Mongabay.co.id

Peran Hutan Indonesia Tekan Emisi, Begini Paparan Menteri Siti

 

Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia, terpilih jadi tuan rumah Asia Pasific Rainforest Summit (APRS) III berlangsung 23-25 April 2018. Di sini,  berkumpul perwakilan akademisi, masyarakat sipil, perusahaan, pemerintah dan lembaga penelitian dari berbagai negara di Asia Pasific. Mereka mendiskusikan peran hutan dalam kontribusi nasional yang ditentukan (nationally determined contributions/NDCs) masing-masing negara dalam menekan emisi di bawah Kesepakatan Paris.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, mengatakan, hutan hujan di Asia Pasific sekitar 740 juta hektar hingga kontribusi wilayah ini layak dipertimbangkan. Lebih dari 450 juta jiwa manusia bergantung pada pengelolaan hutan lestari.

Untuk Indonesia, katanya, dari hutan diharapkan berkontribusi lebih dari setengah target NDC Indonesia. “Tiga tahun terakhir, kita berhasil mengurangi laju deforestasi dari 1,09 juta hektar menjadi 0,61 juta hektar. Kami memiliki target 0,45 juta pada 2020 dan 0,35 juta hektar pada 2030,” katanya.

Dia bilang,  perlu mengidentifikasi peran hutan yang paling signifikan dalam NDC. “Dan melakukan jalan terbaik untuk melakukan tindakan yang diperlukan,” katanya.

Menurut Siti, hutan penyumbang utama emisi karbon, salah satu karena kebakaran, terutama di lahan gambut. “Ini mewakili 18% dari emisi nasional kitam” katanya.

Indonesia, kata Siti, telah berupaya keras mengurangi kebakaran, seperti penerapan penangguhan izin baru di lahan gambut dan hutan primer, penegakan hukum, pembenahan tata kelola, sampai perhutanan sosial.

Soal tata pemerintahan yang baik, katanya, Indonesia punya sistem jaminan legalitas kayu atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), ia jadi sistem pertama diakui Uni Eropa (UE).

Sistem ini, katanya, bukan hanya mencegah deforestasi juga berkontribusi mengurangi emisi. Dalam urusan pembiayaan, investasi dan perdagangan pada bidang kehutanan baru saja terbit Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Saat ini, katanya, disiapkan aturan-aturan teknis untuk keperluan operasional.

“Pengalaman dan keberhasilan Indonesia mengendalikan kebakaran lahan gambut jadi referensi penting. Kami sekarang bersiap mendirikan pusat internasional untuk rehabilitasi lahan gambut berbasis di Indonesia,” katanya.

Dia memaparkan, langkah-langkah lain mencapai kontribusi hutan terhadap pengurangan emisi yakni meningkatkan penerapan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan baik di hutan produksi alam (mengurangi degradasi) dan hutan produksi. Juga merehabilitasi lahan terdegradasi seluas 12 juta hektar sampai 2030 atau 800.000 hektar per tahun dengan kelangsungan hidup 90% dan restorasi gambut 2 juta hektar.

Indonesia, katanya,  mengambil langkah besar dalam memperkuat pelestarian hutan lewat membuka akses kelola kepada rakyat, dengan perhutanan sosial.

Pemerintah, katanya, menetapkan target alokasi 12,7 juta hektar lahan untuk perhutanan sosial sampai 2019. Ia terdiri dari hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan hutan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengalokasikan 4,1 juta hektar hutan kepada penduduk.

Di Pulau Jawa, katanya, dengan mudah bisa melihat hasil perhutanan sosial, ada banyak tambahan hutan sana-sini. “Itu tanah milik pribadi, untuk penggunaan lahan lain, sekarang ditanam pohon karena kelangsungan ekonomi mereka.”

Dulu, katanya, Jawa mengimpor kayu dari Kalimantan dan Sumatera, sekarang,  sebaliknya, kayu Jawa melintasi selat ke Kalimantan, Sumatera, dan lain-lain.

Bagaimana soal pembangunan infrastruktur yang khawatir jadi satu pengemisi? Siti optimistis, pembangunan infrastruktur era pemerintahan Presiden Joko Widodo, tak berpengaruh pada upaya pengurangan emisi.

Pembangunan infrastruktur, katanya, tetap memperhatikan lingkungan, kalaupun pakai hutan harus ada kajian kementerian.

“Tidak boleh memilih antara kepentingan lingkungan atau kepentingan ekonomi, harus diselaraskan.”

Siti mencontohkan, jika jalan akan melalui hutan harus cari alternatif lain, jika investasi capai tiga kali lipat, harus gunakan teknologi lain.

“Jika jalan atau infrastruktur akan melalui hutan harus cari jalan lain. Akan tetapi, jika jalan lain investasi tiga kali lipat, harus gunakan teknologi lain, missal, underpass atau flyover. Secara teori, teknologi ini akan mengatasi konservasi,” katanya.

Ada banyak pembangunan infrastruktur terputus karena hutan dan banyak pengungsi letusan gunung Sinabung, Sumatera Utara yang bertahan di tempat pengungsian selama bertahun tahun karena beralasan tidak bisa melewati hutan.

“Pembangunan infrastruktur macet selama ini karena tidak didalami sampai detil, legal, aturan, pengalaman dan ilmu pengetahuan. Harus dikombinasi betul supaya bisa diatasi.”

“Jika melewati hutan, harus dilihat apakah melewati hutan cagar budaya, hutan konservasi, hutan lindung, produksi (primer dan sekunder), atau hutan yang bisa dikonversi. Prinsipnya pelestarian hutan dan tidak berbenturan dengan UU,” katanya, kepada Mongabay.

 

Suaka Margasatwa, berdekatan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di Sumsel, terancam tambang batubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, katanya, kawasan pesisir tak luput dari perhatian, karena Indonesia memiliki 2,9 juta hektar hutan Mangrove. Ekosistem mangrove, katanya,  juga memiliki peranan penting dalam proses adaptasi perubahan iklim. Selain memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat, mangrove juga berkontribusi menurukan gas rumah kaca (GRK).

Berdasarkan data KLHK, untuk mencapai penurunan emisi, Indonesia bekerja dengan lima sektor primer, yaitu sektor kehutanan, energi, pertanian, limbah, dan transportasi.

 

KTT Hutan Hujan

Menteri Lingkungan Hidup dan Energi Australia, The Hon Josh Frydenberg MP dalam sambutan mengatakan, pertemuan ini bagian dari kemitraan hutan hujan Asia Pasifik yang diprakarsai Pemerintah Australia. Ia ajang membangun dialog antara para pemimpin dalam pemerintahan, riset, komunitas dan sektor swasta untuk memajukan aksi melawan deforestasi dan degradasi hutan di Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik.

Untuk Australia, kata Frydenberg, menetapkan tujuan tak hanya memenuhi komitmen Internasional untuk mengurangi emisi, juga memastikan daya saing internasional, pertumbuhan lapangan kerja dan keamanan energi serta keterjangkauan terjaga.

“Di Australia perkiraan emisi dari perubahan penggunaan lahan dan hutan sekitar satu miliar ton CO2 per tahun. Ini hampir dua kali lipat jumlah tahunan Australia emisi dari semua sektor,” katanya.

Pada APRS 2018 di Yogyakarta ini antara lain, sebagai sesi berbagi pengalaman dan praktik terbaik nasional bidang kehutanan masyarakat, ekowisata dan konservasi keragaman hayati. Juga soal keuangan hutan, investasi dan perdagangan, hutan dalam NDCs dan lain-lain.

Dalam pertemuan ini hadir lebih 1.200 peserta dari lebih 40 negara di Asia Pasific. Kegiatan ini dibuka Wakil Gubernur Yogyakarta, Paku Alam X.

Wakil Gubernur Yogyakarta, Paku Alam X dalam sambutan mengatakan, hutan merupakan pengatur iklim mikro dan sangat berperan penting dalam perubahan iklim, yakni penyerap, menyimpan dan pengemisi.

Deforestasi dan degradasi hutan terjadi antara lain karena kebakaran,  perambahan, ilegal logging, dan lain-lain. Konversi hutan untuk pemukiman, perkebunan, pertanian, sampai pinjam pakai yang tak memperhatikan prinsip hutan lestari bisa berdampak pada ekosistem dan mendorong perubahan iklim.

Robert Nasi, Director General CIFOR mengatakan, sebagai lembaga riset, CIFOR akan terus memberikan dukungan keilmuan, dan asistensi membantu pemerintah dalam menjaga hutan.

CIFOR, katanya,  memberikan dukungan penuh kepada pemerintah Indonesia dalam merehabilitasi dan mengkonsevasi kawasan-kawasan gambut Indonesia yang sempat mengalami kerusakan pada 2015.

 

Salah satu titik hutan di Taman Nasional Lore Lindu, Sigi, Sulawesi Tengah. Ia juga bagian dari hutan adat Marena. Masyarakat adat bisa mengambil hasil hutan bukan kayu, dengan tetap menjaga kelestarian. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version