Mongabay.co.id

Banjir Bandang dan Longsor Landa Kolaka Utara, Apa Penyebabnya?

Banjir bandang di Kolaka Utara. Foto: Walhi Sultra/ Mongabay Indonesia

 

 

Hujan deras melanda negeri Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, sejak 31 Maret 2018, hingga kini, membuat Kecamatan Lasusua, banjir bandang dan longsor. Luapan air sungai dan luapan gorong-gorong maupun, menyebabkan banjir menghantam rumah warga di Dusun VI Tampo Bulu Desa Batu Ganda.

Hujan masih turun dan tim siaga bencana masih evakuasi dan pencarian korban. Dari peristiwa ini, tiga rumah rusak dan Asdar, seorang warga terbawa arus. Badan Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Kota Kendari bersama tim gabungan Polri, TNI dan BPBD Kolaka Utara terus mencari Asdar.

Banjir bandang dan longsor ini bukan kali pertama. Berbagai kalangan menyebut, Kabupaten Kolaka Utara alami krisis ekologis. Walhi Sulawesi Tenggara, mengatakan, Kolaka Utara krisis lingkungan karena eksploitasi lebih besar dari daya dukung alam. Pengurasan kekayaan alam terus berlanjut.

“Pemerintah seenaknya mengeksploitasi sumber alam dengan mengabaikan kehadiran makhluk lain. Mereka melakukan kebijakan tanpa berpikir panjang,” kata Kisran Makati, Direktur Eksekutif Walhi Sultra, pekan lalu.

Kerusakan hutan, katanya, sudah sangat parah. Kolaka Utara,  hampir menyusul Konawe Utara, juga alami hal sama. Pembukaan lahan besar-besaran untuk kepentingan bisnis ekstraktif seperti perkebunan dan pertambangan disebut penyebab kerusakan alam Kolaka Utara. Tercatat, hampir 100 izin usaha terbit mengkapling kabupaten itu.

“Bahkan menggarap hutan lindung. Kerusakan cukup parah. Selain perambahan hutan, diperparah izin tambang,” katanya.

IUP yang begitu banyak keluar, katanya, hampir setiap tahun Kolaka Utara langganan banjir. Rumah-rumah warga tertimpa air bah kala hujan deras turun. Namun, pemerintah mengklaim izin-izin keluar, sesuai potensi alam Kolaka Utara. Alasan pemerintah, untuk meningkatkan pendapatan daerah.

 

Kondisi banjir bandang di Kolaka Utara, Sultra. Foto: Walhi Sultra/ Mongabay Indonesia

 

Dalam data Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kolaka Utara, potensi sumber alam Kolaka Utara, seperti, nikel, emas, bijih besi, kromit, batubara, dan marmer. Beragam potensi ini hampir tersebar di kabupaten ini dengan konsentrasi terbesar di jazirah utara.

Dari data keseluruhan potensi ini, nikel dan krom saat telah dikelola beberapa perusahaan. Untuk izin usaha tambang yang clean and clear (CnC), nikel 49 IUP, kromit (6), mangan (1), batu besi (1) dan batubara (1).

“Kita sepakat, itu bisa membawa dampak positif terhadap perekonomian tetapi jangan mengabaikan lingkungan. Lakukan sesuai aturan. Jangan aturan ditabrak, habis gunung dan hutan.”

Dinas Lingkungan Hidup Sultra, mencatat, pertambangan di Kolaka Utara kurang memahami bahkan tak menjalankan sesuai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Pertambangan, katanya,  harus pula memikirkan dan menyediakan tempat-tempat agar tak membuat bencana alam berkelanjutan.

Aminoto, Kepala Bidang Lingkungan Hidup DLH Sultra contohkan, perusahaan pertambangan harus sediakan kantong-kantong air atau bak penampungan berada di punggungan gunung tempat mereka eksploitasi. Di Kolaka Utara, katanya, hal ini tak terjadi.

“Ketika hujan turun deras, kondisi terbuka, tak ada penyangga. Kalau dulu ada pohon, ada penyangga. Pengganti pohon itu bisa dibuatkan bak penampung. Kegunaan bukan saja untuk banjir, agar tak mencemari alam sekitar tambang,”  katanya di Kendari.

Pembalakan liar juga masih terjadi di kabupaten ini, bahkan di hutan lindung, seperti di perbatasan Kecamatan Tolala dan Batu Putih. Camat Tolala, Ikhwanuddin kepada Mongabay, kala dikonfirmasi mengaku tak tahu perambahan di hutan lindung itu. Dia beralasan, tak pernah menerima laporan ada praktik pembalakan liar di sana. “Saya kurang tahu. Saya koordinasikan dulu ke kepala desa untuk tanyakan itu,” katanya.

Perambahan HL sudah lama berlangsung, dari ketika di bawah pengawasan Dinas Kehutanan Kolut, kini langsung pemerintah provinsi, pembalakan makin menjadi-jadi. Beberapa orang sempat disebut sebagai perusak hutan merupakan pengusaha kayu.

Lontas Jones Sirait, Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan XXII Kendari, mengatakan, akhir Januari 2018, hutan lindung di Kolaka Utara sangat berperan penting bagi keseimbangan ekosistem. Perambahan hutan berlebihan justru berpotensi mengundang bencana alam bagi masyarakat.

Mengatasi hal ini, Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan XXII berencana mengawasi hutan di Kolaka Utara. Salah satu dengan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit XVI. KPHL, katanya,  dinilai penting agar hutan lestari dan bermanfaat bagi masyarakat.

“Bukan (malah) mengundang longsor, banjir bandang hingga banjir tahunan sebagaimana yang melanda Kolut belakangan ini,” kata Sirait.

Walhi Sultra mencatat 600.000 hektar hutan jadi ‘milik’ perusahaan pertambangan dan perkebunan. Data ini sesuai izin usaha pemerintah kepada perusahaan.

Kisran mengatakan, pertambangan dan perkebunan punya andil besar kerusakan hutan di Sultra terutama di Kolaka Utara.  Terlebih setengah luas lahan kawasan hutan seperti hutan lindung, hutan produksi bahkan konservasi.

“Secara nyata memberikan izin dalam kawasan hutan merusak hutan. Data membuktikan harapan pemerintah dengan kebijakan yang keluar berbanding terbalik. Ibarat dua mata pisau yang berbahaya,” katanya.

Kini, katanya, hutan Sultra, mengalami perubahan atau penurunan status karena industri ekstraktif atas izin pemerintah. Ada beberapa lokasi di Sultra alami hal ini, seperti di Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan dan Kolaka.

Beberapa kali Walhi meminta pemerintah dan pemilik izin menghentikan aktivitas dalam kawasan hutan. “Mengapa demikian? Karena pemerintahlah yang mengeluarkan izin-izin itu,” katanya, seraya bilang, kehilangan hutan cepat kalau pelaku industri ekstraktif.

“Dibanding masyarakat yang gunakan kampak, dan mesin tebang, itu tak seberapa. Mereka, perusahaan pertambangan dan sawit ini merambah dari dalam.  Kalau kita lihat,  dari luar seperti hutan perawan dalam sudah gundul.”

 

Foto utama: Banjir bandang di Kolaka Utara. Foto: Walhi Sultra

 

 

 

Exit mobile version