Mongabay.co.id

Mereka Serukan Beragam Keterancaman Alam Jateng dan Jogja

Para petani Kendeng sehabis bersih-bersih di Sumber Mata Air di Lereng Pegunungan Kendeng dari Rembang, Pati, Grobogan dan Blora. Foto: dokumen JMPPK/ Mongabay Indonesia

 

 

Cuaca mendung tak menyurutkan langkah puluhan aliansi Muda-Mudi Membumi di Yogyakarta aksi memperingati Hari Bumi dengan jalan kaki dari parkiran Abu Bakar Ali hingga ke titik nol Jogja, Minggu siang, (22/4/18).

Berbagai poster dan gambar-gambar hasil bumi seperti semangka, kepala, melon dan cabai mereka bawa hingga jadi perhatian masyarakat di sepanjang Jalan Malioboro, Yogyakarta.

Poster-poster itu ingin menyampaikan pesan bahwa, alam penyedia kehidupan antara lain sumber pangan bagi mahluk hidup hingga harus terjaga.

Himawan Kurniadi, koordinator Muda Mudi Membumi mengatakan, manusia penyebab kerusakan alam bumi begitu parah.

Pembangunan dan penggunaan sumber daya alam tak terkendali, katanya,  menyebabkan ketidakseimbangan kondisi alam memicu bencana.

“Di Jogja ketidaklestarian sumber daya alam kerap terjadi. Tahun 2014, di perkotaan krisis air bagi warga sekitar hotel. Sumur warga kering. Ini ulah keserakan manusia,” katanya.

Dia contohkan, di Kampung Miliran, Umbulharjo, dan Gowongan, Kecamatan Jetis. Air tanah warga menyusut karena hotel-hotel begitu banyak berdiri.

Data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta, pada 2014 okupansi hotel bintang di Yogyakarta 57,48% dan non bintang (melati) 26,77%.  Pada 2015, okupansi hotel bintang 57,64% dan non bintang 27, 11%. Hotel bintang pada ring I–seputaran Malioboro–tingkat hunian bisa 90%,  ring II  70-80%, ring III agak jauh dari Malioboro,  okupasi 60-70%.

“Hingga Maret 2016,  tercatat hotel di Yogyakarta ada 87 hotel bintang dan 1.000 non bintang atau melati.”

Mereka, katanya, menyerukan masyarakat Jogja hemat energi, ikut bersama-sama, menanggulangi sampah, menjaga kelestarian air, pengedalian kantong plastik, dan mendorong energi terbarukan serta penanaman pohon.

Dia bilang, di luar persoalan urban, masalah lingkungan di Yogyakarta seolah sepi. Padahal, katanya, Yogyakarta sangat rentan eksploitasi alam.

Pada penghujung 2017, katanya, muncul kabar perusakan karst Pegunungan Sewu di Gunungkidul karena pembangunan resort mewah South Mountain Paradise dengan harga per kavling mencapai ratusan juta rupiah.

Pembangunan itu, katanya, tentu merusak fungsi karst sebagai penyimpan sumber air bagi warga desa sekitar. Ancaman perusakan lingkungan pesisir, katanya, sudah membayangi sisi selatan Kulon Progo.

Rencana pertambangan pasir besi bakal mengeksploitasi lahan pantai sepanjang 20 kilometer di Kulon Progo. Belum lagi, pembangunan Bandara Baru Kulon Progo (NYIA) yang menghilangkan lahan produktif.

“Jika dipaksakan, tak hanya lingkungan rusak, juga mengancam ketahanan produksi pangan dan mata pencaharian petani-petani di sana,” kata, Adi, sapaan akrabnya.

Koalisi Muda Mudi Membumi menyerukan, menjaga bumi bersama dan menuntut menghentikan segala bentuk perusakan lingkungan.

Adi juga mendesak, setop alih fungsi lahan oleh korporasi dan negara serta meminta penghapusan UU Pengadaan Tanah, karena sering jadi alat korporasi berdalih kepentingan umum.

“Bumi bukan milik orang kaya, pengusaha, apalagi penguasa, sebab bumi ini milik bersama.”

 

Aksi Muda Mudi Membumi tak hanya hotel, pembangunan bandara baru juga telah merusak dan merampas lahan pertanian warga. Foto dok Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

***

Lima kilometer dari titik nol Jogja, ratusan warga memperingati Hari Bumi dan Hari Air Sedunia dengan susur sungai bertema “Keceh Lan Reresik Kali #3” di Embung Tambakboyo dan Sungai Tambakbayan, Kecamatan Depok, Sleman, Yogyakarta.

Pagi hari, Minggu, (22/4/28), Pusat Manajemen Bencana Univesitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, bersama Kelompok Kerja Restorasi Sungai Tambakbayan, masyarakat, swasta dan kampus memperingati kedua hari bersejarah itu dengan menyusuri Sungai Tambakbayan.

Dengan pelampung dan ban mobil bekas, ratusan peserta menyusuri sungai sembari pengamatan. Sebelum terjun, mereka bagi-bagi bibit dan tanam pohon di sekitar Embung Tambakboyo.

Bambang “Kokok” Sasongko, ketua panitia mengatakan, acara ini mulai dari Embung Tambakboyo hingga pertemuan antara Sungai Tambakbayan dengan Sungai Nayan wilayah Pedukuhan Kalongan, Desa Maguwoharjo, Sleman.

Pada Maret 2017, katanya, sungai ini, sebagai lokasi masyarakat dan perguruan tinggi memulai gerakan restorasi sungai.

“Ini untuk sosialisasi dan desiminasi Gerakan Restorasi Sungai Yogyakarta, mengidentifikasi potensi dan permasalahan dan penghijauan lahan kritis di bantaran Tambakbayan,” katanya.

Berdasarkan data Walhi Yogyakarta, Daerah Aliran Sungai (DAS) Opak luas 141.575,229 hektar terletak di enam kabupaten yaitu Sleman, Kota Yogyakarta, Bantul, Gunungkidul, Klaten dan Wonogiri.

Di Yogyakarta seluas 131.074,35 hektar  dan Jawa Tengah 10.500,86 hektar. Di DAS Opak juga ada 14 sungai panjang 438 km. Sebagian besar sungai di perkotaan tercemar, salah satu karena kepadatan penduduk tak sebanding ketersediaan lahan.

Di Yogyakarta, katanya, sumber air DAS Opak sangat komplek. Kondisi hulu rusak karena pertambangan pasir galian C ilegal hingga mengganggu proses pengisian ulang air tanah.

Di tengah dan hilir,  desakan pemukiman dan pembangunan masif hingga resapan air minim dan limbah padat, cair maupun gas, meningkat. Kualitas lingkungan makin kritis karena pencemaran dan kejadian bencana ekologis berulang.

“Hotel, apartemen dan mal di Jogja masif, kuantitas dan kualitas air terus menurun. Jika tak dihentikan bencana ekologi terus meningkat.”

Tri Budi Utama mewakili Pokja Restorasi Sungai Tambakbayan mengatakan, melalui ini mereka mentargetkan data guna mengetahui perkembangan kondisi, potensi dan masalah di Sungai Tambakbayan.  “Apakah makin baik atau buruk. Data ini sangat diperlukan untuk merancang pengelolaan sungai berkelanjutan.”

Sungai Tambakbayan, katanya, kini relatif lebih baik dibandingkan sungai-sungai perkotaan lain. Namun, katanya, dengan pertumbuhan kawasan mulai ada kekawatiran penurunan kualitas lingkungan.

“Sungai adalah sumber kehidupan, masyakarat, pemerintah daerah, termasuk dunia usaha, akademisi dan generasi muda harus bersama-sama menjaga kelestarian sungai.”

Eko Teguh Paripurno, Kepala Program Studi Magister Manajemen Bencana Veteran Yogyakarta mengatakan, Keceh Lan Reresik Kali Tambakbayan #3 ini satu upaya mengantisipasi daya rusak air baik kualitas dan kuantitas. Kerusakan ini, katanya, merupakan bencana ekologis yang perlu dicegah. Kondisi sungai secara umum masih buruk, masih sebagai tempat sampah.

Sementara di Jawa Tengah, provinsi tetanggai Yogyakarta, para Kartini Kendeng, anak muda dan masyarakat berkunjung ke makan Raden Ajeng Kartini di Rembang, minggu lalu. Sukinah datang dari Desa Tegaldowo, sekitar 20 kilometer dari makan sang pahlawan.

Memakai jarik, caping bertuliskan tolak pabrik semen dan berkebaya. Pagi hari, mereka tiba, dan diusir sepihak oleh penunggu makam, karena kehadiran para istri pejabat. Para Kartini Kendeng bisa berziarah setelah istri pejabat selesai.

“Kami orang kecil, mau ziarah ke Ibu Kartini saja harus mengalah dengan istri pejabat. Kami sabra untuk berjuang menjaga Ibu Bumi lestari,” katanya, kepada Mongabay.

Kedatangan mereka ke makam RA Kartini untuk menguatkan semangat perjuangan menjaga Pegunungan Kendeng dari ancaman pertambangan semen. Sebagai bagian dari peringatan Hari Bumi dan Hari Kartini, mereka juga ekspedisi Kendeng.

Ekspedisi meliputi empat kabupaten–Pati, Blora, Grobogan dan Rembang–untuk menggemakan perjuangan ibu-ibu petani Kendeng, bahwa Pegunungan Kendeng lestari itu hal mutlak.

“Kami mengajak seluruh perempuan bangkit, berjuang memerdekakan hati nurani. Saat ruang hidup terancam, kamilah para perempuan yang akan jadi korban pertama,” ucap Sukinah.

Diapun bercerita soal perjuangan perempuan Kendeng menolak ekspansi pabrik semen di seluruh Kendeng. Mereka lakukan upaya hukum yang menghasilkan putusan Mahkamah Agung hingga Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Dalam ekspedisi merawat sumber mata air dan sungai-sungai di hilir itu, mereka membersihkan sampah plastik di sekitar Omah Sonokeling, Desa Gadudero, Sukolilo, Pati, dan di air terjun Widuri, Desa Kemadohbatur, Kecamatan Tawangharjo, Grobogan. Juga bersih-bersih di mata air Sendang Cokrowati di Desa Cokrowati, Todanan, Blora, lalu ke Brubulan di Desa Pasucen dan Sumur Gede di Desa Tegaldowo, Gunem, Rembang.

Gunretno dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) mengatakan, Pegunungan Kendeng harus dilindungi.  Sebagai pegunungan karst purba, katanya, ia menyimpan begitu besar kekayaan situs-situs budaya dan berfungsi sebagai daerah resapan air besar. Ia punya ribuan mata air dan sungai bawah tanah, serta penyerap terbesar gas polutan karbon.

“Pegunungan Kendeng bukanlah benda mati atau onggokan batu kapur yang boleh dieksploitasi seenak hati. Walaupun lapisan tanah batu kapur tipis, tetapi Kendeng lahan subur dan produktif. Dalam lapisan batu kapur menyimpan air.”

Pada peringatan Hari Bumi ini, katanya, JM-PPK menyerukan kepedulian semua lapisan masyarakat, mulai dari rakyat hingga para pemimpin.

Pemimpin, katanya,  dalam mengambil kebijakan, terutama yang bersentuhan dengan sumber daya alam, jangan sepihak. Rakyat, harus aktif dalam mengambil keputusan.

“Daya dukung wilayah harus jadi pertimbangan utama. Salah ambil keputusan, bukan pejabat yang akan menderita, tetapi rakyat.”

 

***

Di tengah sawah, tepat di Lereng Pegunungan Kendeng, pada Hari Bumi, Minggu (22/4/18), belasan perempuan Kendeng bernyanyi dan menyatakan tetap teguh menjaga bumi.

Ibu Bumi Wes Maringi, Ibu Bumi Dilarani, Ibu Bumi Kang Ngadili” Lirik itu berarti,  Ibu Bumi sudah memberi, Ibu Bumi disakiti, Ibu Bumi akan mengadili…

 

Kegiatan Keceh Lan Resesik Kali Ketiga di Sungai Tambakbayan, Sleman. Upaya memantau kondisi Sungai di Jogja Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version