Mongabay.co.id

Menanti Kejelasan Pengakuan Hutan Adat di Riau

Kebun sawit PT Mega Nusa Inti Sawit yang mengelilingi Desa Anak Talang. Foto: Lusia Arumingtyas

 

 

Akhir Maret lalu, Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) menyerahkan dokumen usulan perhutanan sosial pada Irmansyah Rachman, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), di Manggala Wanabhakti, Jakarta. Usulan seluas 44.998 hektar di Kabupaten Meranti dan Siak, Riau.

Ada tiga skema diusulkan, salah satu hutan adat bagi masyarakat hukum adat Suku Asli Anak Rawa, di Kampung Penyengat, Sungai Apit, Siak, seluas 18.952 hektar.

JMGR sudah kali kedua mendampingi masyarakat mengusulkan perhutanan sosial setelah 2016. Usulan skema hutan adat ini didukung Peraturan Daerah Kabupaten Siak tentang penetapan kampung adat.

“Peraturan itu salah satu syarat usulan perhutanan sosial dengan skema itu,” kata Isnadi Esman, Sekretaris Jenderal JMGR.

Dalam Perda Nomor 2/2015 itu, ada delapan lokasi ditetapkan sebagai kampung adat, selain Kampung Penyengat. Yakni, Kampung Lubuk Jering, Kampung Tengah, Kampung Kuala Gasib, Kampung Minas Barat, Kampung Mandi Angin, Kampung Bekalar dan Kampung Libo Jaya.

Target usulan JMGR berikutnya, kata Isnadi,  di Kampung Lubuk Jering, Kecamatan Sungai Mandau. “Masih dalam proses meninjau potensi.”

Di Riau, katanya, belum ada satupun wilayah ada penetapan hutan adat dari pemerintah. Kini, disusun Peraturan Gubernur (Pergub) tentang pengakuan dan penetapan wilayah adat. JMGR ikut terlibat dalam penyusunan draf ini.

Pergub ini mengatur hal teknis yang sebelumnya tak dijelaskan detail dalam Perda Nomor 10/2015.

Seingat Isnadi, sudah tiga kali pertemuan dengan berbagai pihak membahas draf itu. Terakhir, pertemuan dengan 26 masyarakat adat di Riau, 25 Maret lalu. Masukan dari mereka untuk memperkuat tiap pasal dalam pergub itu.

Pada kesempatan itu, seluruh pemangku adat, menandatangani surat pernyataan bersama. Mereka menuntut lima hal.

Pertama, meminta pemerintah daerah segera menetapkan peraturan tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, beserta turunan.

Kedua, menolak penerbitan izin baru dan memperpanjang perizinan hak guna usaha, hutan tanaman industri, izin usaha perkebunan, izin migas, tambang dan sejenisnya tanpa melibatkan pemangku adat melalui proses musyawarah adat.

Ketiga, menuntut pemerintah daerah mempercepat identifikasi dan verifikasi masyarakat hukum adat dan wilayah adat di Riau.

Keempat, menolak pengajuan skema perhutanan sosial selain hutan adat di wilayah masyarakat hukum adat di Riau.

Kelima, meninjau kembali surat tugas verifikasi teknis nomor: ST.129/PKPS/PHKm/PSKL/.0/3/2018 dengan pertimbangan, pengajuan usulan perhutanan sosial belum pernah dimusyawarahkan dengan pemangku adat.

 

Rumah masyarakat Kebatinan Ampang Delapan. Foto: Lusia Arumingtyas

 

Tuntutan itu, dibuat pada penghujung pembahasan pergub tadi, yang difasilitasi Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Riau, Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) dan HuMa, di Hotel Grand Suka Pekanbaru.

Sekitar 26 perwakilan masyarakat hukum adat itu dari Kampar, Siak, Rokan Hulu dan Pelalawan.

Mereka turut membahas berbagai persoalan yang menimpa masyarakat adat. Mulai dari perampasan tanah ulayat oleh korporasi, konflik dengan masyarakat adat dan status tanah ulayat dengan pemerintah di kawasan hutan.

Efrianto, Ketua Dewan AMAN Riau, masyarakat adat tak berdaulat di atas ulayat mereka sendiri, seperti masyarakat adat Talang Mamak di Indragiri Hulu (Inhu).

Menurut Gilung, Ketua AMAN Inhu, hampir separuh kabupaten ini merupakan wilayah adat. Masyarakat adat sekitar 13.000 jiwa. Hanya saja, pemerintah tak mengakui secara administrasi.

“Kalau pengakuan di mulut, iya,” katanya.

Masyarakat adat Talang Mamak, katanya,  sudah memetakan wilayah mereka. Menyusun kembali sejarah masyarakat adat, hukum dan struktur lembaga adat. Sejumlah syarat memperoleh pengakuan itu juga disertai gambaran kondisi masyarakat Talang Mamak sampai saat ini yang terpinggirkan karena wilayah sudah jadi konsesi-konsesi perusahaan.

Dokumen persyaratan itu, sudah diserahkan pada Bupati Inhu sejak pertengahan 2017. “Sejak itu,  belum ada respon. Kami masih menunggu,” kata Gilung.

Aditia Bagus Santoso, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, mengatakan, pertemuan dengan pemerintah kabupaten bersama masyarakat adat Talang Mamak sudah sering, terakhir 14 Februari 2017.

LBH Pekanbaru mendampingi masyarakat Talang Mamak sejak 2016. Mereka turut beri bantuan hukum, karena masyarakat berkonflik dengan perusahaan yang menguasai lahan di tanah ulayat  seperti PT Runggu Prima Jaya, PT Riau Bara Harum dan PT Tasma Puja.

“Kami sudah melaporkan perusahaan-perusahaan itu ke Polda Riau,” kata Aditia.

Mereka juga turut membantu masyarakat Talang Mamak menyusun naskah akademik pengakuan masyarakat beserta wilayah adatnya. Kata Aditia, kalau menunggu perda sah perlu waktu panjang dan harus melewati proses politik di DPRD.

Untuk itu, mereka mendorong pemerintah daerah menerbitkan surat keputusan pengakuan masyarakat adat Talang Mamak beserta wilayah adatnya. Hanya saja, katanya, pemerintah daerah bersikukuh ingin bertemu 29 batin di Talang Mamak.

Untuk mengumpulkan para batin ini, saat gawai besar atau upacara adat tertentu.

“Draf pengakuan itu sebenarnya sudah selesai. Panitia pengakuan diketuai Sekda sudah verifikasi dan memeriksa dokumen persyaratan usulan masyarakat. Tinggal ditandatangi bupati,” katanya

Sejak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35 soal hutan adat bukan hutan negara, Riau, belum satupun mengakui wilayah adat atau hutan adat.

Padahal, salah seorang pemohon dalam pengujian UU Kehutanan, waktu itu, almarhum H. Bustamir dari khalifah di Kenegerian Kuntu dengan gelar Datuk Bandaro dari Kampar, Riau.

Di Riau, ada dua aturan yang mendukung putusan MK itu. Pertama, Perda Nomor 10/2015 tentang tanah ulayat dan pemanfaatannya. Kedua, Perda Kampar Nomor 12/1999 tentang hak tanah ulayat– aturan terbit jauh sebelum putusan MK.

“Dua aturan itu tak ada menyebutkan penunjukan tanah ulayat dan masyarakat adatnya,” kata Efrianto.

Berdasarkan informasi Setyo Widodo, Kepala Seksi Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau, sampai 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan SK perhutanan sosial untuk Riau, sekitar 58.000 hektar dengan 38 pemegang izin.

Ia terbagi dalam empat skema, yakni, hutan desa 43.910 hektar, hutan kemasyarakatan 5.898 hektar, hutan tanaman rakyat 4.192 hektar dan kemitraan kehutanan 4.000 hektar. “Belum ada untuk hutan adat,” katanya, akhir Maret lalu.

 

Foto utama: Kebun sawit PT Mega Nusa Inti Sawit yang mengelilingi Desa Anak Talang. Foto: Lusia Arumingtyas

 

Penanaman sawit baru di jalan menuju Kebatinan Ampang Delapan. Tepatnya, di Durian Cacar. Foto: Lusia Arumingtyas

 

 

Exit mobile version