan sejahtera,  ternyata tidak. Ini karena awal kedatangan perusahaan menjanjikan muluk-muluk. Hasil, jauh dari harapan,” kata Umar.

Kenyataan, perusahaan sawit masuk, sebagian warga jual lahan, dan tak miliki ruang bercocok tanam lagi. Mereka yang bekerja di perusahaan pun, sudah ada yang diberhentikan. Belum lagi, lahan warga yang terampas hingga tak bisa berkebun lagi.

“Banyak warga bekerja di perusahaan sudah berhenti.  Ada yang  dicutikan, ada yang memilih keluar sendiri.”

Pendapatan merekapun tak seberapa dari sawit. Rata-rata mereka buruh kasar yang membersihkan gulma dan rumput di perkebunan sawit. Setingkat mandor,  hanya ada dua orang.

“Untuk membersihkan rerumputan dan gulma per pohon Rp1.800, sebelumnya  hanya Rp300-Rp500,” kata M Taher,  warga Sekeli.

“Kami bersyukur ada kenaikan upah untuk pekerja kasar seperti kami,” katanya.

Di kampung itu, ada sekitar 70 orang bekerja di perusahaan, mayoritas buruh kasar upah harian lepas.

Kasus di beberapa desa sekitar perkebunan sawit hampir mirip.  Warga sebagian besar jadi pekerja kasar. Mereka membersihkan gulma di dalam perkebunan sawit atau pekerjaan lain di lapangan seharian penuh.

Begitu juga warga menjual kebun mulai  bingung. Awalnya , mereka berharap bisa mendapatkan pekerjaan layak kenyataan sebaliknya. Kini, sebagian warga hanya sebagai kuli panggul atau pekerja bangunan di Ternate dan beberapa daerah lain di Maluku Utara.  Sebagian warga lain bahkan hanya berdiam di rumah.

Buruh harian perusahaan dari  Gane Dalam, kebanyakan perempuan. Ibu- ibu  ini sebagai  pembersih lahan  dari gulma dan tumbuhan pengganggu lain.

“Pekerjaan kami membersihkan reremputan pengganggu tanaman sawit.  Bekerja berdasarkan blok di mana kami bekerja. Dalam satu blok bisa ada 10 sampai 15 orang dengan satu mandor,” kata Jamila, buruh sawit di Desa Gane Dalam.

Gaji mereka tergantung banyak pohon dibersihkan sesuai blok masing-masing.   “Pendapatan kita tidak  menentu tergantung kemampuan membersihkan tiap tanaman.     Kadang  di atas Rp1 juta,  kadang lebih bahkan kadang kurang.”

Dengan pendapatan seperti itu,  kadang dibawa pulang ke rumah juga kurang karena sebelum bekerja mereka sudah mengambil  barang keperluan seperti beras dan lain-lain di kantin.

“Kadang sebulan bisa dibawa pulang ke rumah  Rp1 juta lebih bahkan kadang kurang karena sudah dipotong pengambilan di di kantin perusahaan,” katanya.

Di Desa Gane Dalam,  awalnya warga bekerja  di perusahaan sekitar 80 orang.  Kini, sudah banyak berhenti. “Ada sekitar 30 orang tidak lagi bekerja,” kata Kepala Desa Gane Dalam,  Risman  Alhaji.

Dia tak tahu pasti  alasan mendasar mereka behenti. Informasi warga di desa, katanya, pekerja itu  ada yang berhenti dan sebagian dirumahkan sementara dengan janji dipanggil kembali.

Sayangnya,  sudah hampir setahun tak lagi dipanggil perusahaan.  “Inilah salah satu kami menolak selama ini karena sesungguhnya perusahaan tak memberikan kesejahteraan apa-apa,” ucap Umar.

Beberapa pekerja coba saya konfirmasi. Mereka mengatakan, masih menunggu perusahaan memanggil untuk bekerja lagi.

“Kami masih menunggu karena janji dipanggil kembali setelah diistrahatkan,” kata Jamila, pekerja yang dirumahkan perusahaan. Meski tak tahu kapan bakal dipanggil kembali tetapi dia tetap menunggu pemanggilan.

Berbeda dengan warga di  Desa Gane Luar,  Kecamatan Gane Timur Selatan, juga masuk konsesi GMM.

Di desa ini, sebagian besar warga menolak sawit masuk ke perkebunan kelapa maupun pala mereka. Perlawanan terhadap masuknya sawit di desa ini secara terbuka.

Kini, kebun sawit berada di belakang desa berjarak sekitar tiga kilometer lagi dari perkebunan warga, namun mereka sudah menyatakan menolak keras.

“Kami terbuka menolak perusahaan sawit karena lahan  kebun dan hutan akan habis,” kata Sukri Saleh, Sekretaris Desa Gane Luar.

Warga desa ini juga menolak upaya perusahaan jadikan mereka sebagai petani plasma. “Kami masyarakat menolak tegas inti plasma perusahaan,” katanya. (Bersambung)

 

Foto utama: Tampak perkebunan sawit memenuhi hamparan begitu luas, hingga pebukitan di Gane. Foto: mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Akses atau jalan penghubung antar Gane Barat Gane Timur Selatan masih jalan tanah. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version