Mongabay.co.id

Perusahaan Sawit Negara di Arso Ini Hidup Segan Mati Tak Mau (Bagian 3)

Papan nama PTPN II Arso di Kampung Workwana, tampak lusuh dan tak terawat senada dengan kondisi perusahaan yang hidup segan mati tak mau. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Hidup segan mati tak mau, mungkin pepatah ini cocok buat PT Perkebunan Nusantara II di Arso, Keerom, Papua. Kini,  pabrik beroperasi seadanya karena perusahaan kesulitan keuangan. Sampai ada wacana muncul pemerintah daerah mengambil alih perusahaan negara itu jadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

“Kondisi PTPN II Kebun Arso ini memang dari segi finansial sudah sangat kritis. Beberapa tahun ini minim biaya pemeliharaan tanaman maupun pengoperasian pabrik,” kata Yos Manusiwa,  Manajer PTPN II Arso, bercerita.

Yos baru saja diangkat jadi manajer PTPN II Kebun Arso, Papua,  terhitung sejak 1 Februari 2018.

Sejak penanaman kebun plasma, kebun Arso sudah berusia 35 tahun. Berbagai persoalan menimpa perusahaan ini baik finansial, hubungan dengan masyarakat adat pemilik tanah, hingga dengan petani.

Kondisi finansial sulit, katanya,  sedang melanda PTPN II secara keseluruhan. Ia berawal pada 1995, terjadi restrukturisasi  BUMN berujung kondisi finansial PTPN II ambruk.

Awalnya, kata Yos, keuangan PTPN II masih sehat. Kondisi makin parah kala krisis ekonomi pada 1998.  Buntutnya, dari 50.000 hektar tanah masyarakat adat yang disiapkan untuk perkebunan PTPN II, hanya 12.010 hektar tergarap.  Antara lain, 2.506,38 hektar kebun inti, 3.600 hektar plasma, 5.710,50 hektar untuk kebun kredit Koperasi Perkebunan untuk anggota (KKPA). Sisanya, 193,6 lokasi pabrik dan fasilitas umum. Realisasi penanaman kecil karena pendanaan kurang.

“Proyek KKPA rencana awal 7.000  hektar namun tidak terealisasi karena pendanaan disetop.”

Selain target penanaman tak tercapai, dana pemeliharaan dan pengoperasian pabrik juga makin berkurang. Ditambah lagi, aksi pemalangan gencar oleh masyarakat adat.

Pada 2016-2017, masyarakat adat lakukan pemalangan lokasi pabrik dan kebun inti. Pabrik pun tak bisa beroperasi. Petani-petani merugi karena hasil panen mereka membusuk tak bisa diolah. Selain itu, hasil panen sawit makin sedikit karena tanaman makin tua.

Penghentian pengoperasian pabrik ini membuat perusahaan ditinggal pekerja di kebun inti . Status kerja sebagai karyawan harian lepas (KHL) membuat mereka harus mencari penghidupan di tempat lain. Kondisi itu,  berlanjut hingga kini. Perusahaan kekurangan tenaga kerja. Kebun inti seluas 4.000 hektar yang biasa mempekerjakan hingga 100 orang, hanya tersisa 10 pekerja.

Kini,  pabrik kembali beroperasi setelah palang dibuka masyarakat. Pihak ketiga, PT Eka Karya Tekmindo, terlibat membantu pengoperasian pabrik.

“Karena setahun tidak mengolah, banyak kerusakan di pabrik. Kondisi perusahaan tak mampu membiayai lagi dialihkan ke mitra untuk titip olah agar pabrik bisa diperbaiki, dan buah petani maupun kebun inti bisa diolah kembali.“

 

Kebun sawit sudah tua dan tak produktif. Petani coba tanam ubi untuk menyambung hidup. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Namun, katanya, kini hanya 100 ton sawit diolah di pabrik tiap hari. Padahal, dengan waktu kerja 20 jam perhari, minimal ada 350 ton sawit bisa terolah di pabrik.

Tak hanya produksi kebun inti berkurang, hasil petani plasma dan koperasi juga begitu. Petani kekurangan modal. Dengan tak ada aktivitas kebun hampir setahun lebih, kebun tak terurus. Ada gulma, kayu-kayu menghambat petani panen.

Kebanyakan petani tak mampu menyediakan biaya operasional karena minta upah mereka dibayar langsung. Dulu, upah pekerja diterima menunggu setelah buah panen dibawa ke pabrik. Setelah perusahaan membayar ke petani, baru petani membayar kepada pekerja.

“Sekarang ini mereka minta di depan. Itu jadi satu kendala juga. Si petani sendiri dia tidak pegang uang.”

 

 

Utang petani

Ada dua bank mendanai proyek penanaman sawit PTPN II kebun Arso. Bank Mandiri mendanai PIR dan BNI untuk KKPA. Manajemen

PTPN II, katanya, tak bisa memberi informasi total kredit pada kedua bank ini. Namun,  hingga kini, utang petani belum terlunasi baik PIR maupun KKPA.

Untuk PIR, katanya, masih ada Rp2,9 milliar sisa utang petani. Sedang KKPA, manajemen perusahaan kesulitan memberikan informasi, tetapi jumlah melampaui utang plasma.

“Sampai hari ini,  masih ada cicilan dari plasma yang belum lunas dan sertifikat di bank. Yang KKPA juga ada namun sertifikat sudah ada sama petani sendiri. Di BNI tak ada lagi,” kata Yos.

Untuk KKPA, katanya, sertifikat sudah dibagi saat program macet periode 1996-1999.

Tiap bulan, manajemen PTPN II merekonsiliasi data pengembalian kredit petani dengan kedua bank itu. Tiap bulan pula, hampir tak ada perubahan jumlah signifikan, pembayaran petani minim karena situasi ekonomi sulit.

Kini,  dengan produktivitas sawit dan pabrik macet, para petani yang berhasil melunasi utang plasma malah terlilit utang baru. Di lokasi perkebunan inti rakyat (PIR) lumayan banyak rumah warga tersita bank.

“Kredit sawit sudah lunas lalu mereka mungkin perlu dana usaha hingga agunkan lagi ke bank. Mungkin ada penangguhan pembayaran hingga disita,”

Dengan kondisi seperti ini,  katanya, rencana revitalisasi makin sulit. Untuk revitalisasi, katanya, petani memerlukan utang baru dengan jaminan sertifikat.

“Dari 2008,  harusnya sudah revitalisasi untuk plasma. Kala itu,  PTPN II juga dengan syarat sertifikat semua terkumpul.”

Begitu banyak masalah melilit PT PN II Arso dan para petani, membuat rencana revitalisasi belum ada kejelasan.

 

 

Jadi BUMD?

Dalam audensi warga dengan Gubernur Papua, pemerintah didesak mencari penyelesaian masalah PTPN II.

Yos bilang, ada wacana kebun Arso jadi badan usaha milik daerah (BUMD). Hal ini, katanya,  masih proses karena pemerintah dari bupati, gubernur, DPRD sampai menteri masih membahas soal ini. “Itu salah satu opsi.”

Sementara ini,  perusahaan hanya menjaga agar petani yang masih panen bisa terlayani di pabrik dan bekerjasama dengan pihak ketiga.

Hulman Sitinjak, Asisten II Setda Keerom mengatakan, semua tergantung keputusan PTPN II.

“Mereka sedang kesulitan finansial. Ada beberapa kita berikan rekomendasi, misal, apakah perlu mendapat suntikan dana dari pemilik saham tersebar Kementerian BUMN atau tidak? Apakah dimungkinkan kewenangan diserahkan ke pemda atau bagaimana dengan pihak ketiga,  misalkan dijual ke pihak ke tiga atau bekerjasama.”

Sitinjak bilang, kalau jadi BUMD, pemerintah daerah siap mengelola. Namun, katanya, harus ada kebijakan jelas.

“Kalau ada pembebanan anggaran kepada APBD untuk mengelola, akan dilihat lihat apakah kita bekerjasama dengan provinsi dan lain-lain,” katanya.

Soal sengketa dengan masyarakat adat, manajemen PTPN menyerahkan kepada pemerintah.

“Masalah hak ulayat ini sudah diambil alih sama pemerintah daerah. Karena memang pada awalnya dulu masalah tanah  ini tanggung jawab pemerintah. Perusahaan dulu hanya ganti rugi tanaman di atas lahan.” (Selesai)

 

Foto utama: Papan nama PTPN II Arso di Kampung Workwana, tampak lusuh dan tak terawat senada dengan kondisi perusahaan yang hidup segan mati tak mau. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Perkebunan inti PTPN II Arso. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version