Mongabay.co.id

Anyaman Purun Itu Seni Rupa Masyarakat Gambut, Bukan Industri Kerajinan

Purun yang dianyam menjadi tas, wadah bumbu dan tikar. Banyak dikembangkan oleh masyarakat Kabupaten OKI, Sumsel. Foto Taufik Wijaya

Anyaman purun merupakan kegiatan seni masyarakat di sekitar gambut, yang muncul terkait revitalisasi ekonomi dalam program restorasi gambut di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan. Tidak heran, produk anyaman ini selalu dipamerkan dalam berbagai event restorasi gambut. Namun, anyaman purun jangan dinilai sebagai industri kerajinan.

“Anyaman purun yang berkembang di masyarakat, khususnya di sekitar gambut, termasuk anyaman lainnya seperti rotan dan pandan, dibuat bukan untuk ekonomi. Ini tradisi dengan pesan kearifan. Motivasinya sebagai ruang ekspresi akan nilai-nilai luhur,” kata Safredo, pegiat lingkungan hidup, yang saat ini bergabung dengan The Zoological Society of London (ZSL), Rabu (25/4/2018).

Oleh karena itu, kata Safredo, ketika ingin membangun atau mengembalikan nilai-nilai kearifan terhadap lingkungan pada masyarakat di sekitar gambut, bukan sebatas mendorong anyaman purun sebagai sumber ekonomi alternatif. Bahkan, menjadikannya sebagai industri kerajinan rumah tangga.

Anyaman purun jelas tidak akan mampu menyamakan pendapatan masyarakat dari berkebun, mencari ikan dan bertani. Masyarakat sudah yakin dan memiliki kesadaran jika sumber ekonomi utama mereka dari pertanian, perkebunan, atau perikanan.

“Yang harus dilakukan adalah tingkatkan pengetahuan mereka agar pendapatan dari pertanian, perikanan atau perkebunan bertambah. Bukan membangun sumber ekonomi baru yang sebetulnya tidak sesuai dengan harapan masyarakat desa,” ujarnya.

Baca: Ruslah, Lewat Purun Tak Kenal Lelah Berbagi Ilmu dengan Perempuan Lain

 

Seorang warga Menang Raya di Sumatera Selatan sedang menganyam purun. Foto: Jemi Delvian/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, sebagai sebuah industri kerajinan rumah tangga, pemahaman masyarakat cenderung memandang anyaman purun sebagai produk pakai, sehingga nilai ekonominya tidak akan tinggi. “Mana mungkin orang akan membeli sebuah tikar dengan harga tinggi, atau ketika anyaman purun dijadikan keset kaki, telapak meja, tas atau map. Kenapa? Sebab sebagai produk pakai, anyaman purun kalah dengan anyaman yang dibuat dari kulit, plastic, atau bahan sintetis lain yang daya tahannya lebih lama dan kuat.”

Apa yang harus dilakukan terhadap anyaman purun, rotan atau pandan? Tradisi ini harus dikembalikan atau dihidupkan kembali sebagai media ekspresi masyarakat, terhadap nilai-nilai luhur yang tumbuh dan berkembang di desa atau dusunnya.

Misalnya, merangkai atau menganyam purun sebagai kain atau biasa disebut tikar. Artinya, membuat sesuatu yang besar, yang tidak boleh berdiri sendiri. Harus bersatu, dianyam menjadi kesatuan.

Selain itu, perwarnaan pada tikar merupakan ekspresi diri atau pikiran dari pembuatnya. Ada yang menjelaskan warna merah sebagai ekspresi keberanian atau protes, kuning sebagai kesejahteraan, hijau untuk kesejukan, dan sebagainya. Termasuk pula motif garis, bila jarang mengartikan ketenangan sementara padat atau rapat menandakan keramaian.

“Tidak heran, di masyarakat ada motif atau warna tertentu dari sebuah tikar purun yang tidak boleh digunakan sebagai alas calon pengantin untuk melangsungkan proses pernikahan,” ujarnya.

Baca: Tikar Purun, Kearifan Masyarakat Pedamaran Menjaga Lahan Gambut

 

Anyaman purun dengan motif burung garuda yang dibuat seorang penganyam di Kabupaten OKI. Foto: Taufik Wiaya/Mongabay Indonesia

 

Eksplorasi dan diskusi terkait kerajinan purun ini yang seharusnya dioptimalkan pemerintah atau pegiat restorasi gambut. Jadikan kerajinan purun sebagai proses mengembalikan atau memperkuat identitas, sehingga pada akhirnya menggerakkan masyarakat untuk melindungi lahan gambut dan hutan. “Kenapa? Lahan gambut dan hutan yang rusak jelas membuat purun habis atau sulit didapatkan,” jelasnya.

Terkait adanya masyarakat yang membeli hasil kerajinan purun, itu merupakan dampak, bukan tujuan. Produk yang memiliki historis dan kemurnian berekspresi justru nilainya lebih tinggi dibandingkan produk industri.

“Bayangkan sebuah tikar purun yang dibuat seorang petani yang arif terhadap lingkungan nilainya akan lebih tinggi dibandingkan dibuat perajin anyaman dari kota. Sebab, pikiran dan rasa si pelakunya berbeda. Pilihan warna seorang petani itu jauh memberikan penjelasan filosofis dari rasa dan pikirannya sebagai masyarakat desa, sementara perajin dari kota mungkin sebatas estetika berupa menarik atau indah saja,” kata Safredo.

Baca juga: Perajin Perigi Talang Nangka “Lelah” Membuat Tikar Purun, Mengapa?

 

Warna dominan biru ini sulit didapatkan ketika anyaman purun dijadikan sebuah tikar. Ekspresi sebuah harapan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Seni rupa rakyat

Idris Lail, seorang perupa di Palembang, beberapa waktu lalu, menjelaskan kerajinan purun yang pada dasarnya merupakan karya seni rupa rakyat. “Anyaman purun merupakan media ekspresi masyarakat desa, khususnya kaum perempuan, sebagai karya seni. Buktinya, setiap penganyam mengklaim anyaman miliknya yang paling menarik. Kalau sebagai industri, klaim seperti itu tidak ada. Mereka melihatnya sebagai produk untuk menghasilkan uang, yang tidak perlu diperdebatkan keindahan atau daya tariknya,” katanya.

Setiap keluarga penganyam di desa memiliki motif khas atau warna, seperti juga kain songket di Palembang, “Kekhasan ini merupakan hasil pemikiran dan pengembangan teknik setiap keluarga penganyam.”

Idris mengatakan, pemerintah maupun masyarakat memandang anyaman purun sebagai sebuah karya seni rupa, “Karya seni rupa rakyat, sehingga penghargaannya bukan sebatas dibeli tapi juga pesan-pesan yang muncul dari karya tersebut dapat dinikmati dan dirasakan para penikmat atau yang membelinya,” katanya.

 

Purun, sejenis rumput yang tumbuh di gambut dangkal, sangat besar potensinya di Sumsel. Dibutuhkan pemanfaatan secara optimal, karena masih banyak tanaman purun yang belum termanfaatkan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Idris menjelaskan, banyak karya seni rakyat, akibat kolonialisme didorong menjadi industri kerajinan atau yang dipahami sebagai kerajinan. Tujuannya, kata Idris, guna memutus rantai komunikasi atau pesan dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. “Industri kerajinan itu kan hanya melihatnya dari keunikan atau sesuatu yang aneh, tanpa melihat lebih dalam pesannya,” katanya.

Perilaku ini kemudian diteruskan pada masa pemerintahan Indonesia. Kita pun didorong untuk memahami karya seni yang dikenalkan atau diproduksi dari kebudayaan luar, baik dari Barat, Tiongkok, Timur Tengah, dan lainnya. Para pekerja seni kita pun meniru kerangka berpikir ini.

“Saya percaya, lahirnya anyaman purun merupakan karya seni rupa yang menandakan kearifan terhadap lingkungan. Penghargaannya, jangan dipahami sebagai sebuah industri kerajinan. Itu merupakan penghinaan terhadap kejeniusan masyarakat desa,” tuturnya.

Sebagai informasi, masyarakat di Sumatera Selatan yang masih melakukan tradisi menganyam purun, ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Misalnya, di Kecamatan Pedamaran, Pangkalan Lampam, dan Pampangan. Tapi, sebagian besar para penganyam ini, dipahami masyarakat luas sebagai industri kerajinan rumah tangga.

 

Foto utama: Purun yang dianyam menjadi tas, wadah bumbu dan tikar. Banyak dikembangkan oleh masyarakat Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version