Mongabay.co.id

Manuk Jegeg, Menangkarkan Jalak Putih di Rumah Warga

Suasana desa Sumberklampok, Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali terasa sunyi begitu masuk ke jalan-jalan kecil di tengah perumahan. Halaman tanah masih mendominasi rumah warga dan masih ada kebun belakang berisi pohon pisang dan peneduh. Cicitan Jalak Bali menyambut ditingkahi desir angin berdebu.

Ada yang unik di beberapa rumah warga saat berkunjung akhir 2017 lalu. Di beranda ada sangkar berisi sepasang burung Jalak Putih atau terkenal di Bali dengan nama Curik. Jenis burung yang pernah kerap diburu untuk perdagangan illegal karena harganya pernah menyentuh puluhan juta. Saat tahun 90an burung ini disimpulkan langka, sangat sulit ditemui di habitatnya, Bali Barat. Ini alasan kenapa upaya penangkarannya digenjot.

Ismu, penangkarnya adalah anggota Manuk Jegeg. Sebuah kelompok penangkaran curik Bali berbasis masyarakat di dekat kawasan Taman Nasional Bali Barat, daerah endemik burung ini. Manuk artinya burung, dan jegeg artinya cantik. Burung yang rupawan.

 

Sepasang curik atau Jalak Bali yang ditangkarkan warga di rumahnya oleh kelompok Manuk Jegeg di desa Sumberklampok, Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Jika Ismu menggantung sejumlah sangkar berisi masing-masing sepasang Jalak Putih di beranda rumahnya, tetangga sampingnya memilih membuat kandang lebih besar di belakang rumah. Ada beberapa pasang Jalak Putih terlihat bertengger di batang-batang kayu yang dipasang melintang.

Ketua Manuk Jegeg, Misnawi punya cerita menarik pengalaman mengembangbiakkan Jalak Bali. Selain bisa dijual, sebagian juga harus dilepasliarkan untuk menambah populasinya di alam liar. “Warga dapat tambahan penghasilan, dan populasi di alam meningkat,” ujar Misnawi.

Dampak lain yang diharapkan adalah ekowisata penangkaran, desa bisa mendatangkan wisata minat khusus untuk melihat model pengembangbiakan Jalak Bali secara rumahan. Ia menyebut sejumlah warga Jepang dan Amerika Serikat yang rutin datang usai melihat penangkaran di Taman Nasional Bali Barat.

Misnawi awalnya memelihara sepasang namun selama 3 tahun tak bisa beranak. Ia mengevaluasi cara pemeliharaan. Burung lalu dimasukkan ke dalam rumah dan berhasil menetaskan 5 ekor anakan.

Setelah punya modal dari hasil menjual anakan, ia membuat kandang besar permanen seharga Rp50 juta. Eh, si burung tak mau beranak pinak. Ia menyimpulkan burung-burung ini tak mau berkembangbiak jika suasana bising. Burungnya lalu dipindahkan ke halaman belakang, lebih tertutup dan sepi.

 

Warga menangkarkan Jalak Bali dengan berbagai gaya dan cara, misalnya ada yang mengandangkan di dalam sarang burung biasa dan digantung depan rumah. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pelepasliaran di wilayah desa menurutnya masih banyak yang perlu dipersiapkan. Salah satunya aturan adat agar tak ditangkap dan penyadaran pendidikan lingkungan.

Warga yang jadi anggota Manuk Jegeg hanya modal kandang dengan sistem bagi hasil dengan kelompok. Anak pertama hasil penangkaran diberikan ke pemilik burung yang dipinjam, dan anak kedua dikembalikan ke kelompok. Demikian selanjutnya berputar sehingga jumlah yang dimiliki kelompok bertambah, untuk dipinjamkan lagi.

Saini adalah generasi pertama kelompok ini yang memulai 2010 namun sepasang indukan baru bisa berkembangbiak pada 2012. Burung dipinjam dari Asosiasi Penangkar Curik Bali di Bogor dan perlu adaptasi di rumah barunya. Saat ini ia memelihara 4 pasang di rumah, sudah pernah jual anakan cukup banyak ke Jakarta dan Palembang. Harga sepasang usia 6 bulan sekitar Rp12-13 juta. Sertifikatnya diurus oleh kelompok dan disahkan BKSDA.

Cara Manuk Jegeg ini menangkarkan beda dengan TNBB. Para penangkar bercerita, di TNBB saat telur menetas anaknya cukup lama bersama induknya. Sedangkan penangkar Manuk Jegeg memisahkan anakan di usia sekitar 10 hari dan disuapi oleh penangkarnya. Anakan juga harus segara dipasangkan cincin penanda di kakinya. Mereka menyimpulkan jika di penangkaran TNBB sepasang Jalak Putih rata-rata berkembangbiak setahun dua kali, di kelompok penangkar Manuk Jegeg bisa 4 kali karena cepat kawin lagi setelah anaknya diambil.

Warga juga punya kebiasaan-kebiasaan khusus lain saat merawat Jalak Putih. “Ilmu dan cara beda. Kami punya pengalaman ngloloh (menyuapkan) dengan kroto atau telur semut merah, inkubator penghangat dengan lampu,” kata Misnawi. Upaya modifikasi setelah TNBB memberi pelatihan dan mengajak studi banding.

 

Cara lain menangkarkan Jalak Bali dengan membuat kandang di belakang rumah agar suasana lebih sepi. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Saat ini ada 17 ijin penangkar, dan 1 izin edar. Jumlah burung menurun yakni 92 ekor, dari tahun 2017 lalu 125 ekor. “Cuaca tak pasti, anakan banyak mati termasuk yang sudah bisa makan,” keluhnya ketika dihubungi pada Senin (10/4/2018).

Hujan dan terik berganti-ganti saat ini menyulitkan upaya penangkaran. Namun warga penangkar coba terus menyiasati dengan perbaikan kandang seperti memasang paranet dan tanaman pepohonan di kandang. Selain itu ada rencana ternak kroto, pakan burung dari telur semut merah untuk memicu kualitas anakan. “Jangkrik sekarang kualitasnya tidak bagus, semut merah juga berkurang,” katanya soal sumber pangan burung ini.

Banyak cara ikut mengembangbiakkan Jalak Bali, burung maskot Pulau Bali ini. Pemerintah lewat Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dan taman wisata alam lain. Juga ada yang dilakukan LSM dan kelompok masyarakat di masing-masing rumahnya sendiri.

Izin penangkaran diluaskan dengan sejumlah alasan. Pertama menambah populasinya di alam, pendidikan konservasi, dan juga dinilai bisa mengurangi perdagangan ilegalnya. Bertambahnya spesies burung dilindungi ini, harga jadi lebih murah.

TNBB identik dengan habitat burung Jalak Bali (Leucospar rothschildi). Berbulu putih dengan coretan biru melintang di mata ini ditemukan pada 24 Maret 1911 oleh ahli burung asal Inggris Baron Stressmann, saat kapal Ekspedisi Malaku II mendarat di Singaraja.

 

Exit mobile version