Mongabay.co.id

Menyelamatkan Bumi yang Satu Lewat Perilaku Pro Lingkungan

Bertepatan dengan Peringatan Hari Bumi 2018, Mongabay Indonesia menyajikan sebuah tulisan kontemplatif tentang pentingnya aksi bersama yang bersandar pada paradigma ekologis yang bertujuan untuk penyelamatan bumi. Bumi membutuhkan sentuhan perubahan, yang dimulai dari agenda lokal yang dapat berkembang menjadi agenda global bersama [redaksi]

 

Bumi yang satu ini, sekarang sedang berada dalam tingkat keterancaman yang tidak ada kiranya. Dalam duaratus tahun terakhir, modernitas dan kemajuan iptek tidak hanya membawa kemajuan, namun juga  telah membawa dampak kerusakan lingkungan, seperti hancurnya ekosistem dan punahnya beragam spesies. Kenaikan temperatur global, kenaikan muka air laut dan perubahan iklim bukan lagi wacana, tapi sudah merupakan keniscayaan.

Apa yang membuat bumi hingga mengalami situasi seperti demikian?

Menurut Rilley Dunlap, seorang pakar lingkungan hidup dan sosiolog dari Universitas Oklahoma, perilaku manusialah yang mendorong dan menjadi penyebab semua kerusakan yang ada di atas muka bumi. Perilaku tersebut berawal dari cara berpikir jangka pendek, memandang bahwa sumberdaya bumi itu tidak tak terbatas.

Dalam paradigma ekologi baru atau New Ecological Paradigm (Dunlap, Van Lierre, Mertig dan Jones; 2000) menolak keberadaan alam semata hanya untuk melayani kebutuhan manusia. Untuk itu diperlukan suatu konsep, sebuah paradigma baru dan nilai etik, yang mengatur hubungan manusia dengan alam. Dia menyebut aksi pro lingkungan hidup harus menjadi pegangan (conduct) perilaku manusia terhadap alam.

Pemikiran Dunlap bertolak dari dalil yang menyebutkan sebagai berikut (Dunlap, Catton, 1978): (1) manusia hanya satu spesies yang terdiri dari banyak spesies yang memiliki ketergantungan dalam komunitas biotik yang membentuk kehidupan sosial; (2) Keterkaitan yang rumit menyebabkan dampak dan memberi umpan balik pada jaringan alam yang memunculkan konsekuensi yang tidak diinginkan yang berbeda dengan aksi manusia yang disengaja; (3) Potensi keterbatasan fisik dan biologis menghambat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan fenomena kemasyarakatan lainnya.

Ekologi baru dengan demikian mencakup berbagai pengakuan dan kesadaran akan terbatasnya kapasitas bumi, penolakan dominasi manusia terhadap alam, menjaga keseimbangan alam, kesadaran resiko terhadap bencana dan kesadaran bahwa manusia tidak dapat sepenuhnya mengendalikan alam.

Tentu saja, paradigma ekologi akan berbenturan dengan paradigma pertumbuhan yang selama ini telah lama dikenal dan dipraktekkan, terutama di dunia barat. Paradigma ini menunjukkan bahwa kemajuan manusia dilihat dari ranah materi.

Pertumbuhan produksi dan konsumsi dengan indikator-indikator ekonomi menjadikan legitimasi dominasi manusia terhadap alam (Buttel, 2010). Dalam dalil ini, kemajuan manusia berawal dari kepercayaan bahwa teknologi merupakan solusi dari masalah sosial atau fisik yang dapat muncul dalam masyarakat (Kilbourne & Carlson, 2008). Adapun penggunaan teknologi merupakan bagian dari pandangan Paradigma Barat (Dominant Western Worldview-DWW) atau disebut Dominant Social Paradigm (DSP).

 

Hutan dan alam yang harus dijaga untuk keseimbangan bumi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Paradigma Baru, Agenda Publik dan Perilaku Pro Lingkungan

Dengan berkaca terhadap situasi bumi dengan berbagai degradasi lingkungan, sudah waktunya masyarakat membangun perilaku lingkungan hidup yang bersandar pada paradigma ekologi.

Untuk itu, interaksi antara sistem sosial dan lingkungan perlu dibangun dalam perwujudan sebuah relasi baru. Sebuah organisasi sosial yang membentuk sistem sosial (nilai, ideologi, kepribadian, pola eksploitasi sumber daya, organisasi sosial) pun harus terbentuk di atas nilai kesadaran dan norma yang bersama-sama faktor pengetahuan dan niat mendorong dan membentuk perilaku ekologi (Fernandez-Manzanal et al., 2007; Rambo & Sajise, 1984).

Aktivitas pro lingkungan hidup pun harus ditampilkan dalam ruang publik. Membangun kesadaran kolektif dan aksi nyata mengatasi masalah lingkungan harus menjadi agenda riil di tingkat masyarakat. Perilaku pro lingkungan pun berarti menumbuhkan rasa tanggung jawab dan jiwa altruistik.

Dengan pro lingkungan berarti manusia peduli terhadap manusia lain lewat kepedulian terhadap bumi; dengan mewariskan dan menjadikan bumi sebagai tempat hidup yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Ambilah sebuah contoh tentang permasalahan sampah. Masyarakat urban kota di Indonesia, saat ini menghadapi berbagai kompleksitas masalah sampah. Bahkan pernah disebut kota-kota di Indonesia pun dinyatakan darurat sampah. Sampah telah menjadi momok. Dari sampah rumah tangga hingga beragam ceceran limbah plastik yang berada di perairan dan sungai.

Apa akar masalahnya? Tak lepas dari perilaku non edukatif yang tidak pro lingkungan.

Gaya hidup dan perilaku organik bisa menjadi jawabnya. Kurangi konsumsi penggunaan plastik. Jangan buang sampah plastik sembangan. Gantikan plastik sekali buang dengan material yang dapat digunakan berkali-kali. Gunakan tumbler alih-alih kemasan air mineral sekali buang.

Hal ini tentunya akan efektif untuk mengurangi samapah plastik. Jika dilakukan secara luas, menjadi gerakan sosial, tentunya akan membawa dampak signifikan dalam konteks masyarakat luas. Apalagi, perubahan perilaku komunitas dapat didukung oleh regulasi yang mendorong perubahan perilaku. Pemerintah pun perlu menyiapkan insentif bagi perilaku ramah 3R (reduce, recycle, reuse) baik di tingkat individu maupun rumah tangga.

Contoh di atas masih bersifat sederhana. Masih banyak isu dan masalah lingkungan yang perlu didorong menjadi agenda publik ke depan dalam membangun kepedulian terhadap ibu bumi. Sebutlah masalah pencemaran, polusi, deforestasi, rusaknya habitat satwa, lepasan gas rumah kaca, peracunan tanah dan masih banyak lagi. Satu hal yang pasti, sesuatu yang menjadi concern bersama, akan menggaung menjadi sebuah agenda kerja bersama yang besar.

Dengan keberpihakan terhadap permasalahan bumi, lewat membangun relasi baru terhadap alam dan lingkungan, maka bumi akan menjadi tempat yang lebih baik dan layak untuk dihuni.

 

Foto utama: Apakah kita akan meninggalkan jejak kerusakan bumi bagi generasi berikut? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Daftar Pustaka

Buttel, Frederick H. 2010. Social Institutions and Environmental Change. In Redclift, Michael R. & Woodgate, Graham. (Editor). 2010. The International Handbook of Environmental Sociology, Second Edition. Cheltenham: Edward Elgar Publishing.

Rambo, A Terry & Sajise, Percy E. 1984. An Introduction to Human Ecology Research on Agriculture Systems in Southeast Asia. Hawai: East-West Center.

Jurnal

Catton, William & Dunlap, Riley E.. 1978. “Environmental Sociology: A New Paradigm”. The American Sociologist 13: 41-49.

Corraliza, Jose A. & Jaime Berenguer, Jaime. 2000. “Environmental Values, Beliefs and Actions. A Situational Approach”. Environment and Behavior 33: 832-848.

Dunlap, Riley E. & Catton, William R., Jr. 1979. “Environmental Sociology”. Annual Review Sociology 5: 243-273.

Dunlap, Riley E.; Van Liere, Kent D.; Mertig, Angela G. & Jones, Robert Emmet. 2000. “Measuring Endorsement of the New Ecological Paradigm: A Revised NEP Scale”. Journal of Social Issues 56: 425-442.

Dunlap, Riley E. 2002. “Environmental Sociology: A Personal Perspective on Its First Quarter Century”. Organization & Environment15: 10-29.

Dunlap, Riley E & Van Liere, Kent D. 2008. “The New Environmental Paradigm”. The Journal of Environmental Education 4: 19-28.

Fernandez-Manzanal, Rosario; Rodriguez, Luis & Carrasquer, Jose. 2007. “Evaluation of Environmental Attitudes: Analysis and Results of a Scale Applied to University Students”. Science Education. Wiley Inter Science. Hal. 989-1009.

Kilbourne, William E. & Carlson, Les. 2008. “The Dominant Social Paradigm, Consumption and Environmental Attitudes: Can Macromarketing Education Help?”. Journal of Macromarketing 28: 106-121.

Lundmark, Carina. 2007. “The New Ecological paradigm Revisited: Anchoring the NEP Scale in Environmental Ethics”. Environmental Education Research 13: 329-347.

 

* Ica Wulansari, penulis lepas dan pengamat isu lingkungan hidup dan sosial.

** Ridzki R Sigit, program manajer Mongabay Indonesia

Exit mobile version