Mongabay.co.id

Sengkarut PTPN di Enrekang, Konflik pun Bakal Berlarut

Hamparan sawit milik PTPN XIV di Maroangin, Kabupaten Enrekang. Meskipun HGU berakhir pada 2003, perusahaan tetap beraktivitas. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Pertemuan PTPN dengan Komisi B DPRD Sulsel tak menghasilkan keputusan apa-apa. Perusahaan pelat merah ini pun berencana lanjut tanam sawit di lahan tak ber-HGU, konflik dengan warga bakal berlarut-larut…

Senin, 9 April 2018, Ambo Ala,  menekan tombol pengeras suara di depannya. Saat lampu merah di pangkal microphone menyala, dia berbicara dengan nada datar.

“PTPN XIV ini mempekerjakan sekitar 7.000 keluarga, dulu ya… Beberapa waktu lalu, perusahaan ini berada di ujung tanduk,” katanya. “Hampir-hampir perusahaan ini tutup. Kalau tutup, ada berapa banyak orang yang kehilangan pekerjaan?”

Ambo Ala, adalah profesor yang menyandang kajian pertanian. Pada 1987,  dia pernah menjadi kepala Laboratorium Ekologi Universitas Hasanuddin, lalu Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muslim Indonesia.

Pada 2007, dia jadi Sekretaris Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pertanian. Saat ini, dia komisaris utama PT Perkebunan Nusantara XIV.

Pada siang yang sejuk di lantai dua gedung DPRD Sulawesi Selatan itu, dia hampir menghipnotis isi ruangan. Orang-orang takzim mendengarkan pemaparannya, termasuk delapan anggota Komisi B.

“PTPN XIV ini adalah aset besar di kawasan Timur Indonesia. Ada sekitar 130.000 hektar. Perusahaan ini tak miskin, tapi utang banyak,” katanya.

PTPN XIV adalah perusahaan perkebunan milik negara alias badan usaha milik negara (BUMN). Ia tersebar di tujuh provinsi di Sulawesi, yakni, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Terbesar di Sulsel dengan unit bisnis perkebunan sawit, gula, dan kapas.

Baca juga: Konflik dengan Warga, Tanpa HGU PTPN XIV di Enrekang Mulai Tanam Sawit

Beberapa tahun terakhir ini, unit bisnis PTPN XIV khusus di Sulsel, bukan terdengar kabar kesuksesan, melainkan timbul benturan dengan masyarakat. Konflik tak terkendali.

Di unit bisnis gula wilayah Takalar, misal, kampung menjadi mencekam. Puluhan orang pernah mendekam jeruji besi. Di Luwu Timur, Mantadulu,  lahan sawit berkonflik dengan tanah transmigrasi dan masyarakat lokal,  sekarang proses persidangan.

Di Burau–masih Luwu Timur–dugaan pencemaran dari limbah pabrik sawit membuat masyarakat tak lagi menggunakan sungai. Begitu pun di Keera, terakhir di Enrekang.

Konflik lahan di Enrekang inilah, yang membuat para staf PTPN menghadiri rapat dengar pendapat di DPRD Sulsel.

Di Enrekang, dari kebun Maroangin, Kecamatan Maiwa, lahan PTPN seluas 5.230 hektar. Ia berawal pada 1973,  lahan itu jadi bisnis ternak PT Bina Mulia Ternak. Pada 1996, jadi PTPN XIV. Penggabungan ini ikut mengubah haluan bisnis, dari ternak jadi perkebunan.

BUMN ini, menanam ubi kayu dan mendirikan pabrik tepung tapioka. Berharap napas panjang, tetapi tidak bertahan. PTPN pun menggandeng sebuah perusahaan untuk tetap hidup, keadaan tak berubah. Akhirnya,  pada 2004, pabrik tapioka resmi tutup.

Pada 2003, hak guna usaha (HGU) perusahaan habis. Pemerintah Enrekang bersikukuh tak mengeluarkan rekomendasi kelanjutan HGU.

Apa yang terjadi setelah penutupan? Bagaimana nasib lahan ribuan hektar itu? Lahan dibiarkan, tanpa ada pengelolaan. Masyarakat di sekitar,  masuk mengelola lahan. Mereka tanam jagung dan padi.

Andi Ansyar Kadir, dari Bidang Pengadaan Tanah Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sulsel mengatakan, lahan 5.230 hektar di Maroangin terindikasi terlantar. Bahkan dalam berita acara Badan Pemeriksa Keuangan 2015, dinyatakan perusahaan ini tak pernah memberikan kontribusi pada pemerintah daerah.

“Data kami ini Pak, di Enrekang,  memang banyak tanah-tanah terindikasi terlantar. Syukur-syukur (PTPN XIV) ini pelat merah, tidak kena perpres mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.”

Kenapa tanah itu terlantar? Direktur Utama PTPN XIV, Doni P. Gandamihardja mengatakan, telantar karena alasan finansial. Sejak awal berdiri, perusahaan ini selalu mengalami kerugian.

“Kami sampai saat ini belum dapat memberikan konstribusi laba. Jadi terus rugi, dari sisi equity, sekarang ini PTPN XIV, sedang mengalami equity negatif,” katanya.

“Modal kami negatif. Kalau berdasar kepada teori, mungkin PTPN XIV harusnya sudah dikategorikan bangkrut, pak. Karena memang sejak awal berdiri, sampai saat ini, tidak bisa memberikan kontribusi laba.”

 

Rahim (45 thun) dan Aslan (kelas 1 Tsanawiyah) melintas lahan yang sawah garapannya, yang telah diratakan oleh PTPN XIV di Maroangin, Kabupaten Enrekang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2014, dibentuk holding perkebunan bersama PTPN III, dan aktif operasional pada 2015. Geliat mulai terlihat. PTPN XIV, membentuk kembali unit bisnis, fokus pada tebu untuk pabrik gula di Takalar dan Bone serta sawit di Enrekang.

Bagi PTPN XIV, sawit secara bisnis memberikan peluang ekonomi. Tahun 2016, dilakukan pembibitan sawit di kebun Maroangin.

Doni mengaku, sosialisasi penanaman sudah diberikan kepada masyarakat.

Kenyataan lapangan berbeda. “Saya tahu mereka buat pembibitan. Orang PTPN datang dan mengajak saya. Dia bilang bibit itu tidak ditanam di Maroangin, tapi untuk Luwu,” kata Saparuddin, warga Kecamatan Maiwa.

“Apa yang terjadi, 2017, mereka menanam. Mulai memancang sawit di tengah lahan warga yang sudah berkebun,” kata Saparuddin.

Doni berdalih, keliru kalau bilang PTPN menyerobot lahan warga karena lahan itu ‘milik’ PTPN—padahal, HGU sudah habis.  “Jadi kalau bilang, kami melakukan tindakan kekerasan dan menyerobot lahan warga itu keliru. Karena pada dasarnya itu lahan PTPN sendiri,” kata Doni.

“Jadi, ada pagar PTPN itu digunting dan dimasuki warga. Ada banyak sawit kami yang daunnya rusak karena warga masukkan sapi. (Daun) Itu dimakan sapi,” kata Ambo Ala.

Pada 20 Maret 2018, saat mengunjungi Maroangin, Saparuddin mengajak kami memasuki lahan yang dia klaim milik orangtuanya di dalam wilayah PTPN.  Ada 40 sapi berjalan bebas di antara tanaman sawit. Tak ada yang memakan daun sawit.

“Sapi nda makan daun sawit?” tanya saya.

“Tidak. Saya sebenarnya berharap sapi saya makan sawit, tapi rupanya tidak,” kata Saparuddin.

 

Salah satu aksi yang dilakukan oleh SP Anging Mamiri menuntut keadilan bagi petani Takalar pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia beberapa waktu lalu. Foto: Wahyu Chandra

 

Tak ber-HGU

HGU PTPN XIV berakhir pada 2003. Doni mengatakan,  permintaan perpanjangan sejak 2001, sampai sekarang belum ada kejelasan. Pada 2012, PTPN XIV dan Pemerintah Enrekang melakukan kesepakatan mengeluarkan seluas 2.230 hektar, untuk kepentingan umum, seperti sekolah, pemurnian air PDAM, tanah perkemahan, dan kebun raya.

“Pada dasarnya kami sepakat dengan pelepasan itu. Sudah ada SK dari Pemda Enrekang juga. Tapi kan ada proses, yang harus kami lalui agar pelepasan ini sesuai ketentuan, kami sebagai pemilik aset,” katanya.

Dia bilang, walaupun HGU berakhir, tak serta merta mereka harus hengkang dari lahan itu. “Dengan asetnya. Bahkan kami tetap wajib dalam aturan untuk menjaganya. Sampai jelas, bahwa hak atas lahan itu, digantikan atau ditunjuk yang lain. Seperti itu.”

Ada ketidakjelasan izin hak sudah 15 tahunan.  “Sampai berapa tahun sebenarnya proses dalam standar operasional di BPN?” kata Ansyar Kadir, anggota Komisi B DPRD Sulsel.

“Kalau SK  (surat keterangan-red), pemberian hak, menurut standar operasi yang ada, itu cuman 96 hari. Kalau lengkap. Hanya ini dengan jenjang kewenangan, kantor wilayah yang ukur atau BPN pusat? Ini kan masih ada tarik menarik,” katanya.

Kala ketidakjelasan izin berlarut, Pemerintah Enrekang melayangkan surat pada 2 Juni 2016 dan 13 Juli 2016, meminta PTPN XIV tak lagi beraktivitas dalam konsesi selama proses hukum tidak jelas.

Surat itu hanya jadi angin lalu. PTPN tetap tanam sawit.

Dewan Enrekang, membentuk Panitia Khusus (Pansus) dalam sengketa lahan itu. Beberapa pertemuan dilakukan bersama masyarakat pansus menemukan kalau mayoritas warga meminta PTPN hengkang.

“Kalau alasan PTPN mempekerjakan masyarakat lokal, coba cek saja. Berapa persen?” kata Rahim, petani dengan lahan bertanam padi tergusur perusahaan untuk sawit.

 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Mengapa harus dipertahankan?

Pertemuan di Komisi B DPRD Sulsel, berlangsung sekitar satu jam. Penjelasan dan pembacaan pandangan, terkesan terburu-buru. Beberapa perangkat legislatif Komisi B itu akan menghadiri pelantikan pejabat provinsi.

Tak ada kesimpulan dalam pertemuan. Kata pamungkas dewan, adalah akan menindaklanjuti. “Bayangkan, ini mereka bicara tentang PTPN XIV, perusahaan pelat merah yang melibatkan banyak konflik, tapi seperti tak ada masalah,” kata Rizki Anggraini Arimbi, Divisi Pengembangan Sumber Daya dan Pengorganisasian Walhi Sulsel.

Menurut Kiki, panggilan akrabnya, PTPN XIV yang mengusai ratusan ribu hektar di Sulsel tak ada yang tak berkonflik dengan masyarakat sekitar. Di Kabupaten Wajo, mereka benar-benar tertutup.

Masyarakat, sejak awal mendiami lokasi, harus angkat kaki. “Di Kecamatan Keera, ada kompleks pemakaman keluarga warga masuk PTPN. Mereka dilarang masuk, kalau masuk pun, harus dikawal,” katanya.

Empat tahun lalu, pada 2014, di Wajo, intimidasi warga karena konflik dengan PTPN XIV, terjadi masif. Aparat militer hampir setiap hari pemeriksaan. Menyambangi rumah warga dan menciptakan teror.

Pada 2016, Enrekang bergolak karena intimidasi serupa. PTPN XIV, menguasai lahan 5.230 hektar dan Wajo 12.170 hektar. Penguasaan lahan itu, dikelola maksimal hanya ribuan hektar. “Jadi ada ribuan hektar lain terlantar. Sementara warga di sekitar lahan tak memiliki lahan.”

Pemerintah, katanya, tak perlu mempertahankan perusahaan  negara yang terus menerus rugi dan berkonflik dengan masyarakat ini.

“Bukankah lebih baik, pemerintah jadikan lahan itu dalam program reforma agraria.”

 

***

Pada Maret 2018, saya berkunjung ke perumahan karyawan di kebun Maroangin. Berjumpa dengan beberapa buruh, mereka bukan warga lokal tetapi pendatang dari dari beberapa tempat, termasuk dari provinsi lain.

Sejak PTPN memulai penanaman sawit, pada 2017 lahan tanam baru sudah mencapai 650 hektar. Tahun 2018, target mencapai 700 hektar.

“Kami berharap, ketika semua selesai target kami adalah menanam sawit seluas 2.500 hektar. Bukan tidak mungkin kami akan membangun pabrik juga di Maroangin,” kata Doni.

Di Sulsel, sawit PTPN XIV–Luwu Utara dan Luwu Timur – 60% merupakan tanaman tua. Untuk memenuhi bahan baku pabrik, sumber dari masyarakat.

Tahun 2018, PTPN XIV menargetkan tanaman lagi sawit seluas 3.500 hektar, realisasi tanam baru 1.000 hektar.

Kalau PTPN lanjut tanam sawit, kelak pemandangan sepanjang jalan menuju Toraja adalah sawit…

 

Foto utama: Hamparan sawit milik PTPN XIV di Maroangin, Kabupaten Enrekang. Meskipun HGU berakhir pada 2003, perusahaan tetap beraktivitas. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Saparuddin (40 tahun) memandang lahan keluarganya yang telah ditanami sawit PTPN XIV di Maroangin, Kabupaten Enrekang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version