Mongabay.co.id

Ketika Komoditas Pertanian Andalan Wajok Hilir Meredup, Ada Apa?

Perkampungan warga di Wajok Hilir, yang berbatasan dengan perusahaan, salah satu PT MSL. Foto udara Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

 

“PT Muara Sungai Landak.” Begitu sebuah papan nama terpampang di pinggir jalan di Wajok Hilir, Kabupaten Mempawah,  Kalimantan Barat. Jalan perusahaan ini juga digunakan masyarakat beberapa dusun sebagai akses mereka ke jalan protokol.

Sisi kiri jalan masuk bertanah merah, pos jaga bercat hijau. Pos tampak kosong.

“Sekitar lima kilometer ke dalam, rumah kepala desa,” kata Nasir Putra, warga Desa Wajok Hilir.

Jalan masuk hanya muat satu mobil. Jika berpapasan dengan motor, masing-masing kendaraan harus hati-hati menepi jika tak ingin masuk ke parit di sisi kanan dan kiri jalan.

Sisi kiri dan kanan jalan didominasi padi tadah hujan, kebun kelapa dan sawit warga. Parit di sebelah kanan, lebih lebar dan dalam. Warna air hitam, khas gambut. Rumah penduduk berjauhan. Beberapa rumah tampak menjemur padi dan pinang.

Padi terjemur di tikar pandan, biasa untuk konsumsi sehari-hari. Pinang dijual ke pasar. “Sekitar Rp10.000 per kilo (gram). Lumayan untuk beli lauk,” kata Nasir.

Mobil tak bisa berpacu kencang. Jalan sempit, banyak warga mencari peruntungan dengan memancing di parit. Hasilnya, dijual.

Para pemancing akan memarkir motor mereka masuk ke semak. Selain demi keamanan, juga tak ingin menghalangi jalan. Biasa mereka mendapatkan gabus.

Rumah Abdul Majid, Kepala Desa Wajok Hilir, lebih besar dari para tetangga. Mobil perusahaan Jepang, terparkir di garasi. Di halaman rumah yang bercor semen, terbentang dua tikar pandan berisi padi.

Ada 14.000 jiwa dan 6.300 keluarga di desa ini. Sesuai nama desanya, mayoritas warga suku Bugis. Mereka adalah perantauan dari Wajo, Sulawesi Selatan. Selebihnya,  ada suku Madura dan Tionghoa.

Desa Wajok Hilir, terdiri dari tujuh dusun yang berbatasan dengan dua korporasi, PT Muara Sungai Landak (MSL)– perusahaan perkebunan kayu  dan PT Mitra Andalan Sejahtera– perusahaan perkebunan sawit.

Belum lama ini, MSL jadi bahan perbincangan. Ia disebut-sebut berelasi dengan APP (Asia Pulp and Paper)—perusahaan yang mempunyai komitmen konservasi hutan—tetapi MSL masih menebang hutan sekitar 13.000-an hektar di Kalimantan Barat.

Pada Desember 2017, investigasi Associated Press (AP) menyebut, menemukan, keterkaitan antara 27 pemasok dan Sinar Mas. Modus gunakan berbagai struktur kepemilikan, diduga untuk menghindari pengelolaan komitmen keberlanjutan atau meminimalisir tanggung jawab perusahaan. Salah satu pemasok yang disebut adalah MSL.

APP mengakui keterlibatan dengan para pemasok ‘independen’ mereka, kecuali MSL. Anak usaha Sinar Mas ini membantah kalau mereka terkait dengan MSL, meskipun dalam laporan AP menemukan si pemilik perusahaan merupakan dua karyawan di Sinar Mas Forestry.

”Jika ada karyawan kami yang terlibat dalam bisnis lain, karena konflik kepentingan yang melanggar kode etik bisnis kami dapat terjadi, kami akan melakukan tindakan disipliner yang dapat mencakup pemutusan hubungan kerja,” kata pernyataan resmi perusahaan.

Di dusun-dusun Wajok Hilir ini, warga pun tahu MSL itu sebagai perusahaan Sinar Mas.

“Katanya Sinar Mas ini kena gambut. Jadi berhenti dulu.” Begitu ucapan Muhamad Nur, warga Wajok Hilir.

Kini, operasi perusahaan setop kemungkinan terkait penerapan aturan gambut oleh pemerintah. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di lahan gambut, wajib merevisi rencana kerja usaha (RKU) sesuai dengan aturan terbaru.

Sejak masuk pada 2009,  disebut-sebut itu perusahaan Sinar Mas. Nur tak tahu mengapa ada penyebutan itu.

 

Tampak asap mengepul di Desa Wajok Hilir, Menpawah, Kalimantan Barat, berdekatan dengan konsesi perusahaan, Maret lalu. Foto udara: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

***

Ada Dusun Nenas, Dusun Padi, Dusun Kopi, Dusun Kelapa, Dusun Palawija, Dusun Cokelat, dan Dusun Keladi. Ketujuh dusun di Desa Wajok Hilir ini bernamakan komoditas andalan daerah masing-masing. “Semua dinamai sesuai hasil pertaniannya,” kata Majid.

Pada era 2000-an, Wajok Hilir terkenal sebagai sentra beragam komoditas, terutama keladi, kelapa dan nenas.

Keladi Wajok bahkan jadi pemasok untuk kripik talas di Bogor era 1990-2000-an. Itu cerita dulu.

Kini, genangan air atau banjir terjadi lebih lama hingga tanamanpun sulit hidup. Wajok sebagai sentra keladi, kelapa dan nenaspun mulai meredup.

Majid enggan menyebutkan kondisi ini karena perusahaan masuk. Dia merasa tak punya kapasitas mengatakan itu. Namun, dia berani menyebut, sejak ada perusahaan di sekitar Desa Wajok, banjir makin parah.

Setelah perusahaan datang, sebagian wargapun bekerja dengan perusahaan, baik laki-laki maupun perempuan, rata-rata mencoba peruntungan menjadi buruh.

“Sekarang mau bercocok tanam susah, sering banjir. Seminggu baru surut air. Tanaman jadi busuk,” kata Majid.

Macam di Dusun Keladi, keladi, susah tumbuh subur kalau banjir bertahan lama. Malah, tanaman keladi membusuk.

Sebagai kawasan pasang surut, sebenarnya warga tak heran dengan genangan air. Warga biasa dengan sebutan ‘air pasang.’ Kini, air pasang lebih lama. Dulu,  hanya hitungan hari, kini bisa lebih seminggu. Pasang pun makin tinggi. Rata-rata warga dusun sekitar mempunyai rumah dengan kolong tinggi.

Tak hanya genangan air makin lama, terjadi perubahan kualitas air. “Dulu air bisa langsung diminum. Walau rasa agak sepat, tapi lama-lama enak,” katanya.

Yang dimaksud Majid, adalah air parit di depan rumahnya. Warga kini tak lagi berani minum air parit lagi. Takut tercemar pupuk dari tanaman perusahaan.

Warga hanya mengambil air untuk mandi, cuci dan kakus. Air minum mengandalkan dari hujan. Tiap rumah banyak sekali gentong semen.

Warga juga tak lagi berkebun kelapa. Tak heran, banyak kebun kelapa tampak tak terurus saat memasuki Wajok Hilir. Upah memanjat pohon kelapa, tak sebanding dengan harga. Baik olahan menjadi minyak atau kopra. Untuk dijual dalam bentuk arang pun, tidak banyak yang melakukan.

Sebagai kepala desa, Majid punya tanggung jawab memajukan desa. Dalam rencana pembangunan yang dia susun, sektor pertanian utama.

“Saya bikin demplot sawah. Kebetulan aparat TNI membantu,” katanya. Majid akan mencoba metode hazton untuk penanaman padi. Metode ini dengan teknik penanaman padi sebanyak 10-20 anakan vegetatif dalam satu lubang tanam.

 

Tanaman warga Wajok Hilir. Dulu Wajok Hilir, terkenal dengan kelapa, keladi, maupun nenas. Kini, produksi komoditas pertanian itu sudah berkurang jauh sejak lahan makin sering banjir dalam jangka waktu lama. Merekapun tampak tak semangat mengurus kebun kelapa. Bahkan, sebagian ada yang bercampur dengan sawit. Warga sebagian  menjadi buruh perusahaan kayu maupun sawit. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Majid berharap, warga bisa melihat peluang mengembangkan sektor pertanian kembali. Beberapa daerah relatif tinggi dan kurang terpengaruh banjir besar, berhasil menanam semangka. Hasil pun cukup menjanjikan.

Mereka juga punya hutan tanaman rakyat yang peroleh izin pada 2014 seluas lebih 380 hektar.  “Saya ingin warga bisa memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari hutan itu,” katanya.

Meskipun begitu, Majid agak khawatir. Dia takut kayu-kayu di hutan terbalak tanpa izin. Pasalnya, sudah ada beberapa laporan orang membalak kayu di sana.

Di hutan itu diyakini masih banyak populasi orangutan, dan kucing hutan. “Perlu dampingan segera, dan kepastian pasar tentu,” katanya.

Dia menyakini, kayu hutan bisa untuk keperluan skala kecil warga desa.

Untuk pemanfaatan pun perlu perencanaan dan konsep matang agar mengoptimalkan hasil hutan bukan kayu. “Bisa jadi jawaban paling baik untuk pengelolaan kawasan,” katanya. Dia tak ingin berulang orangutan mati terluka bakar, pada 2012.

Dusun Nenas tak jauh beda dari Dusun Keladi dan dusun-dusun lain di Wajok Hilir. Warga banyak beralih menjadi pekerja di perusahaan. Kepala Dusun Nenas, Muhammad Hasan, bahkan jadi petugas keamanan perusahaan MSL.

Dusun Nenas, terletak lebih ke dalam dari Dusun Keladi. Terdapat satu jembatan dari susunan batang kelapa. Di beberapa bagian, batang sudah lapuk bahkan ambrol.

Beberapa rumah warga di dusun ini berdekatan, terutama mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan. Ada juga etnik Tionghoa di desa ini. Mereka bertani sayur, bawang daun dan seledri. Rumah mereka dibedakan dengan ada kotak merah untuk menaruh dupa dalam ritual doa.

Desa ini pun sedang mengalami masalah. Muhamad Tahir, Ketua RW menceritakan, awal tahun ini mereka merugi. Padi trserang hama empangau. Ia serangga yang mengeluarkan bau tak sedap. Bulir-bulir padi dimakan. Hampir gagal panen.

Belum selesai masalah hama, banjir tinggi pun menyusul hingga nyaris masuk ke rumah. Baru surut setelah tergenang 10 hari.

Masalah demi masalah datang beruntun. Kini,  mereka berhadapan dengan asap. “Sudah seminggu ini setiap pagi, jarak pandang hanya lima meter,” kata Tahir.

Beruntung, saat itu libur panjang, bertepatan dengan perayaan Imlek. Jadi anak-anak tak harus pergi sekolah di tengah kabut tebal.

Meskipun begitu, warga sekitar mulai batuk pilek. Cuaca kering. Di belakang rumah warga mengepul asap, tanpa terlihat api. Diduga ada yang membakar lahan.

Tahir bilang, warga dusun itu tak lagi membakar lahan untuk bercocok tanam. Lahan kelola mereka sudah pernah ditanami, hingga tinggal mengganti komoditas pertanian.

“Bukan orang sini yang bakar. Itu yang di dekat perusahaan ada yang tanam jagung,” katanya.

Tahir memandang kepulan asap di langit. Dia bilang, biasa ada yang membantu memadamkan api.

Polisi dan tentara pun sudah masuk dusun. Mereka mencatat lahan-lahan terbakar. Biasa, tak lama, ada heli mengangkut air memadamkan lahan terbakar. “Sudah tiga hari berselang dari kedatangan aparat, heli belum kunjung datang,” katanya.

 

Foto utama: Perkampungan warga di Wajok Hilir, yang berbatasan dengan perusahaan, salah satu PT MSL. Foto udara Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Lahan baru habis dibakar, diduga untuk mulai bertanam. Foto udara Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version