Mongabay.co.id

Kabar dari Ujung Kulon, Satu Badak Jawa Mati, Dua Lahir…

Samson, ditemukan mati di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: TNUK/ Mongabay Indonesia

 

Kabar duka datang dari Taman Nasional Ujung Kulon. Samson, begitu nama badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) yang ditemukan mati di tepi Pantai Karang Panjang, Resort Karang Panjang, Wilayah II Pulau Handeuleum di Kabupaten Pandeglang, Banten, Senin pagi, (23/4/18). Badak jantan ini diperkirakan berusia 30 tahun, berciri cula sepanjang 25 cm dan lebar 20 cm.

Kondisi bangkai Samson masih utuh, bercula, lengkap dan tak ada luka akibat perburuan. Berdasarkan laporan sementara hasil nekropsi, diperkirakan kematian kurang dari tiga hari dan tak ada tanda-tanda penyakit infeksi dengan patogen yang bersifat akut.

Meski demikian, penyebab kematian masih menunggu hasil identifikasi tim dokter hewan Patologi IPB bekerjasama dengan WWF Ujung Kulon. ”Dugaan sementara Samson mati karena usia,” kata Mamat Rahmat, Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon,  saat konferensi pers di Jakarta, (26/4/18).

Samson, punya ciri khas robekan pada telinga sebelah kiri dan badak ke-37 yang terekam dalam kamera tersembunyi pada 2018.

Setelah nekropsi, Balai TNUK mengamankan cula dan seluruh bagian badak dikubur dan dijaga selama sebulan. ”Setelah itu, kami gali dan angkat kembali untuk dirangkai menjadi bentuk badak lagi dan disimpan. Lokasinya masih menunggu arahan dari Pak Dirjen (Dirjen KSDAE KLHK-red),” katanya.

 

Penyebab kematian

Tim dokter hewan WWF Indonesia di Carita , yakni dokter hewan Zulfikri dan Gita Alvernita, bersama Sri Estuningsih, ahli patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, melakukan investigasi forensik bangkai badak Jawa itu.

Sumber: Balai Taman Nasional Ujung Kulon/ Mongabay Indonesia

 

Sri Estuningsih, ahli patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB mengatakan, kesimpulan awal penyebab kematian badak ini adalah kholik atau torsio usus. Kholik adalah usus besar dan usus kecil terpuntir (torso), mengakibatkan kerusakan pada usus besar hingga bakteri mikroflora usus menghasilkan racun dan menyebar ke seluruh tubuh badak.

Tim dokter, katanya, melakukan pengamatan luar dan bagian dalam tubuh badak. Pada pengamatan luar, kondisi bangkai badak  masih utuh, cula masih menempel pada kepala, tak ada tanda-tanda luka pada tubuh. Kondisi bangkai menunjukkan terjadi pembusukan ditandai pengeluaran gas disertai busa dari celah kulit badak, kulit dan cula mudah terlepas.

Bagian mata, mulut, hidung, alat kelamin dan anus berwarna merah. Ditemukan juga telur lalat, belatung pada permukaan kulit di bagian kaki depzan dan belakang.

Sedangkan hasil pengamatan bagian dalam (nekropsi) terdapat perubahan warna pada sebagian besar organ–ginjal, paru, hari, limpa dan usus–yang mengalami pembusukan ditandai konsistensi organ sudah lunak menyerupai bubur dan perubahan warna organ, serta terdapat gas.

Pada rongga tubuh thorax dan abdomen, kata Estu,  ditemukan cairan transudat cukup banyak. Di usus ada bagian yang terpuntir antara usus halus dan usus besar menyebabkan terjadi rupture usus bagian sekum.

Isi usus sebagian terhambur mengenai dinding serosa usus. Ia ditandai sisa makanan menempel pada serosa usus dan dinding badan (peritoneum). Di dalam saluran pencernaan ada cacing bulat dalam jumlah banyak.

Tim juga mengambil beberapa sampel organ yang masih dinilai layak untuk diperiksa lebih lanjut di laboratorium Histopatologi, Divisi Patologi FKH IPB. “Dari hasil nekropsi, beberapa organ sudah dalam keadaan hancur karena proses pembusukan seperti ginjal dan paru-paru” katanya dalam rilis kepada media.

Tim juga tak menemukan tanda ada penyakit menular oleh bakteri, virus atau parasit yang bersifat akut.

Kurnia Khairani, Project Leader WWF-Indonesia, Kantor Ujung Kulon mengatakan, kematian ini bukan karena perburuan badak. “Cula masih menempel pada tubuh badak,” katanya.

Hasil nekropsi, katanya, juga menyatakan kematian bukan karena sakit infeksius, berarti bukan penyakit menular berbahaya seperti anthrax dan lain-lain.

WWF mendesak, pemerintah segera merampungkan strategi konservasi badak 2018-2023, dan fokus mengembangkan populasi kedua badak Jawa selain di Ujung Kulon. Hal ini, katanya, guna mencegah kepunahan badak Jawa karena penyakit epidemi masif, bencana alam seperti tsunami atau gempa bumi.

 

Salah satu bayi badak, yang baru lahir dari induk Dewi di TNUK. Foto: Balai TNUK/ Mongabay Indonesia

 

 

Kelahiran badak dan ancaman

Kabar sedih atas kepergian Samson, bersamaan dengan kabar bahagia. Rekaman video pengintai pada Februari 2018, diketahui ada dua kelahiran anak badak Jawa, dengan induk bernama Puri dan Dewi. Keduanya belum diberi nama dan jenis kelamin belum diketahui.

Rahmat mengatakan, natalitas (kelahiran) dan mortalitas (kematian) meupakan hal biasa terjadi di alam.

”Kami berharap ada penambahan (kelahiran) lagi. Dengan manajemen populasi dan manajemen habitar intensif, akan membuat badak nyaman reproduksi,” katanya.

Hingga kini, populasi mencapai 66 badak, dengan 24 betina, 19 jantan dan 13 anak ( tujuh jantan dan enam betina). Angka ini, katanya,  belum termasuk dua anak yang baru lahir.

Untuk seks rasio seimbang, katanya, perbandingan jenis kelamin badak 1:4, yakni satu jantan dan empat betina. Kondisi di Ujung Kulon sekarang, katanya, lebih banyak jantan daripada betina.

Selain perbandingan jantan dan betina tak ideal, ancaman lain terjadi perkawinan sedarah. Ia terpicu karena keterbatasan habitat badak.

Kini, balai bersama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), IPB dan Eijkman Institute sedang menganalisa genetik untuk mengantisipasi kendala itu.

Ancaman lain, katanya, penyakit dari kotoran hewan ternak, yakni kerbau. Masyarakat sekitar, katanya, sering melepas kerbau peliharaan hingga masuk ke hutan dan berkubang pada tempat sama dengan badak Jawa.

”Ditemukan penyakit anthraks pada kotoran kerbau tapi masih negatif pada kotoran badak setelah dicek.”

Herry Subagiadi, Sekretaris Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, perlu ada pengembangan eksitu dalam konservasi badak.. Apalagi,  ada ancaman seks rasio tak ideal, perkawinan sedarah dan penyakit dari hewan ternak.

”Kami sedang mencoba menjajaki kelayakan untuk Cikepuh (Cagar Alam Cikepuh, di Sukabumi-red) apakah masih layak sebagai habitat badak atau tidak. Ini masih proses dan diintensifkan lagi,” katanya.

Dari sejarah, habitat badak diperkirakan berada di pegunungan bagian selatan Pulau Jawa, terbentang dari Yogyakarta hingga Ujung Kulon. Marak perburuan, katanya, hingga  menyempitkan habitat hingga tersisa di Ujung Kulon.

Foto utama: Samson, ditemukan mati di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Balai TNUK/ Mongabay Indonesia

 

Induk badak, Puri, bersama anaknya. Foto: Balai TNUK/ Mongabay Indonesia

 

Samson, ditemukan mati di pantai. Foto: Balai TNJK/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version