Mongabay.co.id

Melihat Pertumbuhan Emisi Global Sejak 1850 dan Perkembangan Usaha Penurunannya

Perubahan iklim dipengaruhi oleh penggunaan energi fosil. Source: eco.business.com

Ada satu periode penting pada abad 18 dan 19, tepatnya tahun antara tahun 1750-1850. Periode ini mengubah sejarah dunia selamanya. Inilah periode Revolusi Industri, periode  terjadinya perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia. Revolusi Industri dimulai dari Inggris raya dan kemudian menyebar ke Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan menyebar ke seluruh dunia.

Revolusi industri adalah  peralihan dalam penggunaan tenaga kerja di Inggris yang sebelumnya menggunakan tenaga hewan dan manusia, yang kemudian digantikan oleh penggunaan mesin-mesin industri yang berbasis menufaktur. Periode awal dimulai dengan dilakukannya mekanisasi terhadap industri tekstil, pengembangan teknik pembuatan besi dan peningkatan penggunaan batubara.  Sektor perdagangan menyusul selanjutnya.

Secara ekonomi, revolusi industri tentu mempunyai dampak positif  karena dengannya harga lebih murah, pekerjaan semakin ringan karena dibantu oleh mesin. Pun produktifitas industri dan perdagangan makin tinggi .

Namun di sisi lain revolusi besar ini berdampak negatif terhadap lingkungan yang dengan semakin banyaknya pabrik-pabrik semakin tinggi pula pencemaran yang ditimbulkannya dan tingkat polusi pun semakin tinggi. Pun di saat yang sama, kebutuhan akan energi memunculkan eksploitasi besar-besaran pada alam.

Sejak 1850-an, yakni ketika revolusi industri sedang besar-besarnya, emisi pemerangkap-panas global naik dari sebelumnya kurang dari 1 gigaton (tepatnya 865 megaton), menjadi 46,6 gigaton pada 2015; atau sekitar 1,4 juta kg setiap detik. Meskipun emisi global telah mulai stabil sejak beberapa tahun belakangan, dan beberapa emiter utama telah mengurangi emisinya, tapi emisi masih tetap tinggi dan kita harus menurunkannya.

Kita perlu menurunkan emisi global agar kita memiliki kesempatan untuk membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat C di atas level pre-industrial. Ini untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim, dan setiap negara perlu memainkan perannya secara lebih besar.

Mungkin kita selalu bertanya, mana saja negara-negara emiter utama? Cukup sulit untuk menjawab hal ini karena akan lebih banyak pertanyaan susulan.  Banyak faktor yang musti diketengahkan untuk mendapatkan  jawabannya. Misalnya, kerangka waktu (time-frame)  yang kita ambil, apakah kita  menghitung emisi kumulatif suatu negara selama jangka waktu yang panjang, atau hanya melihat emisi tahunan saat ini,  apakah kita memasukkan emisi dan penyerapan dari hal-hal seperti perubahan penggunaan lahan dan kehutanan, atau mungkin kita ingin tahu apakah dan kapan emisi suatu negara mencapai puncaknya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin bisa terjawab dengan platform digital terbaru yang bisa dilihat di  ClimateWatchData.org. Dari platform tersebut, didapat beberapa data visual yang penting berikut ini, seperti dilansir dari  WRI.org.

 

– Emiter utama masih tetap dominan

 

Bagan 1: peringkat negara berdasarkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari waktu ke waktu, 1850-2014. Visualisasi yang dikembangkan oleh Mahfooj Khan bekerja sama dengan Viz for Social Good. Catatan: Peringkat dari 1850-2014 dalam bagan ini didasarkan pada emisi GRK, tidak termasuk penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan (LULUCF) dari dataset PIK-PRIMAP, diakses melalui Climate Watch. Emisi LULUCF dikeluarkan karena perkiraan untuk sektor ini memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi di tahun-tahun awal. Jika emisi tersebut dimasukkan, emisi GRK negara-negara seperti Indonesia, Zimbabwe, dan Brasil akan lebih besar. Uni Eropa termasuk dalam peringkat di samping 28 negara anggota.

 

Saat ini, dunia  memompa  emisi gas rumah kaca (GRK) 40 kali lebih banyak ke atmosfer dibandingkan pada tahun 1850. Meskipun emisi telah meningkat secara dramatis selama waktu ini, negara-negara yang paling bertanggung jawab atas emisi terbesar selama ini, belum banyak berubah.

Ada tujuh negara yang secara konsisten berada di antara negara penghasil emisi terbesar setiap tahun dan telah mendorong pertumbuhan emisi sejak tahun 1850 — yaitu Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, dan Rusia, dan baru-baru ini India dan Cina. Sebagai perbandingan, jika kita  memberi peringkat negara dari emiten terbesar hingga terkecil, tiga perempat dari 50 negara dengan emisi terendah pada tahun 2014 adalah negara yang sama seperti pada tahun 1850.

 

Bagan 2: Perubahan terbesar dalam peringkat emisi GRK negara antara tahun 1850 dan 2014.

 

Peringkat beberapa negara berubah secara signifikan. Sebagian besar lompatan terbesar datang dari negara-negara penghasil minyak dan gas. Pada saat yang sama, pecahnya Uni Soviet berkontribusi pada penurunan besar di Lithuania, Tajikistan, Latvia, Moldova dan Georgia.

Dari Bagan 2 bisa dilihat seberapa konsisten emiten teratas selama bertahun-tahun. Enam negara atau blok yang merupakan penghasil emisi terbesar pada tahun 1850 tetap sama di  lebih dari 160 tahun kemudian – Uni Eropa, Cina, Jerman, India, Rusia, dan Amerika Serikat.

 

Tabel 1:

Tabel 1: Perubahan peringkat emisi GRK negara-negara antara tahun 1850 dan 2014. Filter menurut metrik yang berbeda, termasuk perubahan peringkat terbesar dan terkecil dan oleh emiten terbesar saat ini. Catatan: Peringkat pada Bagan 2 dan Tabel 1 didasarkan pada emisi GRK, tidak termasuk penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan (LULUCF) dari set data PIK-PRIMAP, diakses melalui Climate Watch. Emisi LULUCF dikeluarkan karena perkiraan emisi untuk sektor ini memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi di tahun-tahun awal. Uni Eropa termasuk dalam peringkat di samping 28 negara anggota Uni Eropa. Jika UE dikecualikan, 10 penghasil emisi terbesar juga akan mencakup Meksiko, yang termasuk di antara ‘peringkat 10 teratas dalam peringkat GHG’. Selengkapnya bisa dilihat dengan mengklik tautan ini

 

– 1990-2014, emisi terus naik.

Bagan 3 :  Perubahan peringkat selama 1990-2014 dari 20 negara penghasil emisi terbesar pada tahun 2014. Visualisasi ini dibuat oleh Neil Richards bekerja sama dengan Viz for Social Good. Catatan: Data emisi dari 1990-2014 dalam bagan ini didasarkan pada emisi gas rumah kaca termasuk penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan (LULUCF) dari set data PIK-PRIMAP, diakses melalui Climate Watch. Selengkapnya bisa dilihat dengan mengklik tautan ini

 

Meskipun kekhawatiran internasional terus meningkat terhadap perubahan iklim, emisi global terus meningkat juga. Emisi total dunia telah meningkat sebesar 31 persen (termasuk emisi dari LULUCF) antara tahun 1990 dan 2014. Kenaikan ini didorong oleh negara  besar seperti China, yang melewati AS sebagai penghasil emisi terbesar di dunia pada tahun 2005, meskipun AS tetap menjadi penghasil emisi terbesar secara kumulatif. Sementara itu, negara-negara seperti Iran, Arab Saudi, Korea Selatan, Pakistan, dan Nigeria melompat  10 tempat selama periode 25 tahun tersebut, dan menjadikan  mereka ada di antara 20 penghasil emisi tahunan terbesar di 2014.

 

Emiter GRK perkapita, sebuah cerita lain

Grafik 4: Emisi GRK per kapita dari 10 penghasil emisi terbesar, 1990-2014 Catatan: 10 penghasil emisi terbesar, serta data emisi dari 1990-2014 yang digunakan dalam bagan ini didasarkan pada emisi gas rumah kaca termasuk penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan (LULUCF) dari set data PIK-PRIMAP, diakses melalui Climate Watch. Data populasi didasarkan pada Indikator Pembangunan Dunia Bank Dunia. Jika Uni Eropa tidak dihitung, kelompok itu akan memasukkan Jerman sebagai gantinya, yang emisi per kapita pada tahun 2014 adalah sekitar 10 ton setara CO2.

 

Emisi dari negara-negara berkembang naik secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi dalam hal per kapita gambarannya jauh berbeda. Sebagai contoh, sementara keseluruhan emisi India meningkat, emisi per kapita mereka tetap berada di bawah emiter teratas lainnya; emisi per kapita Amerika Serikat saat ini lebih dari tujuh kali lipat dari India.

Namun, emisi per kapita dari negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia, Cina, dan Iran sedang merangkak naik dan telah melampaui negara-negara maju, serta rata-rata emisi per kapita Uni Eropa.

 

49 negara telah mencapai puncak emisi , dan jumlahnya terus naik  

Analisis WRI menemukan bahwa 49 negara mampu mencapai puncak emisi mereka pada tahun 2010 dan empat lagi diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2020. Menurut komitmen iklim negara-negara di bawah Perjanjian Paris, tujuh dari 10 penghasil emisi teratas saat ini (Cina, Amerika Serikat, Rusia , Jepang, Brasil, Jerman dan Meksiko) telah mencapai puncaknya atau memiliki komitmen untuk mencapai puncak emisi mereka pada tahun 2030.

 

Bagan 5: Tanggal puncak emisi gas rumah kaca dan emisi di tiap negara. Visualisasi dibuat oleh Carbon Brief dan tanggal puncak berdasarkan laporan Titik Pembalik WRI. Catatan: Emisi negara dari tahun 1990-2015 berdasarkan tanggal dari PIK dan UNFCCC.

 

Beberapa negara penghasil emisi besar seperti Inggris, Prancis, Brasil, Spanyol, dan Kanada telah mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi mereka dan pada saat yang sama mencapai puncak emisi atau bahkan menurunkan tingkat emisi mereka.

Kenyataan bahwa seperempat dari semua emisi negara telah mencapai puncak emisi mereka sangat menggembirakan. Memuncaki emisi adalah langkah pertama menuju pengurangan emisi yang dalam dan cepat yang diperlukan untuk mencapai lintasan emisi yang konsisten dengan masa depan karbon rendah secara jangka panjang.

Negara-negara harus membuat dan mencapai komitmen untuk memuncakkan emisi mereka sesegera mungkin, menetapkan puncak mereka pada tingkat emisi yang lebih rendah, dan berkomitmen terhadap tingkat penurunan emisi yang signifikan setelah mencapai puncaknya.

 

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia menandatangani Kesepakatan Paris pada 22 April 2016, dan kemudian meratifikasinya pada 31 Oktober 2016. Meski sudah memulai upaya pengurangan emisi karbon, namun Indonesia masih cukup tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara ekonomi besar lain yang tergabung dalam G20.

Dalam laporan Brown to Green, walaupun Indonesia merupakan salah satu negara G20 dengan porsi energi terbarukan yang cukup tinggi dalam bauran energi primer, tetapi pengembangan energi terbarukan termasuk tertinggal dibandingkan dengan negara G20 lainnya. Daya tarik investasi energi terbarukan di Indonesia juga belum membaik.

Sampai saat ini, Indonesia juga belum menentukan dan menargetkan kapan puncak emisi karbon dan kapan ia mulai bisa turun. Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat masih menjabat mengatakan pihaknya belum berani menargetkan. KLHK harus menyelesaikan persoalan lain terlebih dahulu, yakni menekan kebakaran hutan dan merehabilitasi degraded land.

 

Exit mobile version