Mongabay.co.id

Merawat Tari Bedeti, Menjaga Tradisi Suku Anak Dalam dari Kepunahan

Nurbaiti, kerap dipanggil dengan Mak Nur, perempuan Suku Anak Dalam (SAD) yang menguasai tari bedeti. Ini tarian yang digunakan dalam beragam ritual SAD. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Seorang perempuan duduk di sebuah balai-balai, tempat duduk tersusun dari beberapa bilah kayu di depan rumah. Berwajah tenang, tampak guratan kecantikan berbaur dalam kerut-merut garis penuaan.

Dialah,  Nurbaiti, kerap dipanggil dengan Mak Nur, perempuan Suku Anak Dalam (SAD) yang mendiami pemukiman Desa Dwi Karya Bakti,  Kecamatan Pelepat,  Kabupaten Bungo, Jambi.

Nurbaiti,  hidup bersama 47 keluarga SAD di Rombong Hari, sehari-hari menggantungkan hidup dengan hasil buruan dan mulai mencoba berkolam ikan lele serta beternak kambing.

Hasil buruan, kini tak lagi bisa jadi andalan memenuhi kebutuhan hidup. Kelompok SAD ini, mencoba mata pencaharian lain. Bongkahan-bongkahan bebatuan berwarna putih, tampak terjemur di beberapa rumah. Mereka menyebutkan kapur ini dari bambu yang dicari di hutan. Pasir ini dihargai cukup tinggi, per kilogram bisa puluhan bahkan ratusan ribu rupiah.

 

***

Mak Nur,  merapatkan kain selempang yang melingkari pinggang. Dia sudah dua hari demam. Badan meriang, panas dingin. Meskipun dia tetap ingin meladeni saya bercerita.

Perempuan berusia 80 tahun ini, salah satu seorang yang menguasai kesenian tari bedeti. ”Tari bedeti ini, satu-satunya seni tradisi yang tertinggal. Dulu, ada pencak silat, sekarang tidak ada satu orang pun bisa lagi. Akhirnya,  pencak silat yang biasa dalam prosesi adat juga turut hilang,” katanya.

Tari bedeti, jenis tarian dalam segala prosesi adat, baik kelahiran, perkawinan maupun prosesi adat lain. Tarian ini bermakna ungkapan doa selamat kepada Sang Pencipta.

Kata Mak Nur, tari bedeti biasa ditarikan berdua hingga lima orang. Ia hanya boleh dilakukan kaum perempuan, baik yang sudah menikah maupun lajang.

Prosesi turun mandi ketika bayi berusia satu bulan pun biasa pakai tari bedeti. Biasa, ada lima penari, termasuk dukun bayi—hanya menggendong bayi sambil bersenandung. Keempat penari, akan menggoyangkan tubuh ke kanan dan kiri seiring dengan lafaz mantra.

Sambil berjalan menuju anak sungai, dari bibir sang dukun terus menyenandungkan mantra-mantra, di sisi sungai sudah menunggu salah satu perempuan yang akan menyambut bayi dan memandikannya.

Penari lain,  akan mengelilingi dukun yang memimpin tarian itu. Mereka mengartikan, empat orang di sekitar dukun adalah orang yang menjaga atau melindungi si dukun ketika mantra-mantra terucap. Ia jadi pilar bagi si dukun agar leluasa menyenandungkan lagu yang bermakna mantra dan permohonan keselamatan.

 

 

Mari…mari langkah belari..dingen ke jum mandi..ngen. Belari surang, belari segalo, duo eng kaki during.. eng kaki bedua . Tai kaki  eng payung telutuk payung..eee. suko jangan diambek suko belik dipalang-palang during..jan ibu ditimpo ibu ditimpo….”

Begitu Mak Nur bersenandung syair tari bedeti. Syair ini terdengar sulit diikuti, meski tak cepat namun senandung itu terdengar lirih dan sedih.

Mak Nur membenarkan, kalau dalam syair itu adalah harapan agar anak terlindungi dari hal-hal buruk. “Syair itu bermakna mengingatkan anak agar mengikuti apa yang dikatakan orang tua. Memohon juga agar anak dilindungi dari bala, penyakit dan hal buruk lain,” katanya.

Kalau untuk prosesi pernikahan, katanya, syair berbeda makna. Biasa mantra bermakna doa panjang umur, murah rezeki dan pernikahan bisa langgeng hingga maut memisahkan. “Bacaan yang lain-lain, kalau tarian serupa saja,” katanya.

Minimnya keinginan generasi muda SAD mempelajari tarian ini membuat Mak Nur khawatir akan hilang menyusul tradisi silat. Mak Nur mencoba mewarisi tarian ini kepada empat anak perempuan yang kini masih sekolah.

“Karena yang mengerti silat ini sudah tak ada lagi, sudah meninggal. Sekarang,  saya sedang mengajarkan empat anak gadis yang masih sekolah untuk belajar tari bedeti.”

Dia berharap,  tarian ini tak punah. Mak Nur terus mengajarkan kepada generasi muda tentang kesenian yang mereka miliki. “Bahasa susah, banyak anak-anak muda tak berminat menghapal syair.”

Padahal,  katanya, kekuatan dari tari bedeti itu adalah syair yang berisi doa dan harapan. Gerakan hanya menari antara tangan dan kaki seiring ke kanan dan ke kiri. “Gerakan tarian ini mudah, yang sulit menghapalkan syair. Semua bisa jika mereka mau belajar,” katanya.

 

Generasi SAD diharapkan mau melanjutkan tradisi, seperti tari bedeti agar tak punah. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Nasib Suku Anak Dalam

Hutan sebagai tempat hidup SAD yang mendiami sepanjang lintas Sumatera,  sudah hilang berganti dengan perkebunan kayu, perkebunan sawit dan kebun skala besar lain, pemukiman, industri, sampai pertambangan.

Dari analisis Citra Satelit tim GIS Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi), tutupan hutan di Jambi 2017,  tinggal 930.000 hektar, hanya 18% dari luas daratan provinsi ini. Kehilangan hutan, tentu berpengaruh pada kehidupan mereka.

Mak Nur menceritakan, bagaimana kesulitan mereka mendapatkan satwa buruan. ”Kadang seminggu mandah (istilah menginap selama perburuan-red) dak dapat juga hewan buruan. Babi pun sekarang mencari harus jauh, sampai ke Tebo,” keluhnya.

Hari, Ketua Rombong SAD di Pelapat menyebutkan,  mereka mulai mengusahakan alternatif sumber penghidupan lain, antara lain ada yang mulai beternak dan bertani.

“Ada sebagian sudah belajar beternak kambing, memelihara ikan, ada juga punya kebun karet. Kami berupaya bertahan hidup dengan kegiatan selain berburu,” katanya.

Pundi Sumatera memberikan pemberdayaan perekonomian melalui sektor lain bagi SAD. Ada 11 kelompok tersebar di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Muaro Bungo dan Dharmasraya yang sudah didampingi.

Sutono, Direktur Pundi Sumatera mengatakan, saat ini sumber penghidupan dari berburu sudah tak mencukupi. “Sudah kebutuhan bagi SAD untuk mendapat sumber penghidupan dari produksi. Untuk masuk sektor produksi barang atau jasa,  perlu waktu lama sampai komunitas SAD menguasai pengetahuannya.”

“Yang paling memungkinkan budidaya pertanian termasuk perkebunan, peternakan dan perikanan. Sektor perkebunan perlu luasan lahan tertentu. Pada rombong yang tak punya lahan,  pilihannya beternak,  perikanan,  dan bertahan di lahan pekarangan,” katanya.

Sargawi, SAD di Satuan Pemukiman, salah satu rombong yang berhasil mengembangkan usaha berternak ikan mengungkapkan pengalamannya.

“Saya pikir awalnya sulit, ternyata panen ikan yang kami peroleh banyak. Kami mendapatkan pengalaman dan pembelajaran baru beternak ikan,” katanya.

 

 

***

Matahari mulai meninggi, Mak Nur dan adiknya memulai memperagakan tari bedeti. Saya sesekali mengikuti gerakan itu, namun tak bisa menyenandungkan syair.

Tari bedeti biasa berdurasi pendek, antara 5-10 menit. Tari ini akan hilang, jika tak diwariskan dari generasi Mak Nur ke generasi anak-nak muda SAD. Selendang saya meliuk-liuk megikuti gerakan tangan seperti yang diperagakan Mak Nur. Liukan dan senandung ini berisi harapan, SAD, atas keinginan diterima dan mendapatkan pengakuan yang sama.

 

 

Foto utama: Nurbaiti, kerap dipanggil dengan Mak Nur, perempuan Suku Anak Dalam (SAD) yang menguasai tari bedeti. Ini tarian yang digunakan dalam beragam ritual SAD. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Keluarga SAD di Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version