Mongabay.co.id

Fokus Liputan: Nasib Gane, Sawit Muncul Beragam Masalah Timbul (Bagian 3)

Perkebunan sawit PT GMM, anak usaha Korindo, yang berada di bagian timur Halmahera Selatan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Perusahaan sawit, PT Gane Mandiri Membangun (GMM), anak usaha PT Korindo,  masuk Gane, Halmahera Selatan, Maluku Utara, menyebabkan lahan kelola wargapun menyusut, persoalan sosial di masyarakat pun mulai muncul. Kemiskinan mengancam. Belum lagi masalah lingkungan dari kesulitan sumber air bersih sampai ancaman banjir.

Salim Ahmad, warga Gane Barat Selatan,  mengatakan, belakangan ini marak terjadi pencurian hasil-hasil pertanian. Mulai tanaman bulanan maupun hasil tahunan.  Pencurian, katanya, hampir merata di  beberapa desa dengan lahan maupun hutan jadi perkebunan sawit.

“Kasus- kasus yang dulu tak pernah terjadi,  kini mulai bermunculan,” katanya.

Baca juga: Fokus Liputan: Ironi Sawit di Negeri Giman (Bagian 1)

Warga dari beberapa desa  di Kecamatan Gane Barat Selatan dan Joronga  menceritakan, dulu sebelum perusahaan masuk,  hasil kebun seperti pisang dan sayur-sayuran selalu aman. Setelah  delapan tahun perusahaan  beroperasi, pencurian hasil kebun terjadi dan meresahkan warga.

“Dulu, kelapa kering jatuh jarang diambil orang. Kini jangankan buah kelapa jatuh, masih di pohon saja dicuri,” katanya seraya  bilang, pencuri pakai senter ambil kelapa pada malam hari.

Muhammad Konoras, warga Gane Dalam membenarkan fenomena ini. “Kami tak mengada–ada cerita seperti ini.  Fakta seperti itu.”

Tak hanya kelapa, pisang  dan sayur bahkan pala pun hilang.  “Saat ini,  sesama warga saling mencurigai kalau ada hasil kebun hilang,”  katanya.

Baca juga: Fokus Liputan: Sawit Masuk Gane Koyak Persaudaraan,  Warga pun Panen Derita (Bagian 2)

Di Desa Sekeli, pencurian pun terjadi. Bahkan,  ada yang tertangkap saat mencuri pisang maupun kelapa.

Muhammad cerita, lahannya tak jauh dari kebun sawit. Ada lima pohon pisang dicuri beberapa karyawan perusahaan di salah satu blok.

“Saya biarkan saja waktu mereka mencuri. Saya ikuti mereka dari belakang dan datang langsung ke kantor perusahaan minta dibayar per pohon Rp200.000. Perusahaan membayar tuntutan itu.”

 

Warga Gane Dalam yang berangkat dan pulang dari kebun mereka dengan menggunakan perahu. Kini, mereka harus membawa air ke kebun karena sungai sekitar kebun sudah rusak. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Warga khawatir kondisi sulit memicu pencurian makin marak. Ketika ada warga yang tak lagi memiliki lahan, dan tak lagi bekerja di perusahaan, persoalan sosial sulit terhindarkan.

“Mungkin sekarang orang belum memikirkan dampak ketika warga tak punya kebun. Faktanya,  saat ini aksi mencuri sudah terjadi, kita tak tahu bisa saja ada kekerasan menyertai,” kata Salmin Fara, warga Gane Dalam.

Warga meminta pemerintah dan perusahaan memberikan perhatian serius terhadap masalah sosial yang muncul ini.

“Pencurian hasil kebun ini hanya contoh kecil yang terjadi di depan mata. Kita tak tahu ada dampak lain lebih serius karena warga sudah tak punya lahan.”

“Kalau hutan dan lahan saja sudah habis, kira-kira kami mau buat apa lagi?” kata Muhammad Ahmad,  warga   Gane Dalam, lain.

 

Sungai rusak dan banjir

Sejak  perusahaan beroperasi,  masyarakat menghadapi berbagai masalah dan tantangan selain persoalan lahan.  Sekitar 20 desa terancam kala perusahaan membuka seluruh konsesi.  Ia meliputi tujuh desa di Gane Barat Selatan, enam desa di Kecamatan Gane Timur Selatan,  dan tujuh desa di Kecamatan Kepulauan Joronga.

Saat ini, masalah lingkungan mulai melilit warga. Warga desa di Gane Barat Selatan dan  Gane Timur Selatan,  mengeluhkan air sungai sebagai sumber kehidupan mereka mengalami kerusakan serius.

Di  Desa Gane Dalam,  warga tak bisa lagi mengandalkan air sungai sebagai kebutuhan utama ketika ke kebun.

Mereka pun terpaksa membawa air dari kampung karena air sungai tak jauh dari kebun mereka telah tercemar.

“Sungai-sungai kecil yang dulu memiliki air dan bisa untuk kebun,  sudah rusak. Kami terpaksa membawa air dari kampung,” kata Bakir Abdul Haer, warga Gane Dalam.

Bakir sehari-hari berangkat ke kebun gunakan perahu melewati hutan mangrove desa. Dia harus membawa air dari kampung.

Kesulitan air seperti dialami Bakir, merupakan salah satu dampak kehadiran kebun sawit skala besar. Anak-anak sungai tertutup urukan tanah perusahaan sawit.

“Bagaimana ada air,  di hulu sungai saja sudah ditutup,” katanya.

Warga Gane Luar, alami masalah serupa. Saat ini, air Kali Dukolo,  mulai berkurang. Padahal, sungai lumayan besar di belakang kampung ini jadi sumber air warga. Bahkan,  suplai air ke desa kadang terhenti. “Hulu sungai ini mungkin sudah ditutup hingga aliran air makin berkurang,” kata Sukri Saleh, Sekdes Gane Luar.

Tak hanya air sungai yang menipis, kala hujan, banjir mulai melanda desa mereka. Hal ini dialami warga Desa Sekeli.  Mereka mengatakan, beberapa kali banjir besar mengahantam desa mereka.

Jalil Naser, warga Desa Sekeli, mengatakan, banjir bandang itu diduga karena hutan di belakang desa mereka sudah terbabat untuk sawit.

“Sekitar empat bulan lalu banjir besar, air meluap melalui sungai di Sekeli itu membawa batang-batang kayu besar diduga berasal dari  puncak gunung yang digusur perusahaan,” katanya.

Walhi Maluku Utara, organisasi lingkungan sudah menerima laporan resmi dari warga beberapa desa bahwa,  setelah perusahaan beroperasi ada enam anak sungai hilang. Empat sungai tadah hujan dan dua anak sungai bermata air tertutup urukan tanah.

“Itu laporan resmi kita terima dan sudah kunjungan lapangan.  Mereka menemukan ada penutupan sungai dan anak sungai itu,” kata  Ismet Soleman, Direktur   Eksekutif Walhi Malut.

Pembabatan hutan massif, katanya, tak hanya menyebabkan badan air dan hutan habis, persoalan paling serius muncul saat ini edapan lumpur masuk ke  badan air dan terbawa ke laut.

Selat Kasawari pun, katanya,  sebagian air berwarna keruh. Warga mencurigai air laut keruh itu karena ada endapan lumpur karena urukan tanah terbawa hujan beberapa waktu lalu.

“Air laut ini biasa tidak keruh seperti ini. Kalau keruh karena banjir tak lama,  dan warna tidak kuning seperti ini. Bisa jadi ini karena ada tanah dibawa air hujan ke laut,” kata Iskandar, warga Gane Dalam.

Mengenai persoalan lingkungan mulai melanda beberapa desa di sekitar perusahaan perkebunan sawit, GMM melalui Mizwar Mustafa,  Staf Ahli Lingkungan perusahaan ini mengatakan, sampai saat ini tak mendapatkan laporan menyangkut keluhan warga.

Meskipun setelah itu dia mengaku,  ada keluhan dari warga Desa Jebubu Gane Barat Selatan,  soal sungai keruh, dan perusahaan sudah turun melihat langsung.

“Sudah normal kembali,” katanya.

Tanpa menyebutkan detil upaya apa, Mizwar mengklaim, perusahaan sudah penataan dan pemantauan keluhan warga Desa Jibubu.

Dia juga menampik ada penutupan sungai dan lain-lain. Mereka, katanya, sudah memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) hingga bekerja sesuai dokumen.

Dia mengklaim, untuk uji lingkungan, perusahaan menurunkan tim dari Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan (Bioref) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,  melakukan survei dan uji kualitas lingkungan. Hasilnya, tak ada pencemaran.

“Tim Bioref sudah survei dampak sosial dan lingkungan. Dari kesimpulan itu tak ada kerusakan sungai.”

Soal informasi laut diduga tercemar oleh tanah yang terbawa banjir,  dia akan mengecek lagi.

Apa yang disampaikan perusahaan ini bertolak belakang dengan fakta di lapangan.  Penelusuran  Mongabay,  kala warga membawa langsung ke lokasi, terlihat beberapa anak sungai teruruk dan ditanami sawit.

“Ada tiga anak sungai teruruk. Tanah urukan ditanami sawit  dan tinggal menunggu berbuah saja,”  kata Muhammad.

Ismet membenarkan itu. Menurut dia, banyak ketentuan dalam dokumen amdal tak diikuti perusahaan. Salah satu, sungai dan anak sungai teruruk. Pelanggaran ini, katanya, harus mendapat perhatian pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab dan pemberi izin.

 

Kondisi air di Kali Dukolo Gane Luar yang mulai menurun. Dugaan kuat warga ini karena  hutan habis di bagian atas yang telah menjadi perkebunan sawit. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Minim pengawasan

Pemerintah daerah sendiri minim pengawasan. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Halmahera Selatan sampai saat ini belum pengecekan ke lapangan terkait berbagai masalah lingkungan di perkebunan sawit GMM Gane.

Iskandar Kamarullah, Kepala Bidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) BLH Halmahera Selatan bilang,   mereka menerima laporan dari perusahaan setahun sekali.

Laporan 2017, katanya,  sudah ada di tangan mereka, menyangkut aktivitas perusahaan yang dinyatakan sesuai dokumen amdal.

BLH mengaku, tak menerima laporan warga soal berbagai masalah lingkungan di lapangan.

“Laporan warga kami belum  terima,” kilahnya.

Dia hanya memperlihatkan laporan perusahaan yang belum sempat terbaca semua.

Kala ditanya apakah BLH Halsel turun lapangan melakukan cek lapangan laporan perusahaan, dia kembali berkilah dengan beralasan terhambat anggaran biaya untuk turun lapangan. Mereka, katanya, tak ada anggaran khusus pengawasan hingga tak bisa berbuat banyak.

“Yah, kalau dibiayai APBD dan kita turun pengawasan berarti lebih independen. Kita tidak punya biaya.”

Warga sendiri, sudah berulangkali menyuarakan soal laporan  kerusakan sungai  karena pengurukan perusahaan sawit ke Pemkab Halmahera Selatan.

”Kami sudah bosan sampaikan ke pemerintah daerah. Mereka takut turun ke lokasi karena takut dikejar warga,” kata Abjan Mahmud, Kepala BPD Desa Sekeli. (Bersambung)

 

Foto utama: Perkebunan sawit PT GMM, anak usaha Korindo, yang berada di bagian timur Halmahera Selatan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Perusahaan membuat salah satu pos polisi untuk mengawal perkebunan sawit. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version