Mongabay.co.id

Indonesia Berkomitmen Melindungi Hak Asasi Manusia Nelayan. Seperti Apa?

Nelayan di kawasan Asia Tenggara termasuk pekerjaan berisiko tinggi menjadi korban perdagangan manusia, eksploitasi tenaga kerja, dan perbudakan. Karena itu, Indonesia berkomitmen melindungi hak asasi manusia (HAM) nelayan, secara legal maupun dalam praktik di lapangan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyampaikan komitmen itu dalam sambutan penutupan Forum Konsultasi Regional Kerja Sama Melawan Perdagangan Manusia, Eksploitasi Tenaga Kerja, dan Perbudakan di Laut di Kuta, Bali pada Rabu (28/3/2018) lalu. Mas Achmad Santosa, Koordinator Staf Khusus Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang lebih dikenal dengan nama Satgas 115, membaca sambutan mewakili Susi yang tidak bisa hadir.

Forum Konsultasi Regional diadakan oleh Badan PBB untuk Pekerja (ILO) bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Maritim (Kemenko Maritim) selama dua hari pada 27-28 Maret 2018. Sepuluh negara anggota ASEAN menghadiri pertemuan yang dihadiri wakil pemerintah, pengusaha, serikat pekerja, dan organisasi masyarakat sipil itu. Pada hari terakhir, forum mengeluarkan konsensus untuk melindungi pelaut, termasuk nelayan.

baca : Riset: ASEAN Belum Melindungi ABK di Kapal Penangkap Ikan

 

Mas Achmad Santosa, Koordinator Satgas 115 dalam acara Forum Konsultasi Regional Kerja Sama Melawan Perdagangan Manusia, Eksploitasi Tenaga Kerja, dan Perbudakan di Laut di Kuta, Bali pada Rabu (28/3/2018) menegaskan komitmen Indonesia dalam melindungi HAM nelayan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Forum Konsultasi di Bali pada akhir Maret lalu merupakan pertemuan pertama ILO di Asia Tenggara untuk membahas isu perlindungan HAM bagi nelayan.

Indonesia, menurut Achmad Santosa, termasuk pihak yang kini meneguhkan komitmen untuk melindungi hak-hak dasar pelaut. Salah satu upaya teknis yang sedang dilakukan KKP adalah mengembangkan sistem deteksi dini untuk mencegah perdagangan manusia. Sistem yang dikembangkan bersama Organisasi Migrasi Internasional (IOM) ini untuk memfasilitasi komunikasi antara calon korban perdagangan manusia dengan pelabuhan terdekat.

“Sebagaimana seringkali terjadi dalam perdagangan manusia di sektor perikanan, kami sadar bahwa komunikasi menjadi salah satu hambatan dalam investigasi, terutama untuk mengidentifikasi para korban,” kata Santosa.

Ketika sistem deteksi dini masih dikembangkan, Indonesia juga dalam upaya meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan di Sektor Perikanan. Kementerian Perhubungan aktif terlibat memberikan data terkait industri perikanan. “Ratifikasi Konvensi ILO 188 menjadi prioritas pemerintah saat ini untuk mengatasi perdagangan manusia di industri perikanan,” ujar Santosa.

Ketika proses meratifikasi Konvensi ILO 188 sedang berjalan, Menteri KP mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No.42/Permen-KP/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan. Menurut Permen ini, pelaku industri harus memastikan jam kerja maksimal kerja di laut adalah delapan jam, memastikan usia pekerja minimal 18 tahun, dan menjamin asuransi untuk semua pekerja.

baca : Tekad Indonesia Hapuskan Praktek Perdagangan Manusia dalam Industri Perikanan

 

Anak buah kapal membongkar ikan tuna beku di Pelabuhan Benoa, Bali. ABK termasuk yang rentan menjadi korban perdagangan manusia dan eksploitasi tenaga kerja. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Rentan Menjadi Korban

Santosa menambahkan Menteri KP juga sudah mengeluarkan Permen untuk melindungi HAM pekerja sektor perikanan yaitu Permen No.35/2015 tentang Sistem HAM dan Sertifikasi untuk Usaha Perikanan serta Permen No.2/2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM bagi Usaha Perikanan. “Melalui Kebijakan Sertifikasi HAM bagi industri perikanan, Indonesia berharap menjadi negara pertama yang memiliki sertifikasi HAM untuk produk perikanan laut,” Santosa menambahkan.

Sertifikasi itu, menurut Santosa, akan memberikan nilai tambah bagi ekspor perikanan Indonesia dari sisi keterlacakan sehingga meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia di dunia. Nantinya, kebijakan perlindungan HAM di kalangan nelayan ini juga akan diintegrasikan dengan amandemen Undang-Undang Perikanan untuk memastikan agar industri perikanan sesuai dengan prinsip bisnis dan HAM.

Selama ini, pekerja di laut termasuk nelayan, memang termasuk kelompok rentan yang menjadi korban perdagangan manusia, eksploitasi tenaga kerja, dan perbudakan. Salah satu contoh adalah praktik perbudakan di Benjina dan Ambon, Maluku. KKP dan media Associated Press mengungkap praktik perbudakan dengan korban warga negara asing (WNA) dari Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Laos.

baca : Pemerintah Bentuk Tim Khusus Tangani Perbudakan di Benjina

 

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Pengungkapan pada 2015 silam itu berlanjut dengan pengadilan terhadap delapan pemilik kapal, termasuk manajer perusahaan. Mereka dihukum penjara tiga tahun dan denda sekitar Rp160 juta per orang. Lima kapal yang mempekerjakan nelayan-nelayan korban itu telah ditenggelamkan. Sebanyak 1.342 nelayan korban perdagangan manusia juga sudah dikembalikan ke negara masing-masing.

Selain nelayan WNA, Indonesia juga berusaha mengembalikan nelayan warga sendiri yang menjadi korban perdagangan manusia di kapal asing. Salah satunya, pada Juli 2016, Satgas 115 bersama Kementerian Luar Negeri mengembalikan nelayan Indonesia korban perdagangan manusia di Dargahan, Iran. Pengadilan telah menghukum perusahaan tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan penjara tiga tahun dan denda Rp120 juta.

Berdasarkan data Kemenko Maritim, saat ini setidaknya terdapat 850.000 TKI yang bekerja di industri pelayaran, di mana 50 persen di antaranya termasuk nelayan. Seperti nelayan-nelayan lain di dunia, mereka juga rentan menjadi korban perdagangan manusia, eksploitasi tenaga kerja, dan perbudakan.

Menurut Laporan ILO yang dipublikasikan untuk Forum Konsultasi di Bali, nelayan Asia Tenggara menghadapi kondisi bekerja yang berbahaya. Penyebabnya antara lain jam kerja yang panjang dan tidak menentu karena tempat kerja dan tempat istirahatnya sama, kondisi cuaca dan alam yang kadang-kadang ekstrem, serta lingkungan laut yang berisiko tinggi. ILO bahkan pernah mengungkapkan data bahwa setiap tahun setidaknya 24.000 nelayan mati saat bekerja.

baca : Indonesia Wajibkan Pelaku Industri Perikanan dan Kelautan Miliki Sertifikat HAM

 

Proses pemulangan lima dari tujuh nelayan warga Desa Maginti, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara pada 26 Mei 2017. Mereka merupakan ABK KM Koguno yang berbendera Indonesia dan ditangkap oleh otoritas Australia karena tuduhan melakukan kegiatan penangkapan ikan tanpa ijin di perairan Australia. Foto : Dirjen PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Michiko Miyamoto, Country Director ILO di Indonesia menyatakan semua pelaut, baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di kapal, sering menerima kondisi tidak bagus dalam pekerjaannya. “Di sisi lain, banyak perusahaan di industri perikanan juga belum memiliki standar layak untuk pekerjanya,” kata Michiko.

Parahnya lagi, dia menambahkan, belum ada satu pun platform atau mekanisme untuk melindungi pekerja industri perikanan di kawasan Asia Tenggara.

 

Pendekatan Regional

Untuk itulah, menurut Michiko, Forum Konsultasi di Bali mendorong agar negara-negara anggota ASEAN mulai menjadikan isu perlindungan nelayan sebagai prioritas. Salah satu caranya dengan meratifikasi Konvensi ILO 188. Selama Forum Konsultasi, para pihak membuat kesepakatan tak mengikat (konsensus) untuk melindungi HAM nelayan secara bersama-sama.

Setelah adanya konsensus, para pihak akan melanjutkan dengan pertemuan lebih teknis oleh satgas masing-masing pihak yaitu pemerintah, sektor swasta, serikat pekerja, dan organisasi masyarakat sipil.

Konsensus itu akan menjadi acuan pula bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk bekerja sama di tingkat regional. Menurut Michiko, pendekatan regional dalam perlindungan nelayan ini penting karena karakter kapal penangkap ikan yang bergerak dari satu negara ke negara lain. “Penting agar negara-negara di kawasan ini berada pada tujuan sama untuk melindungi pekerja (di industri perikanan),” tegasnya.

baca : Sepenting Apakah Perlindungan Internasional untuk ABK Indonesia di Luar Negeri?

 

Nelayan Bajo Sangkuang saat menarik ikan. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Mas Achmad Santosa menambahkan kerja sama untuk melindungi nelayan juga penting dilakukan di tingkat global oleh organisasi-organisasi internasional, seperti FAO, ILO, IOM, dan Interpol. FAO bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya perikanan, ILO dan IOM terkait dengan perikanan dan buruh migran, serta UNODC dan Interpol memimpin penegakan hukum.

“Semua pihak ini harus bekerja sama untuk mendorong agar semua negara memberika perhatian lebih besar untuk melindungi HAM dalam industri perikanan,” kata Santosa.

“Dengan melindungi dan menghormati HAM pekerja dalam industri perikanan, kita akan memberi produk laut yang dikelola secara bertanggung jawab kepada dunia, tanpa adanya perdagangan manusia, perbudakan, ataupun pelanggaran HAM lainnya. Kita harus selalu mengingat di balik makanan laut yang kita nikmati, terdapat keringat, air mata, dan kerja keras para nelayan,” Santosa menegaskan.

 

Exit mobile version