Mongabay.co.id

Bupati Gayo Lues: Jaga Leuser Tak Mungkin Tanpa Libatkan Masyarakat

Gayo Lues, satu kabupaten di Provinsi Aceh hasil pemekaran Kabupaten Aceh Tenggara pada 10 April 2002. Daerah ini terkenal karena asal Tari Saman yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda oleh UNESCO pada 2012 lalu.

Gayo Lues juga mendapat julukan “Kabupaten Seribu Bukit”, karena wilayahnya yang berada dan bagian dari gugus pegunungan Bukit Barisan. Karena geografisnya, ia merupakan wilayah penting dari keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Kawasan TNGL (luas 1.095.5895 hektar) sejatinya telah mendapatkan predikat sebagai   Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS) atau Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera oleh Komite Warisan Dunia pada 2004.

Saat ini Bupati Gayo periode 2017-2022 dijabat oleh Muhammad Amru. Kepada publik, Amru pernah sampaikan komitmennya untuk jaga hutan Leuser.

“Keseimbangan ekonomi masyarakat dengan kewajiban mereka menjaga hutan harus seimbang. Jika bermasalah, sulit mewujudkan hal yang ingin dicapai,” tuturnya tentang strategi menjaga hutan Leuser, seperti dilansir dari    Lintas Gayo, edisi 27 Januari 2018.

Dia pun mengatakan, siap kerjasama dengan pegiat lingkungan dan para pihak guna mewujudkan hutan Leuser yang lestari.

Pada akhir bulan Februari 2018, Mongabay Indonesia berkesempatan lakukan wawancara dengan Bupati Muhammad Amru, di Rumah Dinas Bupati Gayo Lues di Blangkejeren. Berikut petikannya.

 

Bupati Gayo Lues Muhammad Amru yang mengajak semua pihak untuk menjaga hutan Leuser dengan melibatkan masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Kabupaten Gayo Lues bersinggungan langsung dengan TNGL. Bagaimana memanfaatkan potensi ini?

Muhammad Amru: Kawasan TNGL merupakan hutan yang sangat alami. Terbaik di dunia, beragam flora dan fauna ada di dalamnya, dan yang paling lengkap di Indonesia.

Di Gayo Lues banyak potensi wisata alam yang bisa membangkitkan perekonomian masyarakat. Sebut saja pendakian ke Gunung Leuser, wisata sungai, treking hutan, taman anggrek, dan lainnya.

Desa Agusen di Gayo Lues, misalnya telah ditetapkan sebagai kampung wisata. Di sini ada wisata hutan, sungai, bahkan bisa lihat langsung aktivitas masyarakat menanam padi di sawah atau memetik kopi.

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menyinggung tentang pembangunan dataran tinggi di Gayo. Rencana itu akan diwujudkan melalui acara Gayo-Alas Mountain International Festival. Kegiatan ini melibatkan empat kabupaten, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Aceh Tenggara.

Kami berharap itu akan membuka mata dunia untuk melihat keindahan hutan dan alam dataran tinggi Gayo dan Alas. Kami ingin kegiatan ini akan mengundang lebih banyak wisatawan mancanegara yang menyukai wisata alam, hutan, pegunungan, serta budaya.

 

Tari Saman yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda oleh UNESCO tahun 2012. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Agusen ditetapkan sebagai daerah wisata, apakah ini termasuk cara mengajak masyarakat untuk jaga hutan Leuser?

Harapannya seperti itu. Kalau ekonomi masyarakat sejahtera, kesadaran jaga lingkungan akan meningkat. Jika ekonomi tidak diperhatikan, masyarakat tidak akan peduli. Jangankan untuk hal remeh, hal berat sekalipun macam tanam ganja di tengah hutan pun akan dilakukan.

Dulu, Agusen dikenal sebagai daerah paling banyak kebun ganjanya. Perlahan, Pemkab Gayo Lues mengajak masyarakat tidak lagi tanam ganja, tapi tanam tanaman menghasilkan, seperti kopi.

Sekarang kami terus bangun sarana untuk mendukung ekowisata di Agusen, baik itu tempat wisata maupun pendukung lainnya seperti jalan.

 

Inilah Agusen, desa yang telah ditetapkan sebagai tujuan wisata oleh Pemerintah Kabupaten Gayo Lues. Alamnya sungguh indah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Gayo Lues merupakan daerah hulu sejumlah sungai yang muaranya ke pesisir Aceh. Bagaimana usaha pemkab dan masyarakat menjaga sumber air?

Kami terus membangun dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk jaga sungai-sungai. Salah satu cara lewat anggaran yang ada.

Pemkab Gayo Lues telah minta seluruh Kepala Desa yang memiliki kawasan hutan untuk alokasikan Dana Desa minimal Rp50 juta untuk program penyelamatan lingkungan dan hutan.

Untuk desa-desa yang tidak memiliki kawasan hutan, pemkab minta agar ada dana yang dialokasikan untuk bangun taman-taman.

Ini akan menjadi indikator untuk bantuan Dana Desa berikutnya.   Desa yang tidak alokasikan anggaran untuk penyelamatan lingkungan dan hutan, dana akan ditahan sementara. Desa yang ikuti aturan, tahun berikutnya dana akan digandakan.

Anggaran untuk penyelamatan lingkungan atau hutan tersebut, bukan dipakai dalam bentuk proyek. Tapi, kembali untuk kegiatan yang memancing masyarakat gemar tanam pohon dan sadar pelestarian lingkungan.

Kami paham dampak kegiatan ini tidak akan langsung terlihat. Tidak kontan. Tapi harus diingat, 11 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, hulu airnya ada di Gayo Lues. Gayo Lues penting buat Aceh.

 

Sungai Agusen ini merupakan hulu DAS Alas-Singkil di Kabupaten Gayo Lues. Airnya jernih dan dingin. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Pandangan Anda terhadap tudingan bahwa masyarakat adalah perambah kawasan hutan, lalu bagaimana strateginya penanganannya?

Hal ini terjadi karena masyarakat tidak mendapat pemberdayaan, untuk menyejahterakan dirinya dengan cara tidak lagi merusak hutan.

Penting saya katakan, masyarakat jangan sampai merasa dimusuhi. Kita jangan hanya melarang, tapi tidak ada solusi. Kita harus terus berikan penyadaran, termasuk beri mereka konpensasi. Misalnya, beasiswa untuk anak-anak dari keluarga yang tinggal di pinggiran hutan.

Lewat pendidikan, kita berharap anak-anak tersebut tidak lagi seperti orangtua mereka, yang gantungkan hidup dengan merusak hutan.

Kalau masyarakat yang sudah bertahun-tahun gantungkan hidup dari kebun yang dirambah itu diusir, akhirnya bisa terjadi kerawanan sosial. Konflik baru tercipta. Pemkab Gayo Lues tidak sampai ke sana mengawasinya, karena kawasan Gunung Leuser itu wewenang BBTNGL.

Di sisi lain, masyarakat juga ingin kantor TNGL berada di Provinsi Aceh. TNGL itu kan sebagian besar wilayahnya ada di Aceh, tapi kenapa kantornya di Medan, Sumatera Utara? Secara logika saja, wilayahnya di Gayo Lues, tapi yang jaga di Medan.

 

Persawahan di Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues yang berbatasan langsung dengan hutan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Bagaimana hubungan Pemkab Gayo Lues dengan Balai Besar TNGL untuk menjaga kelestarian hutan warisan dunia ini?

Kami berharap dan selalu tekankan kepada BBTNGL agar hutan Leuser dapat bermanfaat bagi masyarakat. Ada baiknya dilakukan program pemberdayaan masyarakat.

Dengan personil yang banyak pun, [saya rasa] TNGL tidak akan bisa dijaga maksimal, apalagi personil BBTNGL pun terbatas. Akibatnya, taman nasional ini ada yang dirambah, dijadikan kebun. Akan berbahaya jika yang ditanam itu ganja, yang jelas-jelas dilarang.

Saya lihat saat ini sudah ada upaya pihak BBTNGL untuk bimbing masyarakat, -bukan menakuti lagi. Sudah ada juga upaya berikan kompensasi bagi masyarakat yang tinggal di pinggir taman nasional.

Harapan saya, Pemkab Gayo Lues dan BBTNGL dapat terus bekerjasama jaga hutan warisan dunia ini, sekaligus sejahterakan masyarakat.

 

 

Kopi arabika saat ini kembali digalakkan penanamannya di Kabupaten Gayo Lues. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Pandangan Anda terhadap hutan yang terlanjur rusak atau dirambah masyarakat?

Hutan yang telah dirambah, baik di dalam hutan lindung maupun TNGL kami harap dan terus upayakan, bisa dimanfaatkan masyarakat lewat penghijauan. Ditanami komoditas unggulan semacam kopi. Kopi itu bersahabat, ramah lingkungan.

Melalui program perhutanan sosial, kami berharap masyarakat diberi kesempatan tanami daerah-daerah yang terlanjur rusak tersebut. Apakah tanam kopi, atau tanaman lain yang serasi dengan alam. Minimal, hutan yang rusak karena dirambah, tidak lagi terbuka.

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Sebagai Pimpinan Daerah di Kabupaten Gayo Lues, apa pesan dan harapan Anda?

Saya salah seorang pendiri Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh yang digagas DPR Aceh, bersama Wakil Ketua DPR Aceh, Teuku Irwan Djohan dan anggota DPR Aceh lainnya. Kami akan terus mengajak semua orang untuk menjaga hutan dan lingkungan, agar air bersih tetap mengalir.

Yang terpenting membangun kesadaran masyarakat. Masa, orang luar negeri sudah sampai ke luar angkasa, sementara kita masih saja sibuk cegah banjir. Ayo ramai-ramai kita jaga hutan dan lingkungan.

 

 

Exit mobile version