Mongabay.co.id

KKP : Teluk Balikpapan Bukan Kawasan Konservasi

Kawasan perairan di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur yang menjadi lokasi tumpahan minyak mentah jenis solar milik Pertamina, dipastikan bukan kawasan konservasi perairan yang dikelola Pemerintah Indonesia ataupun pihak lain. Meski demikian, Pemerintah memastikan terus menangani kasus tersebut dengan komprehensif dan melibatkan berbagai sumber daya yang ada.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Andi Rusandi menjelaskan, kasus tumpahnya minyak di perairan Kota Balikpapan itu, menjadi bencana yang harus ditangani bersama. Kejadian tersebut, bisa mengancam keberlangsungan ekosistem dan biota laut yang ada di dalam perairan tersebut.

“Tak hanya itu, sebagai bencana ekologi nasional, tumpahan minyak di Teluk Balikpapan juga bisa mengancam masyarakat pesisir yang menjadi stakeholder sektor perikanan dan kelautan di Balikpapan,” jelas dia kepada Mongabay, Rabu (5/4/2018).

baca : Kebakaran di Teluk Balikpapan, Bencana Lingkungan yang Harus Diusut Penyebabnya

 

Tim penanganan terus bekerja mengupayakan minyak tumpah tak terus meluas. Foto: Facebook KLHK/ Mongabay Indonesia

 

Akan tetapi, menurut Andi, untuk mengukur sejauh mana ancaman yang mengintai di kawasan perairan dan sekitarnya itu, sebaiknya dilakukan pemantauan secara langsung oleh tim ahli. Untuk itu, KKP melalui Balai Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir (BPSLP) Pontianak bersama tim yang dari instansi lain, melakukan pengukuran dan pemantauan ancaman dan dampak kerusakan yang ditimbulkan.

“Kita sedang pantau apa yang rusak di bawah perairan tersebut. Apakah ada mangrove atau lamun yang terkena dampaknya. Atau, biota laut apa saja yang bisa terdampak dan sudah terkena dampaknya. Selain pesut yang menjadi mamalia air tawar dan ada di Teluk Balikpapan, kita akan cari biota laut apa lagi,” jelas dia.

Mengingat semua proses yang berjalan harus diberikan waktu yang cukup, Andi meminta publik bersabar dengan hasil yang akan didapat nantinya. Bagi dia, sekarang adalah bagaimana publik untuk sama-sama saling memberi pemahaman tentang bencana tersebut dan bukan saling menghujat ataupun menjatuhkan.

“Ini adalah bencana. Sekarang bagaimana kita mengatasinya. Kita harus satukan kekuatan kita,” tutur dia.

baca : Tumpahan Minyak Pertamina di Teluk Balikpapan Cemari 7.000 Hektar Area

 

Air laut yang hitam karena tumpahan minyak. Foto: Facebook Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

Diketahui, bencana ekologi berupa tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, terjadi setelah pipa bawah laut terminal Lawe-lawe mengalami putus ke arah fasilitas refineery PT Pertamina. Pipa yang putus tersebut kemudian menyemburkan minyak mentah dan mengotori kawasan perairan yang luasnya menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencapai 7.000 hektare.

Dari hasil investigasi yang dilakukan tim KLHK, tumpahan minyak mentah tersebut diketahui sudah mengotori kawasan pantai di sisi kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir dengan panjang mencapai 60 kilometer. Tak hanya itu, akibat bencana tersebut, manusia dan biota laut dikabarkan ikut menjadi korban. Tercatat, ada lima orang yang meninggal dan sedikitnya satu individu pesut mati.

Dari keterangan KLHK, akibat tumpahan minyak tersebut, warga di kawasan pesisir tersebut mulai mengalami gangguan kesehatan seperti mual dan pusing yang diakibatkan bau menyengat dari minyak. Kemudian, yang tidak kalah penting, KLHK melaporkan ada kerusakan ekosistem mangrove di sejumlah lokasi.

Rinciannya, mangrove yang mengalami kerusakan adalah 34 ha di Kelurahan Kariangau, 6.000 mangrove di Kampung Atas Air Margasari, dan 2.000 bibit mangrove mili warga kampung Atas Air Margasari. Kemudian, dilaporkan juga ada kepiting mati di Pantai Banua Patra yang berlokasi tidak jauh dari permukiman warga.

 

Mangrove yang tercemar tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, Kaltim. Foto : Maulana Malik/Mongabay Indonesia

 

Tumpahan minyak yang mencemari kawasan perairan tersebut, seperti dilaporkan KLHK, juga membuat permukiman warga di Kelurahan Margasai, Kampung Baru Hulu, Kampung Baru Hilir, dan Kariangau terkena dampaknya. Rumah-rumah yang ada di pinggir pantai dan berlokasi di Kecamatan Balikpapan Barat itu, di bawahnya diketahui ada tumpahan minyak.

 

Penegakan Hukum

Bencana mengerikan yang terjadi di pesisir kota terbesar di Kalimantan Timur itu, mendapat sorotan tajam dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Menurut Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, penegakan hukum wajib dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Itu sesuai dengan Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“KIARA melihat bahwa pencemaran laut dan pesisir yang selama ini terjadi telah melanggar hukum sebagaimana yang tekah diatur di dalam Undang-Undang. Pemberian sanksi berat, harus dilakukan karena para pelaku pencemaran laut dan pesisir karena telah terbukti merusak ekosistem dan menghancurkan kehidupan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya laut dan pesisir,” ungkap dia.

 

Mangrove yang tercemar tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, Kaltim. Foto : Maulana Malik/Mongabay Indonesia

 

Susan menyebut, bencana yang terjadi di Teluk Balikpapan bukanlah bencana pertama yang terjadi akibat tumpahan minyak. Dari data KIARA, tercatat selama periode antara 1998 hingga 2017, sudah ada 37 kasus tumpahan minyak mentah di perairan Indonesia. Kasus-kasus tersebut, beberapa di antaranya terjadi di perairan Timor, Nusa Tenggara Timur yang diakibatkan ledakan ladang minyak di Blok Atlas Australia milik Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP).

“Sampai saat ini, kerugian ekologis akibat pencemaran ini belum dipulihkan,” tegas dia.

Tak hanya minyak dari kilang di kilang minyak, menurut Susan, pencemaran laut juga terjadi di perairan Teluk Bayur, Kota Padang, Sumatera Barat pada 2017. Di sana, laut dikotori tumpahan minyak sawit mentah sebanyak 50 ton milik PT Wira Inno Mas. Tumpahan sawit tersebut mengakibatkan hancurnya biota laut yang ada di perairan dangkal kawasan tersebut.

“Yang paling sedih, akibat tumpahan sawit itu, sebanyak 1.000 nelayan tradisional harus mengakhiri profesinya yang sudah digeluti sejak lama di kawasan perairan tersebut,” tandas dia.

Susan mengatakan, pencemaran yang terjadi di Teluk Balikpapan, menjadi catatan penting bagi Negara untuk bisa bersikap lebih tegas kepada para pelaku pencemaran. Tak hanya mengakibatkan kerusakan ekologi, pencemaran tumpahan minyak juga mengakibatkan korban jiwa manusia dan biota laut.

Dari catatan KIARA hingga 2017, Susan menambahkan, sebanyak 979 desa pesisir diketahui mengalami pencemaran air, 204 desa pesisir mengalami pencemaran tanah, dan 1.257 desa pesisir mengalami pencemaran udara. Sumber pencemaran tersebut, disebutkan berasal dari pabrik atau perusahaan-perusahaan yang mengeksplorasi dan atau mengeksploitasi sumber daya laut dan pesisir.

“Berbagai pencemaran yang selama ini terjadi telah menurunkan kualitas perairan di Indonesia. Tak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya laut dan pesisir,” pungkas dia.

Sementara itu, Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Balikpapan Kementerian Perhubungan Sanggam Marihot mengungkapkan, di perairan yang sama, selain terjadi tumpahan minyak, juga di saat yang sama terjadi kebakaran tali kapal tanker. Dua kejadian tersebut, terjadi di wilayah kerja Pelabuhan Semayang, Balikpapan.

Untuk tali kapal tanker yang terbakar, Sanggam menjelaskan, itu adalah milik kapal MV Ever Judger yang diketahui berbendera Panama. Kapal tersebut saat kebakaran diketahui membawa muata batubara. Akibat kebakaran tali kapal, di lokasi saat itu timbul asap hitam yang tebal dan memenuhi kawasan udara perairan tersebut.

“Kapal tersebut memiliki berat 44060 gros ton (GT) dan akan berlayar ke Lumut di Malaysia. Di dalam kapal tersebut, terdapat kru kapal sebanyak 20 orang,” pungkas dia.

 

Exit mobile version