Mongabay.co.id

Warga Wadas Tolak Pengerukan Bukit untuk Proyek Bendungan Bener

Spanduk protes warga Desa Wadas. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Seorang ibu tengah menganyam besek, wadah terbuat dari bambu, menunjuk ke kanan saat saya bertanya arah jalan menuju Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah.

Tak ada papan penunjuk jalan, meskipun beberapa kali bertemu jalan bercabang. Sinyal telekomunikasi hilang timbul, membuat cukup sulit pakai aplikasi peta internet di daerah ini.

Menuju Desa Wadas dari Jalan Purworejo-Salaman, awalnya disuguhi deretan rumah penduduk, disusul ladang dan pebukitan hijau. Di beberapa halaman rumah tampak potongan bambu terjemur. Ia bahan baku bikin besek.

Sesampai di Wadas,  belasan spanduk bernada protes menyambut. Spanduk-spanduk itu tampak di kanan kiri jalan masuk desa dari arah barat atau Jalan Purworejo-Salaman. Sebagian lain terbentang di atas jalan.

“Menolak kerusakan harus lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan yang belum tentu terjadi.”

“Jangan rusak desa kami.”

“Selamatkan bumi Wadas.”

“Kami tidak tergiur uang ganti rugi karna kami ingin masa depan cerah.” Begitu bunyi tulisan-tulisan di spanduk di atas jalan dengan cat berwarna merah.

 

Warga protes pengerukan bukit untuk bangun bendungan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Hari itu, Selasa 27 Maret 2018, sekitar 100 orang diundang menghadiri pertemuan dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak di Balai Desa Wadas. Mereka adalah pemilik lahan yang akan diambil tanah dan batu untuk pembangunan Bendungan Bener.

Pertemuan ini merupakan sosialisasi pengadaan tanah untuk pembangunan bendungan Bener. Menjelang pertemuan suasana tampak tegang. Sejumlah aparat keamanan berjaga-jaga di luar balai desa. Beberapa warga yang membawa spanduk penolakan dilarang mendekat ke balai desa.

Belum selesai sosialisasi, sebagian besar warga keluar, meninggalkan ruang pertemuan. Mereka bergabung dengan masa di luar balai desa.

Fuad, koordinator aksi kepada media lokal menyatakan aksi mereka wujud penolakan warga atas rencana pengambilan tanah dan batu dari Wadas untuk pembangunan bendungan.

“Kami ingin menjaga ekosistem, kami ingin menjaga Desa Wadas tetap utuh,” katanya.

Spanduk yang terpasang adalah sebagian atribut aksi menyusul sosialisasi pembangunan bendungan akhir Maret lalu.

Samsul, 74 tahun, salah satu warga yang menolak. Dia menanami bukit dengan karet, dan kopi. Sebagai petani dia tak ingin lahan rusak karena tanah tergali.

“Mereka sudah mengebor. Ada yang 50 meter, 75 meter,” katanya.

Dia sudah jadi petani puluhan tahun, tak rela kehidupan terampas karena penggalian itu.

Samsul menyayangkan perangkat desa minim informasi perihal rencana pembangunan bendungan.

Warga lain, Wanto, menyatakan hal sama. Tidak ada penjelasan sebelumnya mengenai pembangunan bendungan.

“Yang mengundang Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Diminta datang ke balai desa untuk mendengarkan sosialisasi.”

Kepala Desa Wadas, Rita Setyomihayu, menganggap wajar ada penolakan warga. Baginya,  setiap program pasti ada yang setuju dan tidak.

“Pemerintah desa akan pendekatan ke warga yang menolak agar manfaat pembangunan bendungan bisa dipahami,” katanya.

Kepala Bidang Pelaksana BBWS Serayu Opak Modesta Tandiayu mengatakan, akan memberikan penjelasan lebih efektif kepada warga penolak, dan mencari tahu sesungguhnya keinginan warga.

 

Lokasi Bendungan Bener

 

Tertinggi di Indonesia

Rencana pembangunan Bendungan Bener, sudah sejak lama. Pada 2013, mulai proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Pada 2015,  pengambilan contoh tanah di Wadas.

Bendungan Bener diharapkan beroperasi pada 2021. Proyek ini bagian dari proyek strategis nasional era Jokowi ini menelan biaya hingga Rp3 triliun.

Dokumen yang diperoleh Mongabay menyebutkan,  ketinggian bangunan mencapai 169 meter dan tertinggi di Indonesia. Luas bendungan 400 hektar, ada delapan desa terdampak di Purworejo yaitu Desa Guntur, Wadas, Bener, Kedungloteng, Karangsari, Nglaris, Limbangan, dan Kemiri. Di Wonosobo ada tiga desa terdampak, yaitu Burat, Gadingrejo, dan Bener.

Bendungan diharapkan bermanfaat bagi pembangkit listrik, menghasilkan daya 6 megawatt. Sebagai sumber irigasi untuk lahan pertanian seluas 15.519 hektar, dan tambahan daerah irigasi baru seluas 1.940 hektar.

Bendungan juga akan memasok air untuk keperluan rumah tangga, kota, dan industri di Purworejo, Kebumen, Wonosobo, dan Kulonprogo. Air baku akan mengalir ke 10 kecamatan di Purworejo, tiga kecamatan di Kebumen dan dua kecamatan di Kulonprogo. Bendungan juga untuk mengurangi banjir.

Izin lingkungan pembangunan bendungan Bener sudah keluar dari Dinas Lingkunan Hidup dan Kehutanan Jawa Tengah,  8 Maret 2018. Dalam dokumen disebutkan bendungan berdaya tampung 90, 39 juta kubik, dengan luas genangan 313,61 hektar.

Selain pembangunan bendungan juga pemotongan bukit dan pengurukan serta pembuatan jalan. Pemrakarsa adalah BBWS Serayu Opak, Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Sementara penanggungjawab, adalah Tri Bayu Adji, selaku Kepala BBWS Serayu Opak.

Pembangunan bendungan memerlukan lahan 462,22 hektar, terletak di Desa Guntur, Kecamatan Bener, Purworejo, 12 kilometer dari pusat kota ke arah utara. Bendungan Bener bakal membendung aliran Sungai Bogowonto bagian Hulu. Asal aliran sungai berasal dari kaki Gunung Sumbing, bagian Wonosobo.

Genangan bendungan itu akan melewati Desa Limbangan, Guntur, Nglaris (Kecamatan Bener, Purworejo), Desa Kemiri (Kecamatan Gebang, Purworejo), dan Desa Burat, Bener, Gadingrejo (Kecamatan Kepil, Wonosobo).

 

Peta genangan Bendungan Bener.

 

Material bendungan

Dalam istilah teknis bangunan, penambangan terbuka material uruk bernama quarry. Ahli konstruksi bendungan dari UGM, Sunjoto, menjelaskan, keperluan material seperti batu dan tanah dalam pembuatan bendungan Bener sangatlah besar. Jadi, katanya, sulit menghindari pengambilan material dari bukit.

Karena kebutuhan material uruk batu sangat besar, katanya,  tak bisa hanya mengandalkan dari batuan sungai. “Ya tidak cukup. Harus bongkar bukit.”

Namun dia mewanti-wanti agar proses ganti bagi pemilik lahan berjalan adil dan tak merugikan mereka.

“Prinsipnya,  begini, kalau mau membangun bendungan itu kan menuju kesejahteraan. Jangan menciptakan yang tak sejahtera. Artinya, dalam pembebasan dan lain-lain, mereka yang harus pindah harus menjadi lebih sejahtera. Jangan sebaliknya.”

“Jangan sama rata. Orang yang punya lahan bagus harusnya juga mendapat ganti rugi lebih baik, dan kehidupan jadi lebih sejahtera. Mau membuat sejahtera kok justru memiskinkan orang. Jangan.”

Sunjoto tak menampik, pembangunan bendungan itu berdampak pada lingkungan. Selain terpaksa memindahkan penduduk secara besar-besaran, kehancuran lahan pertanian yang tergenang, juga keragaman hayati hilang. Sisi lain, katanya,  bendungan itu untuk mencukupi kebutuhan air di Pulau Jawa yang terus meningkat.

“Pulau Jawa defisit air, kebutuhan air untuk hidup dibagi air tersedia (air hujan yang dapat dimanfaatkan) sudah hampir 1,5 kali.”

Pemerintah, katanya,  perlu mencari sumber pasokan air baku, antara lain dari air bendungan.

Sunjoto menjelaskan,  beragam manfaat bendungan, antara lain penyedia air irigasi (pariboga), air industri (pariyasa), air minum (paridaga), air rumah tangga (pariwisma), PLTA (paridaya), perikanan (parimina), turisme (pariwisata), pengendali banjir (paribena), pengendali sedimen (parikisma), dan pertahanan (paribaya).

 

Foto utama: Spanduk protes warga Desa Wadas. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Letak Bendungan Bener . Sumber: BBWS Serayu Opak
Spanduk protes warga atas pembangunan bendungan yang akan mengeruk bukit tempat mereka bercocok tanam. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version