Mongabay.co.id

Opini: Penanggulangan dan Langkah Hukum pada Kasus Tumpahan Minyak di Teluk Balikpapan

Biota laut yang mati karena tumpahan minyak di Teluk Balikpapan. Foto: Facebook KLHK/ Mongabay Indonesia

 

Sabtu 31 Maret 2018, langit dan air di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, berwarna hitam. Langit hitam karena kapal terbakar, di laut terjadi tumpahan minyak mentah. Saat itu, diduga tumpahan karena kegiatan salah satu perusahaan eksploitasi minyak—belakangan terungkap,  kalau tumpahan minyak karena pipa bawah laut PT Pertamina, terputus. Minyak mentah pun tumpah mengotori laut.

Sangat disayangkan,  informasi resmi mengenai kronologis peristiwa ini -termasuk siapa pihak bertanggungjawab- tidak disampaikan segera kepada publik.

Malah, terlebih dahulu beredar informasi tak resmi mengenai dampak tumpahan minyak yang menguraikan ada korban jiwa, kerugian lingkungan dan kerugian masyarakat.

Kalau mengacu Pasal 53,  ayat 2 huruf a Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 (selanjutnya disebut “UU 32/2009”), pemberian informasi kepada masyarakat merupakan salah satu langkah dalam upaya penanggulangan.

Selain penyampaian informasi resmi cepat dan tepat, setidaknya ada tiga langkah lain perlu dilakukan pemerintah dalam menangani kasus ini. Pertama, memastikan pihak bertanggungjawab melakukan penanggulangan atau jika belum dapat ditentukan, pemerintah terlebih dahulu melakukan penanggulangan.

Kedua, memastikan pihak yang bertanggungjawab untuk pemulihan lingkungan. Ketiga, upaya penegakan hukum yang bersifat melengkapi kedua poin sebelumnya. Kedua langkah pertama  merupakan prioritas pertama,  sedangkan langkah terakhir sebagai prioritas kedua.

 

Penanggulangan keadaan darurat

Pembicaraan publik di media sosial dan pemberitaan media massa awal terjadi peristiwa tak fokus kepada upaya “penanggulangan keadaan darurat.” Banyak pernyataan mengenai perlu valuasi kerugian lingkungan atau penegakan hukum. Tentu, kedua hal ini tidak salah, namun dalam keadaan seperti ini, pembicaraan dan tindakan penanggulangan seharusnya lebih diutamakan.

Basis regulasi mengenai penanggulangan karena tumpahan minyak di laut telah diatur lebih lengkap dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut (selanjutnya disebut “Perpres 109/2006”). Perpres ini disusun agar pemerintah dapat melakukan tindakan secara cepat, tepat dan terkoordinasi untuk mencegah, mengatasi, menanggulangi dan meminimalisir dampak akibat penyebaran tumpahan minyak di laut.

Hal menarik dari Perpres 109/2006 adalah kewajiban nakhoda atau pimpinan, pemilik, operator kapal, penanggung jawab unit pengusahaan minyak lepas pantai, pimpinan unit pengusahaan migas atau pimpinan atau penanggung jawab kegiatan lain untuk penanggulangan dalam keadaan darurat.

 

Selain menggunakan tungboat dan peralatan lain, minyak tumpahpun dibersihkan secara manual. Foto: Facebook KLHK/ Mongabay Indonesia

 

Hal ini merupakan pengejawantahan dari prinsip pencemar membayar (polluter pays principle), yang diperkuat dengan pengaturan Pasal 11 mengenai tanggung jawab mutlak (strict liability) atas biaya penanggulangan, kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan. Dengan pengaturan itu, perpres ini meminimalisir penggunaan APBN dalam penanggulangan keadaan darurat.

Penanggulangan dalam keadaan darurat merupakan kewajiban pencemar. Penulis gunakan terminologi “pencemar” karena Perpres 109/2006 menganut asas strict liability, hingga penanggungjawab usaha otomatis bertanggungjawab tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan.

Ketika,  dapat dipastikan siapa pihak bertanggungjawab dan demi mencegah dampak lingkungan lebih luas, pemerintah dapat melakukan penanggulangan terlebih dahulu. Biaya yang timbul dari kegiatan penanggulangan ini akan dibebankan kepada pencemar. Jika pencemar telah melakukan penanggulangan, penting bagi pemerintah untuk mengawasi apakah penanggulangan (clean up)  itu sudah benar-benar “bersih.” Yang perlu dipahami, “bersih tidak bersih”-nya laut akibat tumpahan minyak bukan ditentukan oleh pencemar, melainkan pemerintah dengan dukungan ahli.

Pemerintah dalam hal ini adalah pusat dan daerah– dalam Perpres 109/2016—peran terbagi dalam tiga kategori, yaitu: tier 1 merupakan penanggulangan oleh tim lokal, tier 2 adalah penanggulangan oleh tim daerah. Tier 3, penanggulangan oleh tim nasional dipimpin Menteri Perhubungan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pembagian kategori ini dapat dilihat sebagai upaya koordinasi, analisis kebutuhan sumber daya manusia, dan  analisis kebutuhan sarana dan prasarana antar instansi pemerintah. Pengaturan lebih detail mengenai penanggulangan pencemaran ini diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 58 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan (selanjutnya disebut “Permen 58/2013”).

 

 

Memastikan pemulihan

Pemulihan merupakan tahap lanjutan setelah penanggulangan. Pemulihan mustahil tanpa ada rencana pemulihan. Rencana pemulihan perlu untuk mengidentifikasi dan menjelaskan kerusakan ekosistem, metode, tahap-tahap yang akan dilakukan, jangka waktu, mekanisme pengawasan, dan hal lain.

Mengacu kepada Pasal 54 ayat (1) UU 32/2009, pemulihan wajib oleh pencemar. Jika pencemar telah ditentukan dalam tahap penanggulangan, penting bagi pemerintah dan pencemar menyepakati rencana pemulihan yang disusun oleh pencemar. Penyusunan rencana pemulihan ini didahului dengan penilaian terhadap kerusakan ekosistem.

Dalam pemulihan, mungkin ada ekosistem tak terpulihkan. Pertanyaannya, apa yang akan dilakukan pemerintah terhadap hal ini?

Salah satu cara bisa ditempuh pemerintah dengan pemulihan tambahan (compensatory restoration) pada ekosistem lain yang sejenis. Apapun itu, tentu perlu disepakati oleh pemerintah dengan pencemar dalam rencana pemulihan.

 

Begini pencemaran yang terjadi akibat kebakaran kebakaran di Teluk Balikpapan, Minggu (31/3/2018). Sumber foto: Facebook Topan Wamustofa Hamzah/Walhi Kalimantan Timur

 

 

Penyelesaian sengketa dan penegakan hukum

Jika penanggulangan dan pemulihan sebagai prioritas pertama telah berjalan namun masih ada biaya belum dikompensasi, dapat ditempuh penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Ia dapat dilakukan melalui dan di luar pengadilan.

Contoh biaya ini antara lain, kompensasi karena hasil tangkapan nelayan berkurang, kompensasi berkurang wisatawan, kompensasi pemasukan usaha berkurang, dan kompensasi ekosistem tak terpulihkan. Lalu, biaya penilaian kerusakan sampai persidangan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini dapat dilakukan oleh pemerintah melalui Hak Gugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun oleh masyarakat yang mengalami kerugian.

Sedangkan penegakan hukum pidana harus digunakan untuk tujuan berbeda dengan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Dalam hal ini,  pidana sebaiknya sebagai instrumen bersifat punitif,  agar memberikan efek jera dan mencegah tindak pidana terulang. Tentu, sangat mungkin penggunaan pertanggungjawaban pidana korporasi selama syarat-syarat terpenuhi.

Dalam masalah ini, penyelesaian sengketa lingkungan hidup maupun penegakan hukum pidana bukan prioritas pertama. Prioritas pertama adalah penanggulangan dan pemulihan. Jika pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ingin berupaya maksimal menangani masalah ini, penting memikirkan strategi penempatan upaya penegakan hukum agar sinkron dengan penanggulangan dan pemulihan.

Jikalau KLHK,  ingin tetap penegakan hukum terlebih dahulu, sebaiknya dengan perintah untuk penanggulangan dan pemulihan melalui sarana sanksi administratif. Dengan begitu, sanksi administratif tetap sinkron dengan upaya penanggulangan dan pemulihan.

 

Penulis adalah Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law dan Pengajar Hukum Lingkungan STHI Jentera

 

Foto utama: Biota laut yang mati karena tumpahan minyak di Teluk Balikpapan. Foto: Facebook KLHK/ Mongabay Indonesia

 

Infografis luas tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, Kaltim. Sumber : Widodo Pranowo/Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan KKP/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version