Mongabay.co.id

Saatnya Makan Ubi untuk Menggantikan Nasi

Bertani di Ubud, salah satu desa magnet pusat pariwisata di Bali, kian sulit. Desa di Kabupaten Gianyar, Bali ini terkenal sebagai pusat tradisi Bali yang mengundang jutaan turis tiap tahun.

Namun, kian masifnya pariwisata di Ubud juga mendatangkan persoalan lain, kian hilangnya lahan pertanian terutama sawah. “Sawah-sawah kami kian tergusur oleh makin banyaknya vila dan hotel,” kata I Made Chakra, petani di Ubud.

Chakra berbicara di depan sekitar 30 peserta diskusi terkait pangan alternatif selain nasi di agenda tahunan Ubud Food Festival 2018. Selain Chakra, pembicara lain di sesi pada Sabtu (14/4/2018) tersebut adalah Kadek Lisa Ismiandewi dan Fransiska Natalia, dua penggerak gerakan fair trade Indonesia, dan Santhi Serad dari gerakan Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI).

 

Diskusi tentang pangan alternatif selain nasi di Ubud, Bali, pada Sabtu (14/4/2018). Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Menurut Chakra, selain sawah yang kian tergusur, air untuk mengairi sawah juga kian berkurang karena disedot oleh hotel dan vila. Ketika petani hanya bisa mengambil air sampai kedalaman 10 meter, hotel dan vila mengambil lebih dalam lagi sampai lebih dari 70 meter.

“Petani kecil dan miskin seperti kami selalu jadi korban,” ujarnya.

Di sisi lain, Chakra mengatakan, tanah juga makin kurang produktif akibat masifnya penggunaan bahan kimia dalam pertanian. Revolusi Hijau, yang dimulai sekitar 40 tahun lalu, membuat petani sangat tergantung pada bahan kimia.

Bersama sekitar 32 subak di Bali, Chakra sudah memulai konsep sistem intenstifikasi padi atau system of rice intentification (SRI). Namun, setelah sebelas tahun mencoba sistem pertanian padi yang pertama kali diterapkan di Madagaskar dan konon berhasil di banyak lokasi itu, Chakra mengaku tetap saja belum berhasil.

“Karena tidak ada regulasi yang melindungi petani kecil dari ancaman pariwisata,” petani kelahiran 1973 itu menambahkan.

Ketika sawah penghasil padi kian tergusur, kebutuhan pangan kian tinggi. Tak hanya karena penduduk yang kian banyak tetapi juga turis yang berdatangan ke Bali. Karena itulah, menurut Chakra, Bali memerlukan pangan alternatif selain beras.

“Dengan terus berkurangnya air, petani lebih susah bertani padi. Mungkin harus mulai dengan menanam ubi,” lanjutnya.

Menurut Chakra, orang Bali pada zaman dahulu juga tidak sepenuhnya bergantung pada nasi sebagai sumber makanan utama. Ada ubi jalar atau singkong yang dimakan sendiri ataupun dicampur dengan nasi.

 

Seorang anak melewati kebun jagung di Lamongan Jawa Timur. Jagung bisa menjadi salah satu sumber pangan alternatif di Indonesia. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Lebih Tahan

Kadek Lisa Ismiandewi, auditor fair trade di Indonesia, kini mengembangkan pangan alternatif berbahan dasar umbi. Dia membuat kue-kue kecil semacam apem dan kue bolu dari bahan umbi-umbian. “Kami berusaha mengembangkan olahan kue dari bahan umbi-umbian untuk mengurangi ketergantungan pada beras,” ujar Lisa.

Lisa mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki banyak pangan alternatif selain nasi, terutama umbi-umbian. Sayangnya, bagi banyak orang Indonesia, umbi-umbian masih identik sebagai makanan orang miskin.

Fransiska Natalia, yang mengembangkan pangan alternatif dari umbi-umbian bersama Lisa menambahkan, Indonesia memiliki lebih dari 77 sumber karbohidrat pengganti nasi. Di antaranya adalah sorghum, ubi jalar, singkong, talas, sagu, dan lain-lain.

“Namun, orang Indonesia merasa belum makan jika belum menyantap nasi. Padahal ini anggapan yang kurang tepat,” ujar Siska.

Ketika Indonesia makin tergantung pada beras, sampai harus impor, menurut Siska, sudah saatnya Indonesia menggalakkan pangan alternatif dari umbi-umbian. Dari sisi kesehatan, Siska menambahkan, umbi-umbian juga bagus karena kaya karbohidrat kompleks, kandungan gulanya lebih kecil, dan tidak mengandung gluten.

Umbi-umbian juga lebih memiliki daya tahan terhadap perubahan iklim, isu global yang saat ini menjadi ancaman besar bagi pertanian skala keci. Umbi-umbian lebih bisa bertahan di daerah kurang air serta lebih mudah tumbuh. “Dengan demikian, petani juga lebih bisa mewujudkan kedaulatan pangan karena kita tidak tergantung pada impor,” kata Siska.

 

Olahan sagu sebagai salah satu makanan alternatif. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Ada tiga jenis umbi-umbian yang biasa dikonsumsi orang Indonesia yaitu ubi jalar, singkong, dan talas. Namun, pada umumnya, makanan kaya serat ini masih dilihat sebelah mata. Masih dianggap sebagai makanan orang miskin atau sakit.

“Kalau saya bawa makanan dari umbi-umbian ke kantor, pasti teman-teman bertanya apakah saya sedang tidak punya duit atau sakit sampai bawa makanan dari umbi,” lanjut Siska lalu tertawa.

Kesalahpahaman terhadap umbi-umbian juga terjadi karena rasanya yang cenderung kurang variatif. “Ini menjadi tantangan agar kita bisa membuat olahan umbi dengan cita rasa lebih beragam,” ujar Siska.

 

Komoditas Selingan

 Dari sisi produksi, belum banyak petani di Bali yang juga memproduksi umbi-umbian layaknya padi. Selama ini petani hanya menjadikan umbi-umbian sebagai komoditas selingan, bukan utama.

Di sisi lain, pemerintah juga kurang serius dalam mendukung umbi-umbian sebagai komoditas alternatif bagi petani sekaligus layak di pasaran. “Pemerintah Bali belum sama sekali memerhatikan umbi-umbian sebagai komoditas yang potensial untuk dikembangkan. Bahkan data pun mereka tidak punya,” kata Siska.

Tak hanya Bali yang memiliki aneka ragam umbi-umbian sebagai pangan alternatif. Menurut Santhi Serad, berbagai daerah di Indonesia juga sebenarnya tak sepenuhnya tergantung pada nasi. Dia mencontohkan Jailolo di Halmahera yang memiliki pisang sebagai pangan alternatif selain nasi.

Beberapa daerah lain pun pada awalnya bergantung pada makanan non-beras sebagai makanan utama. Madura dan Nusa Tenggara Timur dengan jagung atau Papua dan Ambon dengan sagu. “Makin beranekaragam sumber pangan kita, maka akan makin mengurangi ketergantungan pada nasi,” ujar Santhi.

Mengutip laporan Kompas, Santhi mengatakan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, termasuk untuk bahan pangan. Indonesia memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 40 jenis bahan minuman, 75 jenis sumber lemak atau minyak, dan 110 jenis rempah dan bumbu-bumbuan.

“Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengolah sumber gizi alternatif itu agar tetap enak dikonsumsi lidah Indonesia,” katanya.

 

Exit mobile version