Mongabay.co.id

Teror Bonita Berakhir, Horor Deforestasi Terus Berlanjut (Bagian 2)

Zona merah harimau sumatera yang sering terlihat warga di kanal 29 kebun sawit PT THIP, Senin (19/3/18). Foto: Zamzami./ Mongabay Indonesia

 

Setelah lebih 100 hari tim gabungan evakuasi harimau Sumatera, bekerja di lapangan, akhirnya, Bonita berhasil ditangkap. Penangkapan ini tak akan menyelesaikan masalah konflik satwa dan manusia, kala hutan, sebagai habitat mereka,  terus terbabat.

 

Bonita, harimau Sumatera yang berkeliaran setahun terakhir di sekitar kebun sawit PT Tabung Haji Indo Plantations (THIP), Jumat (20/4/18) pagi sudah tertangkap. Tim patroli harimau di Desa Dusun Sinar Danau, Kecamatan Pelangiran, belum setop karena masih ada Boni.

Pengumuman resmi penangkapan Bonita disampaikan langsung Dirjen Konservasi Sumberaya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup, Wiratno kepada media di Pekanbaru, Sabtu (21/4/18).

Wiratno mengatakan,  operasi tim penanganan harimau Sumatera dipimpin Balai BKSDA Riau merupakan evakuasi harimau liar paling lama. Bonita akhirnya berhasil ditembak bius dan evakuasi pada hari ke 108 operasi.

“Ini upaya penyelamatan paling panjang dalam sejarah evakuasi harimau Sumatera. Saya selaku Dirjen KSDAE memberikan apresiasi. Menyelamatkan harimau Sumatera ini jadi perhatian khusus menteri maupun bapak presiden,” katanya.

Evakuasi Bonita dilakukan tim gabungan sejumlah pihak antara lain perusahaan di sekitar lokasi, lembaga swadaya masyarakat, TNI, polri dan masyarakat.  Bonita lalu masuk rehabilitasi sementara di Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD), di Dharmasraya. Ia merupakan Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD), Sumatera Barat.

Suharyono, Kepala Besar BKSDA Riau menuturkan,  kronologi penembakan dan evakuasi Jumat subuh itu. Tim langsung bergerak ke lokasi di Kanal 78 kebun Ebony milik THIP. Pukul 6.50 pagi, tim berhasil menembakkan bius dan langsung bekerja. Tembakan kedua setelah itu membuat si raja hutan roboh.

“Subuh kami mendapatkan informasi dari tim lapangan, bahwa Bonita berada pada jalur-jalur favorit. Karena kondisi hujan lebat dan mobil tak bisa lanjut, 12 orang tim terpadu termasuk TNI dan polri mengikuti jejak Bonita (jalan kaki). Sampai pada satu titik untuk melakukan pembiusan,” katanya.

Setelah bius kedua, Bonita pingsan lalu masuk ke kerangkeng yang sudah disiapkan. Betina belang itu mulai tersadar tiga jam berikutnya sekitar pukul 11.00.

“Kami melakukan pemantauan. Sekitar pukul 2.00 atau pukul 3.00, Bonita terlihat segar dan mau minum dan makan. Mulai evakuasi dari perkebunan melalui jalur air. Kami lewat Tembilahan, Rengat menuju Dharmasraya,” katanya.

Bonita berkeliaran di sekitar THIP di Desa Sinar Danau, Kecamatan Pelangiran, Indragiri Hilir,  Riau sejak 2016. Kehadiran si betina makin sering sejak akhir tahun lalu.

Bonita diduga menewaskan dua warga, Jumiati, buruh lepas THIP pada 3 Januari 2018 dan Yusri, warga Pulau Muda, pekerja rumah burung walet pada 10 Maret lalu. Dua warga lain alami luka cakar pada peristiwa perjumpaan berbeda.

Kematian Yusri meningkatkan kemarahan warga apalagi harimau tak kunjung tertangkap. Warga sempat memberikan ultimatum selama sepekan kepada tim KSDA untuk menangkap hidup atau mati Bonita. Sebulan berikutnya, Bonita baru berhasil dievakuasi meski sejumlah upaya, antara lain BKSDA Riau mendatangkan ahli harimau dari Aceh. Juga mengundang warga Kanada, ahli komunikasi satwa liar,  untuk membantu menangkap Bonita.

 

Rehabilitasi

Kini,  Bonita berada di pusat rehabilitasi di Dharmasraya. Catrini Pratihari Kubontubuh, Drektur Eksekutif YAD meminta persetujuan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar bisa merehabilitasi Bonita. Selain fasilitas cukup baik di PRHSD, mereka juga ingin meneliti keanehan perilaku Bonita.

Bonita, katanya,  menunjukkan sikap berbeda dan berlawanan dengan sifat liar harimau. Bonita lebih suka keluar siang hari dan tak takut dengan keramaian manusia. Padahal, harimau normal takut manusia dan keluar malam hari untuk mencari mangsa.

“Kami mengirimkan surat kepada Ibu Menteri, untuk memohon (agar) kami bisa merehabilitasi Bonita. Karena perubahan perilaku Bonita yang berbeda dengan harimau Sumatera lain. Ini kesempatan untuk penelitian lebih lanjut.”

Kelainan perilaku binatang ini juga terlihat pada proses translokasi. Selama pengalaman evakuasi harimau, Bonita justru tak pernah mengaum. Cuma mengaum kecil dan hanya sekali dan tak keras. Biasa, ketika disenter mengaum. Sabtu subuh di pertengahan jalan, Bonita terlihat asik menjilat kaki. Ia tampak nyaman.

“Kami melakukan tiga R. Rescue, rehabilitation dan release,” katanya.

Wiratno, meminta, YAD memberikan laporan berkala kepada pemerintah atas observasi perkembangan Bonita. Hal ini, katanya, untuk mengantisipasi kejadian tak diinginkan seperti sakit atau kematian.

Di pusat rehabilitasi itu, harimau Sumatera bernama Leony yang dititipkan Juli 2017, mati beberapa bulan lalu. Kematian ini diklaim lantaran penyakit bawaan saat Leony dipelihara warga di Jawa.

“Itu sudah sakit [waktu] dibawa ke sana. Harapan saya,  Bonita tidak sakit. Saya minta repor dari pihak Dharmasraya untuk menyampaikan reguler,”  kata Wiratno.

 

Muncul di Teluk Meranti

Dua pekan terakhir, konflik harimau Sumatera dan manusia dari Suaka Margasatwa Kerumutan,  kembali mencuat. Dua harimau berkeliaran di rumah warga di Lugu Loga, Kelurahan Teluk Meranti, Pelalawan, Senin (9/4/18) malam.

Esok paginya, mereka menemukan anak sapi berusia lima bulan sekarat dengan luka gigitan di bagian tengkuk.

Bujang Kirai menceritakan, malam itu, ditelepon istri untuk pulang karena baru saja melihat harimau. Dia langsung kembali ke rumah. Kehadiran harimau itu diketahui istri dan dua anaknya saat mengecek ke belakang rumah karena mendengar suara gaduh dari arah kandang sapi. Jarak kandang sapi dengan rumah sekitar 100 meter.

“Mereka senter, nampak matanya. Pulang dulu, ada harimau dekat sapi. Sampai di rumah harimau ndak keliatan lagi. Pagi itu baru tahu sapi itu digigitnya,” katanya kepada Mongabay, Rabu pekan lalu.

 

Proses evakuasi Bonita. Sumber foto: Riauonline

 

Habitat terganggu

Soal kemunculan harimau dari habitat Kerumutan, Menteri Siti Nurbaya,  baru memberi penjelasan 19 Maret 2018, sembilan hari setelah jatuhnya korban kedua. Menurut Siti, kemunculan harimau-harimau ke kebun dan pemukiman warga karena alih fungsi lahan.

”Harimau ini sebenarnya tak mengganggu manusia jika habitat tidak terganggu. Ketika ruang jelajah dan pasokan makan berkurang, mereka merasa terancam, konflik satwa dan manusia pun terjadi,” katanya.

Menurut dia, lokasi kasus Bonita di kawasan yang didominasi hutan tanaman industri (HTI) dan hanya menyisakan SM Kerumutan sekitar 93.000 hektar.

”Ada problem dari alih fungsi lahan, yang dalam praktiknya belum diterapkan dengan optimal.”

Berdasarkan analisa citra landsat, lansekap hutan gambut Kerumutan sekitar 1,3 juta hektar. Melalui SK Menhut No. 4643/Menlhk-PKTL/KUH/2015 tertanggal 26 Oktober 2015, SM Kerumutan seluas 95.047, 87 hektar. Di luar SM Kerumutan itu juga ada hutan lindung Pulau Cawan seluas 2.073,86 hektar.

Kini, SM Kerumutan di kelilingi 16 izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan tujuh konsesi sawit. Perkebunan akasia HTI itu menyuplai kayu untuk dua perusahaan bubur dan kertas terbesar di Asia Tenggara yakni Asia Pulp and Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL). Sementara tujuh konsesi lain adalah milik perkebunan sawit sejumlah konglomerat.

Padahal,  ekosistem hutan gambut Kerumutan ini memiliki fungsi konservatori air, gudang karbon dan habitat penting bagi satwa dilindungi yang hampir punah yakni harimau Sumatera. Keragaman hayati masih tinggi, seperti kantung semar, salah satu indikator kawasan hutan masih bagus. Selain itu, ada juga pohon endemik dan dilindungi seperti ramin, meranti, punak, rengas dan lain-lain.

Wiratno bilang, habitat harimau makin terganggu oleh berbagai kegiatan di dalam SM Kerumutan. Harimau, katanya,  tak akan keluar dari habitat jika kawasan tak terganggu. Begitu juga jika rantai makanan terganggu, harimau akan datang ke desa-desa untuk mencari mangsa lain.

“Yang penting harus antisipasi ke depan. Tim terpadu jalan terus. Memantau. Saya di Jakarta juga memantau. Saya menduga masih ada lagi konflik-konflik seperti ini. Yang salah adalah perilaku manusia,” kata Wiratno.

Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, mengatakan, lansekap Kerumutan, makin tertekan. Ada 22 izin konsesi perusahaan hutan dan kebun sawit.

“Dari semua konsesi itu, THIP paling luas yakni 83.873 hektar. Sebenarnya,  bukan Bonita yang teror kita, tapi izin-izin konsesi yang teror Bonita,” katanya, Senin (16/3/18).

Analisa izin Jikalahari, THIP diduga membangun kebun sawit seluas 2.101 hektar dalam kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi tetap berdasarkan SK Menhut Nomor 903 Tahun 2016.

Jikalahari juga mengutip temuan Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan DPRD Riau tahun 2015 soal,  THIP menanam sawit di luar konsesi yang diberikan Kementerian Kehutanan di Indragiri Hilir seluas 7.075 hektar. Perusahaan juga menguasai lahan di luar izin hak guna usaha (HGU) seluas 5.914 hektar. THIP juga disinyalir membangun kebun di daerah aliran sungai. Perusahaan ini juga membangun kebun di lahan gambut dengan kedalaman lebih empat meter.

“Kita cek di satu sisi, sebelah kiri, perbatasan THIP dan SPA (PT Surya Perkasa Agung), hutan tersisa tinggal 17 hektar. Di sinilah, Bonita tinggal. Pas hujan, hutan jadi banjir maka ia keluar ke daratan seperti di kebun-kebun sawit,” ucap Woro.

Kehadiran Bonita dan harimau lain di kebun-kebun sawit dan pemukiman mulai 2017,  saat SPA panen akasia. Kebun akasia yang kini gundul dan terguyur hujan, katanya, menyebabkan air tergenang. “Hutan yang tinggal sedikit itupun banjir. Harimau mencari tempat lebih kering.”

“Bonita sendiri saat menerkam korban Jumiati awal Januari lalu sudah berada di luar kawasan jelajahnya. Tepatnya tiga kilometer di luar habitat. Ini jelas Bonita terdesak keluar habitat.”

Dia mendesak,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meninjau ulang dokumen operasional perusahaan sepertia analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Seluruh kegiatan perusahaan di lapangan, katanya,  harus setop sementara selama kaji ulang amdal berlangsung.

Jikalahari juga menyayangkan tanggapan lamban dari pemerintah pusat dan daerah. Tidak ada pernyataan serius dari Gubernur Riau dan Bupati Indragiri Hilir. Pernyataan menteri pun baru keluar setelah korban kedua jatuh Maret lalu.

“Lamban sekali. Kalau benar-benar ingin kejadian ini tidak terulang, pemerintah harus segera review amdal dan izin lingkungan korporasi HTI dan sawit di lansekap Kerumutan.”

Menurut Siti, sebenarnya, ada peraturan berlapis di Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dan KLHK yang mengatur kewajiban minimal 10% luas HTI jadi kawasan lindung dan 20% lain tanaman kehidupan. Berbagai aturan ini, katanya,  belum sepenuhnya jalan. KLHK, tak bisa berjalan sendiri, perlu lintas kementerian mengimplementasikan ini seperti di perkebunan sawit.

“Saya akan bicarakan ini dengan Menteri Pertanian, karena perlu kerja bersama semua pihak. Kalau perlu nanti kami usulkan kepada Bapak Presiden untuk mengeluarkan peraturan yang bisa jadi pedoman semua kementerian terkait,” kata Siti.

Siti bilang, KLHK berusaha menurunkan konflik satwa dan manusia, seperti menekan angka kerusakan hutan, menjaga habitat dan populasi satwa liar. Selain itu, mencegah pembukaan hutan meluas terutama hutan konservasi, dan hutan lindung.

 Mongabay berusaha mengkonfirmasi yang disampaikan Jikalahari kepada THIP, tetapi perusahaan belum memberikan tanggapan. Sedang dalam konferensi pers di BKSDA Riau, Sabtu kemarin, Syahri Abdullah dari THIP mengatakan,  kehadiran Bonita sangat menghantui pekerja.

“Kita berjibaku bersama-sama dari pagi, siang,  malam. Ada jejak kami masuk ndak kenal lelah. Akhirnya,  Bonita ditangkap. Semoga ini tak ada lagi harimau berada di kebun kami,” katanya.

Soal kehadiran perkebunan mengganggu habitat harimau, Syahri bilang, sejak THIP beroperasi pada 1995, tak ada harimau. Perusahaan, katanya, beroperasi berdasarkan izin pemerintah.

“Kami punya izin. Kita sejak 1995 beroperasi. Harimau muncul 2016. Jadi ketika awal kita mulai (operasi) tak ada harimau,” katanya. (Selesai)

 

Foto utama: Zona merah harimau sumatera yang sering terlihat warga di kanal 29 kebun sawit PT THIP, Senin (19/3/18). Foto: Zamzami./ Mongabay Indonesia

 

Proses evakuasi Bonita, harimau Sumatera, yang diduga sudah menewaskan dua orang. Sumber foto: Riauonline

 

 

 

 

Exit mobile version