Mongabay.co.id

Pemerintah Aceh Pastikan Tidak Ada Proyek Infrastruktur di TNGL

 

Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah menegaskan, saat ini tidak ada proyek infrastruktur yang dibangun Pemerintah Aceh di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Pemerintah Aceh berkomitmen, menjaga dan melindungi hutan Leuser adalah prioritas.

Penegasan tersebut disampaikan Nova saat menjadi pemateri di seminar lingkungan tentang Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang dilaksanakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Aceh di Banda Aceh, Sabtu (7/4/2018).

Nova mengatakan, saat menerima kunjungan Reactive Monitoring Mission (RMM) tim International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN), UNESCO, dan tim dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jum’at (6 April 2018), ia mengutarakan hal serupa.

“Sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, tidak ada pembangunan infrastruktur di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Tidak ada suatu upaya sistemik dari Pemerintah Aceh untuk merusak TNGL dan KEL. Silakan tim RMM IUCN atau UNESCO melihat lebih dekat,” ujarnya.

Bahkan, rencana pembangunan geothermal di kawasan Gayo Lues yang selama ini ramai dibicarakan, dipastikan dibatalkan. Dipindah ke tempat lain.   “Saat ini kita membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi di Jaboy, Kota Sabang, Gunung Seulawah di Kabuapten Aceh Besar, dan Burni Telong atau Gunong Geureudong yang terletak di perbatasan Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Aceh Utara,” terangnya.

Baca: Catatan Akhir Tahun: Nasib Situs Warisan Dunia Berstatus Bahaya, Ada di Tangan Kita

 

Badak sumatera yang harus terus dilindungi hidupnya dari ancaman perburuan di Leuser. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Nova menjelaskan, pertemuan Pemerintah Aceh dengan tim IUCN dapat merumuskan keputusan yang baik. Terutama, mengembalikan status Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS) yang saat ini masuk kategori warisan dunia bahaya atau World Heritage in Dangered.

“Kita menyambut antusias pertemuan ini, semoga upaya pelestarian dapat ditingkatkan. Kelestarian KEL dan TNGL sangat penting, namun keberlangsungan hidup masyarakat yang selama ini aktivitasnya bersinggungan dengan wilayah tersebut harus diperhatikan semua pihak.”

KEL merupakan tempat terakhir di Asia Tenggara yang memiliki ukuran dan kualitas untuk mempertahankan populasi spesies langka. Ada harimau, gajah, badak, dan orangutan sumatera di sana. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menegaskan, pengelolaan KEL merupakan tanggung jawab Pemerintah Aceh. Namun, otoritas Aceh hanya sebatas pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi.

“Jika ada isu pembangunan jalan dan pembangkit listrik di wilayah TNGL, itu sama sekali tidak benar. Melalui program Aceh Green, Pemerintahan Aceh periode 2017-2022 kembali menjadikan pelestarian KEL sebagai salah satu prioritas, sebagai bagian dari pembangunan Aceh berwawasan lingkungan dan sensitif bencana,” tegas Nova.

Nova menambahkan, dalam rangka mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, Pemerintah Aceh telah menetapkan beberapa kebijakan strategis. Ada perekrutan tenaga kontrak untuk pengamanan hutan (pamhut) sebanyak 2.000 orang, yang bertugas menjaga kelestarian KEL.  Ada Instruksi Gubernur Nomor 5 tahun 2007 tentang Moratorium Logging, disusul moratorium izin tambang dan mineral di 2015, dan moratorium perkebunan kelapa sawit pada 2016.

Baca: Perambahan, Ancaman Serius yang Terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser

 

Persawahan di Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues yang berbatasan langsung dengan hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, ada Qanun Nomor 19 tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013-2033, yang semakin menegaskan pentingnya pencegahan dan perlindungan hutan.   Kebijakan ini diperkuat dengan hadirnya Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh.

Ada pula Peraturan Gubernur Aceh Nomor 20 tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Juga, Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 tahun 2017 tentang Penanganan Konflik Terunial dalam Kawasan Hutan.

Sedangkan dalam hal perlindungan satwa, telah ada Keputusan Gubernur Aceh tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa. Keputusan Gubernur ini, sedang proses peningkatan menjadi qanun.

“Dengan berbagai kebijakan tersebut, bukan berarti perlindungan dan pengawasan KEL berjalan sempurna. Dengan wilayah yang luas, Pemerintah Aceh tentu tidak mampu melakukan pengawasaan menyeluruh. Tidak heran jika aksi pembalakan liar masih terjadi,” tuturnya.

Baca juga: Hutan Aceh yang Masih Bersahabat dengan Kerusakan

 

Inilah Sungai Agusen atau hulu DAS Alas-Singkil di Kabupaten Gayo Lues, Aceh, yang mengalir dari hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tidak ada pembangunan

Azhari, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Aceh yang hadir dalam pertemuan dengan UNESCO mengungkapkan, tidak ada jalan yang dibangun oleh Pemerintah Aceh di areal TNGL.

“Tidak ada pembangunan jalan, yang ada peningkatan jalan yang telah lama ada dan digunakan masyarakat. Dari jalan tanah berbatu ditingkatkan menjadi aspal. Peningkatan dilakukan untuk membuka akses masyarakat yang selama ini terisolasi karena buruknya kualitas jalan, sehingga berbagai produk pertanian dapat disalurkan,” katanya.

Asisten Deputi Warisan Budaya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Pamuji Lestari, menjelaskan tim akan beraktivitas 12 hari, di beberapa taman nasiona di Sumatera. Dia mengatakan, Menko PMK berpesan agar warisan dunia yang ada di Indonesia dapat dijadikan sebagai potensi.

“Benar ada dana yang dikeluarkan untuk pemeliharaan, namun taman nasional harus pula didorong menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat sekitar, terutama menggerakkan sektor pariwisata.”

Sedangkan Peter Howard dari RMM IUCN mengungkapkan, bahwa TRHS merupakan 1 dari 240 warisan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO. Sejak ditetapkan, kawasan ini terus mengalami kemunduran, sehingga berstatus bahaya. Hal ini berimbas pada keharusan pemerintah Indonesia melakukan perbaikan.

“Lima tahun lalu, RMM sudah datang mengidentifikasi masalah dan mencari solusi. Sekarang, kita akan lihat bagaimana perkembangannya. Tim siap membantu jika target belum tercapai,” urainya.

 

Desa Lesten, Kecamatan Pining, Gayo Lues, tempat pembangunan PLTA Tampur yang direncanakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kerusakan

Manager GIS Yayasan HAKA, Agung Dwinurcahya menyampaikan, Data Geographic Information System (GIS) 2017 menunjukkan, tutupan hutan TNGL tersisa di Aceh sekitar 592.454 hektar. Atau rusak sekitar 32.661 hektar. “Paling parah, di Kabupaten Aceh Tenggara. Dari luasan 281.845 hektar, kerusakannya mencapai 19.554 hektar,” ujarnya.

Temuan lapangan Forum Konservasi Leuser 2017 menunjukkan, ada 245 kasus perambahan, 196 pembalakan hutan, dan 3 pertambangan ilegal yang terjadi di TNGL. Sedangkan pembangunan jalan di TNGL mencapai 24 kasus dengan panjang sekitar 67 Kilometer.

“Perburuan satwa juga terjadi yang jumlahnya lebih 100 kasus dengan jumlah jerat lebih 200 unit,” terang Manager Database FKL, Ibnu Hasyim, belum lama ini.

 

Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah menegaskan, saat ini tidak ada proyek pembangunan di TNGL. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Muhammad Nur mengatakan, perencanaan tata ruang yang baik dan berwawasan lingkungan akan menyelamatkan hutan di Aceh. Namun, yang terjadi saat ini adalah tata ruang belum menyentuh relung tersebut.

“Pemerintah Aceh, selama ini ingin mengelola Leuser untuk kepentingan budidaya, bukan untuk mempertahankan kelestariannya. Seharusnya, kepentingan pelestarian yang dikedepankan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version